Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wayang Boneka

2 September 2019   09:57 Diperbarui: 4 September 2019   12:45 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa, paman? Dia mana suaramu yang lembut itu? Kenapa paman tega membentak aku? Apakah aku berdosa, paman? Lesung terus membatin.

Ia merasa ada ketidakwarasan. Di mana, kewarasan bertutur, mendidik, mendongeng yang penuh kesahajaan yang biasa dilakukan sang paman, semuanya rontok. Menyisakan kenaifan yang tersulut oleh emosi.

Bagi Lesung, boneka-boneka adalah obat hati. Bukan sekadar teman yang hadir dalam kehangatan pelukan bantal dan guling. Boneka-boneka itu adalah magnet yang mampu melambungkan jiwanya seolah berada di nirwana. Mengajaknya menari-nari di atas panggung yang selalu merindukan teriakan dan tepukan panjang hingga ia tertidur.

Tak secuil pun kata terucap dari mulut Lesung. Dia tepekur memandangi amarah Waskita. Lesung tak kuasa menyimpulkan, kenapa pamannya itu sangat panik lantaran ia memegang boneka-beneka itu?

Sesaat, Waskito bergegas meringkesi boneka-boneka itu, lalu memasukkannya ke dalam kotak kayu. Diambilnya gembok dan kunci yang tercecer di lantai. Braakkk... kotak kayu ditutup lantas digemboknya rapat-rapat. Napas Waskita seketika meluap naik-turun.

Di kamar itu, Waskita tertahan sendirian. Mulutnya serasa terkunci. Dia tersadar, betapa terpukul hati keponakannya ketika harus pergi setelah bersiah dengannya. Perasaan bersalah dan dosa membekap batin Waskita. Amarahnya yang membakar membuat dirinya makin sedih.

Waskita tak punya keberanian. Boneka-boneka itu memang menyimpan cerita suram. Cerita yang sudah harus dikubur dan tak pernah ditatapnya lagi. Dan jangan, jangan pernah lagi menggugah kepedihan itu. Terlalu sakit, Waskita berucap, seolah memprotes kejadian pagi ini.

Tiba-tiba, ingatan Waskita mengembang luas. Menghadirkan sebongkah masa kelam saat ia harus pergi dan bersembunyi dari satu pementasan ke pementasan. Di mana jantungnya acap menggigil menyusul pengintaian aparat Babinsa

Waskita mengingat betul, upayanya membungun tradisi bertutur yang sarat pesan moral, kontrol sosial, religi, harus dibalas dengan ancaman dan intimidasi. Hampir semua pintu rezeki tertutup. Pengerdilan tanpa batas. Namanya tercatat dalam daftar hitam.

Waskita kehilangan semua keceriaannya ketika memadu berbagai lakon dan karakter yang biasa dibawakan. Sie Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, dan Poei Sie Giok. Atau Bankong, Udi King, Sia Kao Kim. Tak terkecuali legenda Kera Sakti yang sering ia pentaskan.

Sejak kecil, Waskita memang tak bisa lepas dengan boneka-boneka itu. Hampir tiap hari ia selalu mampir di kelenteng dalam perjalanan pulang sekolah. Ketika orang-orang memainkan boneka-boneka nan lindah, ia selalu melongok di luar pagar kelenteng itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun