Hujan masih menghajar bumi, petang ini. Gelap yang telah menyisir senja telah digantikan deretan sorot lampu penerangan jalan. Awan tebal menggelayut. Menghiasi langit yang redup. Kilatan petir sesekali menyambar. Angin berhembus kencang. Merangsek di antara bangunan-bangunan pencakar langit.
Di selasar apartemen, Darwis duduk selonjoran. Tubuhnya direbahkan di bale bale kursi resban ukir Jepara berbahan kayu jati. Mencicip kopi espresso yang di roasting tanpa gula. Kedua tangannya membekap dada. Beberapa saat ia pejamkan mata. Menghirup udara sore dalam-dalam. Benar-benar membuat batinnya berasa adem.Â
Dingin makin menyergap. Darwis merapatkan jaketnya. Dia tak mau beranjak pergi. Ingin berpuas diri. Menikmati selaksa peristiwa yang berseliweran dalam ruang batin dan pikirannya. Datang silih berganti. Menusuk dalam keriuhan dan kobaran hasrat dan cita.
Satu peristiwa menguak ingatannya. Menjejal begitu saja. Saat pagi ia dihampiri puluhan perempuan lanjut usia. Mereka memdekapnya seraya menangis sesunggukan. Menangis dalam keharuan. Di tengah kerumitan hidup yang dialami. Para perempuan yang harus bergulat memenuhi kebutuhan periuk nasi lantaran ditingga suaminya. Yang bingung mencari tempat berlindung. Yang kerap jantungnya bergedup lantaran tak punya harapan hidup. Yang buta menemukan peta jalan untuk mendapatkan biaya pendidikan anak-anaknya.
Darwis sudah berbulat hati mewakafkan tanah dan hartanya. Ia ingin mewujudkan cita-citanya membangun rumah buat para janda. Di atas tanah seluas setengah hektar yang dibebaskan dari delapan orang pemilik persil, Darwis akan membangun permukiman layak huni buat para perempuan malang.
Desain dan rancangan rumah dikerjakan sendiri oleh Darwis dan istrinya yang dulu sama-sama pernah menempuh studi arsitektur di Maastricht University Belanda. Rumah-rumah dengan kerangka dasar berupa baja ringan dilapisi dinding papan-papan semen fiber ringan, beratap genting metal, berukuran 6 x 8 meter.
Niatan tulus yang sudah lama ia impikan. Berbagi dengan kaum dhuafa. Ini juga yang menguatkan Darwis mewujudkan nadzar orang tuanya yang telah menghadap Sang Khaik.
Darwis sungguh tak pernah mengira bisa sampai di titik ini. Dia juga tak pernah menyangka dari pintu mana ia tahu mendapatkan kemudahan dan keberkahan tiada tara. Dari pelajaran profetik tentang prinsip khoirunnas anfa'uhum linnas. "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain."
Senyum Darwis mengembang. Mengikuti diorama dengan keceriaan yang melintas di pelupuk matanya. Yang sulit dijelaskan dalam kata-kata dam nalar warasnya. (agus wahyudi) Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H