Rasulullah saw. sendiri telah mengikuti suara mayoritas (voting) untuk menghadapi musuh di luar kota Madinah pada Perang Uhud. Padahal beliau sendiri lebih cenderung untuk bertahan dan menghadapi musuh di kota Madinah, tetapi beliau akhirnya mengambil pendapat mayoritas yang dilontarkan kaum Muslim. Ini menyangkut masalah praktis, tidak terkait dengan ide (pemikiran). Padahal, pemikirannya atau ide dasarnya bersifat tetap. Tetapi dari sisi implementasi atau pelaksanaan dari pemikiran tersebut, bisa diputuskan berdasarkan musyawarah atau voting.
Jadi, ada hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan ada hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahan. Tapi pemahaman Barat telah merasuki jiwa kaum muslim dengan sangat parah. Sehingga kaum muslim tidak bisalagi membedakan, mana yang termasuk hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan mana hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan. Pokoknya, asal ada rapat dan mau diambil keputusan, maka musyawarahlah yang dipakai untuk memutuskan. Ini ngawur namanya. Lebih ngawur lagi, jika pengambilan keputusannya harus menggunakan voting.
Sama seperti demokrasi. Dalam demokrasi, apapun selalu dimusyawarahkan. Entah itu berkaitan dengan bidang keahlian tertentu atau tidak, berkaitan dengan hukum syara' atau tidak, pokoknya dimusyawarahkan. Pengambilan pendapatnya pakai voting lagi. Padahal kenyataannya, dalam kehidupan manusia itu ada hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan ada hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan, termasuk dalam kehidupan bernegara.Â
Wallahu a’lam..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H