Mohon tunggu...
Agus Trisa
Agus Trisa Mohon Tunggu... -

Seorang ayah dengan dua orang anak dan seorang istri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tidak Setiap Hal Bisa Dimusyawarahkan

10 Juli 2015   13:05 Diperbarui: 10 Juli 2015   13:05 5147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tradisi manusia yang berakal sehat, tradisi bertukar pikiran itu memang hal yang lumrah atau wajar. Bisa dilakukan dengan dua orang atau banyak orang. Jika dilakukan dengan banyak orang, inilah yang sering kita sebut dengan rapat alias musyawarah. Tetapi, jika kita berpikir mendalam, ternyata ada hal-hal yang bisa dimusyawarahkan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Bahkan ada, hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah atau rapat, ada beberapa cara dalam mengambil keputusan. Bisa dengan mencari kesepakatan antar peserta musyawarah, bisa dengan menyerahkan keputusan pada pimpinan musyawarah, bisa juga dengan suara terbanyak alias voting. Tetapi jika kita berpikir lebih dalam lagi tentang cara pengambilan keputusan dalam musyawarah, ternyata ada hal-hal yang memang bisa diputuskan secara voting atau menyerahkannya kepada pimpinan rapat (musyawarah).

Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah telah memberikan prinsip-prinsip dasar musyawarah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam pembahasan hukum syara'. Sebab, hukum syara' wajib ditetapkan dengan ketetapan dari Asy-Syari' atau Pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah. Misalnya tentang ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara (Khalifah), wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak perlu dimusyawarahkan lagi, karena status hukumnya sudah jelas. Artinya, apakah riba akan diberlakukan atau tidak, itu tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Sebab hukumnya juga jelas. Termasuk juga syariat Islam; apakah ia wajib diterapkan atau tidak, ya itu tidak perlu dimusyawarahkan. Bahkan tidak boleh dimusyawarahkan. Sebab, status hukumnya jelas, yaitu wajib dilaksanakan. Konteks yang pertama ini tentu hanya bisa dipahami oleh seorang muslim. Sebab, orang nonmuslim tidak akan memahami terkait konteks yang pertama ini.

KEDUA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu, sains dan teknologi, atau hal-hal yang membutuhkan analisis mendalam dari para ahli. Misalnya, negara akan membangun sebuah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk tersebut, apakah akan didirikan di daerah A atau B, itu yang berhak memutuskan adalah para ahli geologi (pertanahan), dan bukan diputuskan oleh hasil musyawarah. Jika daerah A adalah daerah yang rawan bencana (misalnya tanahnya labil), berarti pemukiman penduduk tersebut harus dibangun di wilayah B, atau wilayah lain yang memang aman. Kalau hal-hal seperti ini harus diputuskan dengan musyawarah, itu ngawur namanya. 

Contoh lainnya adalah pendapat seorang dokter dalam bidang kesehatan, tentu harus diterima, dan tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Misalnya, dokter merekomendasikan bahwa si pasien patah tulang harus operasi, maka hal ini tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Artinya, yang berhak "mewajibkan" operasi itu ya dokter, bukan keputusan musyawarah. Kita sebagai orang awam tidak boleh mengintervensi dengan mengatakan, "Oh tidak bisa Dok. Harus dimusyawarahkan dulu dong." Kalau hasil musyawarah menyatakan tidak usah dioperasi, padahal harus dioperasi, itu artinya mencelakakan si pasien. 

Hal seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Perang Badar. Saat itu Hubaib bin Mundzir bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penentuan tempat yang akan dijadikan basis pertahanan atau perkemahan, tempat kaum muslimin akan bertahan. Hubaib mempertanyakan, apakah penentuan hal tersebut ditentukan berdasarkan wahyu ataukah ditentukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya (maksudnya bidang militer/ahli strategi perang). Kemudian Rasulullah saw. menyatakan bahwa hal tersebut ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya (ahli dalam strategi perang). Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw., Hubaib pun mengusulkan agar tempat yang akan dijadikan pertahanan kemah kaum muslim adalah tempat yang memiliki ketersediaan air cukup (cukup logistik). Rasulullah saw. pun akhirnya menerima usul Hubaib tersebut.

KETIGA,

musyawarah itu hanya boleh diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya teknis, dan tidak terkait pemikiran tertentu. Karena boleh dimusyawarahkan, berarti boleh pula cara pengambilan keputusannya berdasarkan voting (suara terbanyak). Contoh, bapak-bapak kampung ingin membangun pos ronda. Pos ronda tersebut apakah akan dibangun bulan ini ataukah bulan depan, ini hal yang sifatnya teknis. Keputusannya, bisa diambil dengan menggunakan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan bapak-bapak kampung itu membangun pos ronda bulan depan, maka keputusan ini sah, sekalipun diambil melalui suara terbanyak.

Rasulullah saw. sendiri telah mengikuti suara mayoritas (voting) untuk menghadapi musuh di luar kota Madinah pada Perang Uhud. Padahal beliau sendiri lebih cenderung untuk bertahan dan menghadapi musuh di kota Madinah, tetapi beliau akhirnya mengambil pendapat mayoritas yang dilontarkan kaum Muslim. Ini menyangkut masalah praktis, tidak terkait dengan ide (pemikiran). Padahal, pemikirannya atau ide dasarnya bersifat tetap. Tetapi dari sisi implementasi atau pelaksanaan dari pemikiran tersebut, bisa diputuskan berdasarkan musyawarah atau voting.

Jadi, ada hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan ada hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahan. Tapi pemahaman Barat telah merasuki jiwa kaum muslim dengan sangat parah. Sehingga kaum muslim tidak bisalagi membedakan, mana yang termasuk hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan mana hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan. Pokoknya, asal ada rapat dan mau diambil keputusan, maka musyawarahlah yang dipakai untuk memutuskan. Ini ngawur namanya. Lebih ngawur lagi, jika pengambilan keputusannya harus menggunakan voting.

Sama seperti demokrasi. Dalam demokrasi, apapun selalu dimusyawarahkan. Entah itu berkaitan dengan bidang keahlian tertentu atau tidak, berkaitan dengan hukum syara' atau tidak, pokoknya dimusyawarahkan. Pengambilan pendapatnya pakai voting lagi. Padahal kenyataannya, dalam kehidupan manusia itu ada hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan ada hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan, termasuk dalam kehidupan bernegara. 

Wallahu a’lam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun