Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jenderal Kehormatan Prabowo: Menyoal Pro-Kontra Menghindari Subyektivitas

1 Maret 2024   15:42 Diperbarui: 1 Maret 2024   15:46 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi saat memberikan keterangan pers setelah pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo (Kompas TV, 28 Februari 2024)

Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden Prabowo Subianto menerima kenaikan pangkat kehormatan menjadi jenderal bintang empat. Presiden Jokowi menganugerahkan pangkat kehormatan itu pada Rabu, 28 Februari 2024. Sebagian kalangan menilai pangkat jenderal kehormatan itu sudah tepat mengingat jasa-jasa Prabowo, sebagian lagi mempertanyakannya sebab mengaitkan Prabowo dengan isu penculikan aktivis tahun 1998 yang menyebabkan dirinya diberhentikan dari dinas keprajuritan.

Terkait hal ini Mabes TNI menjawab anggapan bahwa Prabowo pernah dipecat karena terbukti terlibat dalam penculikan aktivis tahun 1998. Menurut Mabes TNI melalui Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen), Mayjend TNI Nugraha Gumilar, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) saat itu merekomendasikan ke presiden agar Prabowo diberhentikan dari dinas keprajuritan. 

Lalu Presiden Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie melalui Keppres No. 62 Tahun 1998 memutuskan untuk memberhentikan Prabowo dengan hormat dan mendapatkan hak pensiun. Ia menambahkan bahwa dalam Keppres tersebut, tidak termuat kata dipecat atau diberhentikan tidak dengan hormat. Oleh sebab itu, Prabowo masih layak mendapat dana pensiun dari negara setiap bulan.

Terkait pertanyaan apakah Prabowo pantas menerima anugerah jenderal kehormatan atau tidak, sebagai orang awam kita harus melakukan literasi atas pendapat orang-orang yang berkompeten. Lantas pada waktu yang sama kita harus meninggalkan pendapat kalangan yang cenderung subyektif dan berlandaskan pada persepsi bukan fakta.

Prabowo Punya Banyak Jasa dan Pernah Mendapat Penghargaan Militer Utama

Setelah memberikan gelar jenderal kehormatan, Presiden Jokowi menjelaskan kepada wartawan terkait alasan dan proses administrasi pemberian gelar kepada Prabowo Subianto seperti yang ditayangkan oleh Kompas TV (28/2/2024). Menurut Presiden Jokowi, pada tahun 2022, Prabowo sudah pernah menerima anugerah Bintang Muda Dharma Utama atas jasa-jasanya di bidang pertahanan, kemajuan TNI dan kemajuan negara. 

Ia menambahkan bahwa pemberian anugerah tersebut telah melalui verifikasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan. Sebagai implikasi dari pemberian bintang anugerah tersebut sesuai UU No. 20 Tahun 2009 kemudian Panglima TNI mengusulkan agar Prabowo diberikan pengangkatan kenaikan pangkat secara istimewa. Itulah sebabnya ia menegaskan bahwa pemberian gelar jenderal kehormatan ini berangkat dari bawah berdasarkan usulan Panglima TNI, dan ia menyetujui untuk memberikan kenaikan pangkat secara istimewa tersebut.

Saat wartawan mempertanyakan pro dan kontra yang akan muncul di publik terkait kenaikan pangkat istimewa ini, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa bukan hanya sekarang gelar seperti ini diberikan. Sebelumnya pernah diberikan kepada Susilo Bambang Yudhoyono dan Luhut Binsar Panjaitan. Jadi menurutnya ini sesuatu yang biasa di TNI maupun di Polri. Ia lalu membantah jika kenaikan pangkat istimewa ini dikaitkan dengan politik.

Pemberian Gelar ke Prabowo Bukan Politis

Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik Ujang Komaruddin sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia (28/2/2024). Ia menilai bahwa Menteri Pertahanan Prabowo Subianto layak menerima gelar jenderal kehormatan bintang empat dari presiden, sebab Prabowo telah banyak berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. 

Itulah sebabnya menurutnya tidak ada unsur politis dalam pemberian gelar itu. Apalagi sepanjang 2022, Prabowo telah menerima empat tanda kehormatan militer utama, yakni Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Buwana Paksi Utama.

Sebagaimana Presiden Jokowi, Ujang juga menyinggung tentang Susilo Bambang Yudhoyono yang mendapatkan gelar yang sama di era Presiden Megawati Sukarnoputri dan Luhut Binsar Panjaitan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Itulah sebabnya ia menolak anggapan jika pemberian gelar ini mengandung unsur politis, apalagi momennya setelah Pemilu.

Mempermalukan TNI dan Menodai Kepemimpinan Jokowi

 Apa yang dikhawatirkan oleh wartawan saat konferensi pers dengan Presiden Jokowi pada Rabu, 28 Februari 2024 menjadi kenyataan. Dikutip dari Kompas.com (28/2/2024), Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai bahwa pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo justru dapat mempermalukan TNI. 

Alasannya, Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran karena terlibat kasus penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pro-demokrasi pada 1997 sampai 1998. Itulah sebabnya ia mengkhawatirkan pemberian gelar kepada Prabowo itu bisa berbahaya dan semakin melanggengkan impunitas atas aksi kejahatan yang melibatkan militer.

Gufron sebelumnya sudah pernah mengingatkan bahwa jika Presiden Jokowi mengabaikan keberatan para aktivis HAM terkait pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo maka hal itu akan menjadi noda pada masa kepemimpinannya. Ia menambahkan jika langkah ini tetap dilakukan, Presiden Jokowi akan dicatat sebagai presiden yang memberikan gelar jenderal kehormatan kepada terduga pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Saat itu Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Dahnil Ansar Simanjuntak menyebut rencana pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didasarkan atas dedikasi dan kontribusi di bidang militer dan pertahanan sehingga markas besar TNI mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk menaikkan pangkat Prabowo.

Melukai Perasaan Keluarga Korban dan Menghkhianati Reformasi

Sebelumnya, Imparsial bersama puluhan organisasi masyarakat sipil telah menolak pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Menhan Prabowo oleh Presiden Jokowi. Mereka menilai kebijakan itu sebagai politik transaksi elektoral. Mereka menilai hal ini dilakukan oleh Jokowi untuk menganulir keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu. Itulah sebabnya mereka menyatakan bahwa pemberian gelar ini melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998.

Dikutip dari CNN Indonesia (28/2/2024), koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 22 organisasi seperti Kontras, YLBHI, ELSAM, Setara Institute, Greenpeace Indonesia, Migrant Care dan Amnesty Internasional Indonesia mengusulkan lima hal. Mereka meminta agar presiden membatalkan pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo, Komnas HAM harus mengusut serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Prabowo, dan Kejaksaan Agung harus melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM berat tahun 1997-1998. 

Selain itu, mereka meminta presiden dan jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI tahun 2009 yakni untuk membentuk pengadilan HAM ad.hoc. mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan konpensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan merativikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa. Mereka juga meminta TNI-Polri harus menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.

Kenaikan Pangkat Istimewa untuk Prajurit Aktif Bukan untuk Purnawirawan 

Dikutip dari Kompas.com (29/2/2024), Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menyampaikan bahwa Bintang sebagai pangkat militer untuk Perwira Tinggi hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan. Setara juga menilai bahwa Bintang yang dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2009 adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan bukan Bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer. 

Ditambahkan bahwa dalam Permenhan No. 18 Tahun 2012 dijelaskan bahwa Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan kepada prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Setara lalu menegaskan bahwa Prabowo tidak masuk dalam dua kualifikasi ini. Apalagi Prabowo pensiun dari militer karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun.

Senada dengan pendapat Direktur Eksekutif Setara Institute, anggota Komisi I DPR-RI, Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) TB Hasanuddin juga menegaskan bahwa dalam militer saat ini tidak ada istilah pangkat kehormatan lagi. Menurutnya Pasal 27 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI tidak mengatur soal kenaikan pangkat bagi perwira atau prajurit yang telah purna tugas, kecuali pangkat tituler yang diberikan sementara bagi warga negara yang diperlukan dan bersedia menjalankan tugas jabatan yang diperlukan. 

Begitupun dalam UU No. 34 Tahun 2004 tidak ada kenaikan pangkat dari purnawirawan ke purnawirawan. Terlebih sejak berlakunya UU TNI, hal itu sudah tidak ada lagi seperti di era Orde Baru. Ia lalu menegaskan bahwa pangkat kehormatan bisa diberikan namun hanya bagi prajurit dan perwira aktif sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009 Pasal 33 ayat 3.

Sebuah Kesimpulan

Dengan demikian jika dirunut kembali pro-kontra pemberian gelar atau kenaikan pangkat jenderal kehormatan maka kita bisa merangkainya sebagai berikut:

Mabes TNI, Presiden Jokowi dan pengamat politik Ujang Komaruddin menganggapnya sah dan pantas karena Prabowo dianggap berjasa dan ia sebelumnya telah mendapatkan penghargaan bintang utama militer. Alasan berikutnya, meski Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran tetapi statusnya diberhentikan dengan hormat bukan tidak hormat. Itulah sebabnya ia masih berhak dengan tunjangan pensiun dari negara.

Adapun yang kontra dan menganggap pemberian gelar ini tidak sah bahkan ilegal karena Prabowo dianggap bertanggung jawab terhadap kasus pelanggaran HAM terkait penghilangan paksa aktivis antara 1997-1998. Akibatnya ia diberhentikan dari kemiliteran dan ditetapkan melalui Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP dan Keputusan Presiden (Keppres). 

Itulah sebabnya kelompok yang kontra ini menyebut pemberian gelar ini melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998. Alasan berikutnya bagi mereka yang kontra adalah mencermati aturan tentang Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB). Menurut mereka, kenaikan pangkat yang dimaksud adalah bagi prajurit atau perwira yang masih aktif bukan yang telah purnawirawan atau pensiun. 

Menyangkut alasan terakhir ini terjadi perbedaan tafsir. Mabes TNI, Presiden Jokowi dan Ujang Komaruddin berpendirian bahwa UU No. 20 Tahun 2009 juga berlaku untuk purnawirawan atau pensiunan, seperti yang pernah didapatkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Luhut Binsar Panjaitan. Penelusuran penulis, bukan hanya kedua tokoh ini yang pernah mendapat gelar jenderal kehormatan tetapi juga Sarwo Edhie Wibowo, Soesilo Soedarman, AM Hendropriyono, Agum Gumelar, dan Hari Sabarno.

Semoga dengan ulasan pro-kontra dari pihak-pihak yang berkompeten terkait pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto dapat menjadi pertimbangan kita untuk melakukan interpretasi, pantas atau tidaknya penghargaan itu. Bukan dengan mendahulukan atau bahkan memaksakan pandangan subyektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun