Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jenderal Kehormatan Prabowo: Menyoal Pro-Kontra Menghindari Subyektivitas

1 Maret 2024   15:42 Diperbarui: 1 Maret 2024   15:46 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi saat memberikan keterangan pers setelah pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo (Kompas TV, 28 Februari 2024)

Itulah sebabnya menurutnya tidak ada unsur politis dalam pemberian gelar itu. Apalagi sepanjang 2022, Prabowo telah menerima empat tanda kehormatan militer utama, yakni Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Buwana Paksi Utama.

Sebagaimana Presiden Jokowi, Ujang juga menyinggung tentang Susilo Bambang Yudhoyono yang mendapatkan gelar yang sama di era Presiden Megawati Sukarnoputri dan Luhut Binsar Panjaitan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Itulah sebabnya ia menolak anggapan jika pemberian gelar ini mengandung unsur politis, apalagi momennya setelah Pemilu.

Mempermalukan TNI dan Menodai Kepemimpinan Jokowi

 Apa yang dikhawatirkan oleh wartawan saat konferensi pers dengan Presiden Jokowi pada Rabu, 28 Februari 2024 menjadi kenyataan. Dikutip dari Kompas.com (28/2/2024), Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai bahwa pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo justru dapat mempermalukan TNI. 

Alasannya, Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran karena terlibat kasus penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pro-demokrasi pada 1997 sampai 1998. Itulah sebabnya ia mengkhawatirkan pemberian gelar kepada Prabowo itu bisa berbahaya dan semakin melanggengkan impunitas atas aksi kejahatan yang melibatkan militer.

Gufron sebelumnya sudah pernah mengingatkan bahwa jika Presiden Jokowi mengabaikan keberatan para aktivis HAM terkait pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo maka hal itu akan menjadi noda pada masa kepemimpinannya. Ia menambahkan jika langkah ini tetap dilakukan, Presiden Jokowi akan dicatat sebagai presiden yang memberikan gelar jenderal kehormatan kepada terduga pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Saat itu Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Dahnil Ansar Simanjuntak menyebut rencana pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didasarkan atas dedikasi dan kontribusi di bidang militer dan pertahanan sehingga markas besar TNI mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk menaikkan pangkat Prabowo.

Melukai Perasaan Keluarga Korban dan Menghkhianati Reformasi

Sebelumnya, Imparsial bersama puluhan organisasi masyarakat sipil telah menolak pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Menhan Prabowo oleh Presiden Jokowi. Mereka menilai kebijakan itu sebagai politik transaksi elektoral. Mereka menilai hal ini dilakukan oleh Jokowi untuk menganulir keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu. Itulah sebabnya mereka menyatakan bahwa pemberian gelar ini melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998.

Dikutip dari CNN Indonesia (28/2/2024), koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 22 organisasi seperti Kontras, YLBHI, ELSAM, Setara Institute, Greenpeace Indonesia, Migrant Care dan Amnesty Internasional Indonesia mengusulkan lima hal. Mereka meminta agar presiden membatalkan pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo, Komnas HAM harus mengusut serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Prabowo, dan Kejaksaan Agung harus melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM berat tahun 1997-1998. 

Selain itu, mereka meminta presiden dan jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI tahun 2009 yakni untuk membentuk pengadilan HAM ad.hoc. mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan konpensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan merativikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa. Mereka juga meminta TNI-Polri harus menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun