Kenaikan Pangkat Istimewa untuk Prajurit Aktif Bukan untuk PurnawirawanÂ
Dikutip dari Kompas.com (29/2/2024), Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menyampaikan bahwa Bintang sebagai pangkat militer untuk Perwira Tinggi hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan. Setara juga menilai bahwa Bintang yang dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2009 adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan bukan Bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer.Â
Ditambahkan bahwa dalam Permenhan No. 18 Tahun 2012 dijelaskan bahwa Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan kepada prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Setara lalu menegaskan bahwa Prabowo tidak masuk dalam dua kualifikasi ini. Apalagi Prabowo pensiun dari militer karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun.
Senada dengan pendapat Direktur Eksekutif Setara Institute, anggota Komisi I DPR-RI, Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) TB Hasanuddin juga menegaskan bahwa dalam militer saat ini tidak ada istilah pangkat kehormatan lagi. Menurutnya Pasal 27 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI tidak mengatur soal kenaikan pangkat bagi perwira atau prajurit yang telah purna tugas, kecuali pangkat tituler yang diberikan sementara bagi warga negara yang diperlukan dan bersedia menjalankan tugas jabatan yang diperlukan.Â
Begitupun dalam UU No. 34 Tahun 2004 tidak ada kenaikan pangkat dari purnawirawan ke purnawirawan. Terlebih sejak berlakunya UU TNI, hal itu sudah tidak ada lagi seperti di era Orde Baru. Ia lalu menegaskan bahwa pangkat kehormatan bisa diberikan namun hanya bagi prajurit dan perwira aktif sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009 Pasal 33 ayat 3.
Sebuah Kesimpulan
Dengan demikian jika dirunut kembali pro-kontra pemberian gelar atau kenaikan pangkat jenderal kehormatan maka kita bisa merangkainya sebagai berikut:
Mabes TNI, Presiden Jokowi dan pengamat politik Ujang Komaruddin menganggapnya sah dan pantas karena Prabowo dianggap berjasa dan ia sebelumnya telah mendapatkan penghargaan bintang utama militer. Alasan berikutnya, meski Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran tetapi statusnya diberhentikan dengan hormat bukan tidak hormat. Itulah sebabnya ia masih berhak dengan tunjangan pensiun dari negara.
Adapun yang kontra dan menganggap pemberian gelar ini tidak sah bahkan ilegal karena Prabowo dianggap bertanggung jawab terhadap kasus pelanggaran HAM terkait penghilangan paksa aktivis antara 1997-1998. Akibatnya ia diberhentikan dari kemiliteran dan ditetapkan melalui Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP dan Keputusan Presiden (Keppres).Â
Itulah sebabnya kelompok yang kontra ini menyebut pemberian gelar ini melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998. Alasan berikutnya bagi mereka yang kontra adalah mencermati aturan tentang Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB). Menurut mereka, kenaikan pangkat yang dimaksud adalah bagi prajurit atau perwira yang masih aktif bukan yang telah purnawirawan atau pensiun.Â
Menyangkut alasan terakhir ini terjadi perbedaan tafsir. Mabes TNI, Presiden Jokowi dan Ujang Komaruddin berpendirian bahwa UU No. 20 Tahun 2009 juga berlaku untuk purnawirawan atau pensiunan, seperti yang pernah didapatkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Luhut Binsar Panjaitan. Penelusuran penulis, bukan hanya kedua tokoh ini yang pernah mendapat gelar jenderal kehormatan tetapi juga Sarwo Edhie Wibowo, Soesilo Soedarman, AM Hendropriyono, Agum Gumelar, dan Hari Sabarno.