Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pinisi Nusantara: Sebuah Pelayaran Maut ke Benua Amerika

18 September 2022   09:07 Diperbarui: 19 Juli 2024   10:43 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinisi Nusantara. Sumber: sampaijauh.com

"Pelayaran Maut" adalah sebutan sejumlah jurnalis Barat bagi misi pelayaran Pinisi Nusantara dari Indonesia ke Benua Amerika. Mereka menyebutnya demikian karena sejak era Revolusi Industri dengan momentum mesin uapnya belum ada pelayaran menempuh jarak 11.000 mil dengan menggunakan kapal kayu.

Pinisi Nusantara direncanakan berlayar mengarungi Samudra Pasifik untuk misi mengikuti Vancouver Expo '86 yang digelar di Kanada. Negara-negara di dunia akan memamerkan teknologi transportasi mereka yang membanggakan, misalnya Amerika dengan Apollo 11 dan Uni Soviet dengan Vostok-1. Apollo 11 adalah pesawat yang mengantarkan Neil Amstrong dan Edwin Aldrin menginjakkan kaki di bulan, sedangkan Vostok-1 membawa Yuri Gagarin menjadi manusia pertama yang mengorbit bumi.

Selain kedua pesawat legendaris tersebut, yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh publik di Kanada adalah Pinisi Nusantara dari Indonesia. Satu-satunya kapal kayu tradisional yang akan menjadi peserta setelah menempuh perjalanan 11.000 mil. Wartawan Canadian Broadcasting Corporation (CBC) Frank Koller merasa perlu datang ke Bitung untuk turut serta dalam ekspedisi Pinisi Nusantara.

Kisah pelayaran Pinisi Nusantara 36 tahun silam ini telah diabadikan oleh harian Fajar, media nasional yang terbit di Makassar. Sebelumnya beberapa jurnalis yang ikut serta dalam misi pelayaran maut itu, seperti Pius Caro, Nina Pane dan Semy Hafid juga telah menuliskan kisahnya. Pius Caro menulis buku Ekspedisi Pinisi Nusantara sedangkan Nina Pane dan Semy Hafid menulis buku "Menyisir Badai". Merekalah saksi sejarah ketangguhan Pinisi Nusantara sekaligus pembuktian jargon nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut.

Kapten Gita. Sumber: m.jpnn.com
Kapten Gita. Sumber: m.jpnn.com

Peneguhan Harga Diri Pelaut Indonesia

Pinisi Nusantara awalnya bertolak dari Kabupaten Bulukumba---tepatnya di Tanah Beru--menuju Ujung Pandang (sekarang Makassar) untuk finishing touch (dilengkapi dengan sejumlah perangkat teknologi mutakhir termasuk motor dan teknologi komunikasi). Dari Makassar kapal menuju Jakarta untuk selanjutnya bertolak ke Bitung. Di sanalah Pinisi Nusantara akan memulai menjelajahi samudra menuju benua Amerika.

Rencana awalnya Pinisi Nusantara akan dinakhodai oleh pelaut Prancis, tetapi informasi ini diketahui oleh Sueb Ardjakusuma, veteran perwira Angkatan Udara Republik Indonesia. Ia kemudian menanyakan ke putranya, Kapten Laut Gita Ardjakusuma: Apakah tidak ada pelaut kita yang bisa menakhodai Pinisi Nusantara? Singkat cerita Kapten Gita mengajukan diri menjadi nakhoda melalui Laksamana Sudomo yang tak ragu lagi dengan kepiawaian Kapten Gita di laut.

Saat menakhodai Pinisi Nusantara, Kapten Gita berusia 42 tahun. Bersamanya ada 11 awak yang siap mengawal Pinisi Nusantara hingga ke pelabuhan tujuan. Mereka telah dibaluri mantra manggaru': "Takunjunga bangunturu, nakugunciri gulingku, kualleangi tallanga natoalia, le'ba' kusoronna biseangku, kucampa'na sombalakku, tamammelokka punna teai labuang... (Tidak begitu saja aku ikut angin buritan, dan aku putar kemudiku, lebih baik aku pilih tenggelam daripada balik haluan, ketika perahuku kudorong, ketika layarku kukembangkan, aku tak akan menggulungnya jika bukan pelabuhan...)

Di pengujung Juli 1986, Pinisi Nusantara bersandar di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Kapal kayu itu bersiap mengarungi Samudera Pasifik menuju Honolulu untuk selanjutnya ke Kanada mengikuti Voncouver Expo yang rencananya digelar hingga 12 Oktober 1986. Jarak Bitung-Honolulu mencapai 6050 nautical mile. Betul-betul sebuah pelayaran maut bagi sebuah kapal yang terbuat dari kayu.

Kapten Gita (duduk) bersama awak Pinisi Nusantara. Sumber: oceanografi.lipi.go.id
Kapten Gita (duduk) bersama awak Pinisi Nusantara. Sumber: oceanografi.lipi.go.id

Pembuktian Ketangguhan Pelaut Indonesia

Suatu ketika Pinisi Nusantara terguncang di haluan 070. Posisi 04 derajat Lintang Utara/130 derajat Bujur Timur. Terasing di tengah samudera, Kapten Gita lantas membaca peta. Ditariknya garis lurus ke arah Barat Laut. Terdekat dari posisi mereka adalah Teluk Davao, Filipina. Butuh waktu 35 jam pelayaran untuk mencapainya. Ditariknya lagi garis lurus ke arah Barat Daya. Didapati Pulau Morotai yang dapat ditempuh selama 16 jam pelayaran. Bila haluan terus melaju, yang paling mungkin dicapai adalah Pulau Sonsorol yang berjarak 35 mil.

Sementara itu di sebelah kanan lambung kapal, ada Pulau Anna, Amerika Serikat. Jaraknya sama dengan Pulau Sonsorol. Adapun Honolulu, yang rencananya menjadi pelabuhan persinggahan, jaraknya masih 36 hari pelayaran.

"Ah persetan dengan angka-angka dan perhitungan waktu yang memusingkan. Persetan dengan nasib. Kami sudah kepalang berlayar jauh," seru Kapten Gita, sebagaimana ditulis Nina Pane dan Semy Hafid.

Mengantisipasi kemungkinan terburuk, Kapten Gita bersegera memberi komando kepada para awak agar mengenakan pelampung. Setelah itu, membungkus barang-barang pribadi yang dianggap penting dan mengemasnya dalam plastik. Badai dengan kecepatan 30 knots datang menyergap.

Dikisahkan kemudian, Mappagau pelaut Bugis yang sarat akan pengalaman, seketika mengambil komando. Dia keluar dari anjungan sambil menyeru, "Ambil layar! Cepat ambil layar!". Para pelaut Bugis itu paham bahwa ambil layar maksudnya adalah menggulung-turunkan layar.

Meski tanpa persetujuannya sebagai nakhoda, Kapten Gita membiarkan Mappagau mengambil kendali. Kini, tanpa selembar layar pun, Pinisi Nusantara menyerahkan nasibnya pada alam. Angin bertiup kencang. Kapal dikocok ombak dan gelombang.

Setelah badai reda, Kapten Gita mengumpulkan seluruh awak. Dia depan mereka, dia mengakui kepiawaian Mappagau. Pun demikian, tindakan tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Ia menjelaskan alasannya bahwa jika angin kencang semakin tak tertahankan, maka pertama-tama yang harus diturunkan adalah layar-layar puncak (top sail). Karena tekanan angin di puncak tiang bisa menyebabkan perahu miring dan mungkin sekali terbalik. Kalau tak tertahankan juga, maka layar besar belakang (spanker sail) harus diturunkan. Kemudian menyusul layar utama (main sail), layar jib-luar dan jib-tengah. Sedangkan layar jib dalam (stay sail) tidak boleh digulung, berhubung fungsi rangkapnya sebagai pembantu kemudi agar kapal lebih mudah diatur.

Setelah berlayar selama 67 hari, Pinisi Nusantara merapat di Victoria (13 September 1986). Pesawat Otter Amphibi mendarat persis di samping sandaran Pinisi Nusantara. Laksamana Sudomo keluar dari pesawat. Menghampiri dan langsung memeluk para awak Pinisi Nusantara satu persatu. Bergetar dan terbata-bata bibir Sudomo mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat mencemaskan ekspedisi ini.

Beberapa saat kemudian, melalui pesawat Inmarsat (International Maritime Satellite) di Pinisi Nusantara, Presiden Soeharto menelepon dari Jakarta. Ia mengakui sekaligus membanggakan keuletan para awak Pinisi Nusantara yang telah membuktikan semangat bahari bangsa Indonesia kepada dunia. Keuletan itu akan dihargai bukan hanya oleh bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga oleh bangsa-bangsa di dunia. Ia juga menyampaikan salam selamat dan penghargaan kepada seluruh ABK.

Kapten Gita (sisi kanan Pak Harto) bersama awak Pinisi Nusantara diterima di Istana Negara. Sumber: oceanografi.go.id
Kapten Gita (sisi kanan Pak Harto) bersama awak Pinisi Nusantara diterima di Istana Negara. Sumber: oceanografi.go.id

Penghormatan Dunia bagi Pelaut Indonesia

Hanya sehari beristirahat, para pelaut Indonesia kembali berlayar menuju pelabuhan tujuan. Di tengah lautan, Pinisi Nusantara berpapasan dengan Kapal Induk Armada VII USS Constellation. Sesuai etika kelautan, kapal yang lebih kecil segera menurunkan bendera dan membunyikan peluit sebagai tanda penghormatan. Sedangkan kapal yang lebih besar tak perlu membalas penghormatan tersebut.

Tapi kali ini lain. Kapal induk Amerika itu menurunkan layar. Suara nyaring peluit tanda penghormatan juga terdengar dari kapal itu. Lalu seperti ada yang mengomandoi, seluruh awaknya serempak turun ke geladak. Mereka memberi sikap hormat pada Pinisi Nusantara yang panjangnya hanya 37 meter dan diawaki belasan orang.

Akhirnya setelah sehari pelayaran, Pinisi Nusantara yang telah lama ditunggu, berhasil berlabuh di Marine Plaza, Vancouver. Kota di Pantai Barat Amerika yang memiliki sejarah kemaritiman yang panjang. Lebih kurang 100 surat kabar di Kanada kemudian mengulas pelayaran legendaris dalam sejarah kemaritiman dunia, khususnya di abad ke-20. Sebuah kapal kayu tradisional berhasil menempuh pelayaran sejauh lebih kurang 11 ribu mil. Melintasi ganasnya Samudera Pasifik.

Malam harinya Angkatan Laut Amerika menggelar resepsi. Kapten Gita Ardjakusuma duduk semeja dengan Laksamana Sudomo, Panglima Armada Laut USA di Pasifik dan Komandan Kapal Induk USS Constellation yang sempat berpapasan di laut. Saat Sudomo memperkenalkan Kapten Gita sebagai nakhoda Pinisi Nusantara, sontak hadirin berdiri. Sebuah aplaus panjang membahana.

Stand Indonesia yang semula sepi, semenjak kedatangan Pinisi Nusantara saban hari dikunjungi tak kurang 3.000 orang. Bahkan, pada 21 September 1986, Pinisi Nusantara didatangi 25 ribu pengunjung. Sebuah angka yang fantastis. Maka tak ayal, stand Indonesia masuk dalam kelompok Top Twelve berbintang empat di topik A Must See. Indonesia bahkan menjadi satu dari tiga negara yang dianugerahi paku rel kereta api Trans Canada.

Kapten Gita mewakili awak Pinisi Nusantara menerima penghargaan di Vancouver Expo 86.
Kapten Gita mewakili awak Pinisi Nusantara menerima penghargaan di Vancouver Expo 86.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun