Pembuktian Ketangguhan Pelaut Indonesia
Suatu ketika Pinisi Nusantara terguncang di haluan 070. Posisi 04 derajat Lintang Utara/130 derajat Bujur Timur. Terasing di tengah samudera, Kapten Gita lantas membaca peta. Ditariknya garis lurus ke arah Barat Laut. Terdekat dari posisi mereka adalah Teluk Davao, Filipina. Butuh waktu 35 jam pelayaran untuk mencapainya. Ditariknya lagi garis lurus ke arah Barat Daya. Didapati Pulau Morotai yang dapat ditempuh selama 16 jam pelayaran. Bila haluan terus melaju, yang paling mungkin dicapai adalah Pulau Sonsorol yang berjarak 35 mil.
Sementara itu di sebelah kanan lambung kapal, ada Pulau Anna, Amerika Serikat. Jaraknya sama dengan Pulau Sonsorol. Adapun Honolulu, yang rencananya menjadi pelabuhan persinggahan, jaraknya masih 36 hari pelayaran.
"Ah persetan dengan angka-angka dan perhitungan waktu yang memusingkan. Persetan dengan nasib. Kami sudah kepalang berlayar jauh," seru Kapten Gita, sebagaimana ditulis Nina Pane dan Semy Hafid.
Mengantisipasi kemungkinan terburuk, Kapten Gita bersegera memberi komando kepada para awak agar mengenakan pelampung. Setelah itu, membungkus barang-barang pribadi yang dianggap penting dan mengemasnya dalam plastik. Badai dengan kecepatan 30 knots datang menyergap.
Dikisahkan kemudian, Mappagau pelaut Bugis yang sarat akan pengalaman, seketika mengambil komando. Dia keluar dari anjungan sambil menyeru, "Ambil layar! Cepat ambil layar!". Para pelaut Bugis itu paham bahwa ambil layar maksudnya adalah menggulung-turunkan layar.
Meski tanpa persetujuannya sebagai nakhoda, Kapten Gita membiarkan Mappagau mengambil kendali. Kini, tanpa selembar layar pun, Pinisi Nusantara menyerahkan nasibnya pada alam. Angin bertiup kencang. Kapal dikocok ombak dan gelombang.
Setelah badai reda, Kapten Gita mengumpulkan seluruh awak. Dia depan mereka, dia mengakui kepiawaian Mappagau. Pun demikian, tindakan tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Ia menjelaskan alasannya bahwa jika angin kencang semakin tak tertahankan, maka pertama-tama yang harus diturunkan adalah layar-layar puncak (top sail). Karena tekanan angin di puncak tiang bisa menyebabkan perahu miring dan mungkin sekali terbalik. Kalau tak tertahankan juga, maka layar besar belakang (spanker sail) harus diturunkan. Kemudian menyusul layar utama (main sail), layar jib-luar dan jib-tengah. Sedangkan layar jib dalam (stay sail) tidak boleh digulung, berhubung fungsi rangkapnya sebagai pembantu kemudi agar kapal lebih mudah diatur.
Setelah berlayar selama 67 hari, Pinisi Nusantara merapat di Victoria (13 September 1986). Pesawat Otter Amphibi mendarat persis di samping sandaran Pinisi Nusantara. Laksamana Sudomo keluar dari pesawat. Menghampiri dan langsung memeluk para awak Pinisi Nusantara satu persatu. Bergetar dan terbata-bata bibir Sudomo mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat mencemaskan ekspedisi ini.
Beberapa saat kemudian, melalui pesawat Inmarsat (International Maritime Satellite)Â di Pinisi Nusantara, Presiden Soeharto menelepon dari Jakarta. Ia mengakui sekaligus membanggakan keuletan para awak Pinisi Nusantara yang telah membuktikan semangat bahari bangsa Indonesia kepada dunia. Keuletan itu akan dihargai bukan hanya oleh bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga oleh bangsa-bangsa di dunia. Ia juga menyampaikan salam selamat dan penghargaan kepada seluruh ABK.