"Habis manis, sepuh dibuang" --- Sebuah Parodi Peribahasa
Ratna Sarumpaet (RS) mengacungkan dua jari ketika masuk dan keluar ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 28/2/2019. Hari itu merupakan agenda sidang perdana dengan pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum (JPU) setelah RS ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan penyebaran kabar bohong atau hoaks mengenai penganiayaan pada Kamis, 4/10/2018, dengan UU Nomor 1 Tahun 1946 (Peraturan Hukum Pidana) dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Akan tetapi, aksi mengacungkan dua jari wanita berusia 70 tahun tadi menuai respons yang sebaliknya dari Wakil Ketua Dewan Penasihat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno Hidayat Nur Wahid (HNW) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/2/2019).
"Saya yakin, kita enggak ada hubungannya dengan Bu Ratna Sarumpaet. Hal itu akan semakin mengesankan tentang hal yang kemudian seolah-olah ini ada kaitannya dengan Prabowo dan Sandi. Menurut saya, hal semacam itu seharusnya tidak dilakukan. 'Kan, sudah sangat jelas perilaku beliau itu, 'kan, yang amat sangat dirugikan adalah pendukung, Prabowo, Amien Rais, Fadli Zon, dan pihak-pihak yang berada di kubu 02?" komentar HNW yang juga menjabat sebagai wakil ketua majelis Syuro PKS.
Respons "sebaliknya" dari HNW terhadap RS juga terjadi sebelumnya, yaitu pasca-penangkapan RS dalam kasus hoaks. HNW heran Ratna Sarumpaet sempat masuk timses Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Bu Ratna itu, saya juga agak aneh ya, kok dia masuk ke... menjadi timses. Karena, 'kan, kalau ukurannya dengan koalisi PKS dan Gerindra melalui Pilgub di DKI. Lah, 'kan, beliau pendukung Ahok," kata HNW di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/10/2018).
RS Pendukung Paslon 02
Dalam Pilpres 2019 ini acungan dua jari itu artinya dukungan kepada paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. RS, yang juga Ketua Presidium Nasional Gerakan Selamatkan Indonesia (GSI), memang secara terang-terangan mendukung paslon 02.
"Kita komitmen menangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden-Wakil Presiden RI 2019-2024," ujar RS dalam acara Rakernas GSI di Hotel Alia Cikini, Minggu (12/8/2018).
GSI merupakan kelompok relawan untuk kemenangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. RS mengaku bakal bertarung habis-habisan guna memenangkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai kepala negara sekaligus menjegal paslon 01, Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Ingat, ya, kalau kali ini kita kalah, Indonesia hilang," kata RS.
GSI-nya RS berbeda dengan GSI-nya Aliansi Pewarta Independen (API). GSI API justru anti-hoaks, dan tidak berafiliasi dengan kubu 01 ataupun 02. Mungkin berafiliasi dengan kubu 03, Renaldi-Aldo, alias capres-cawapres dagelan. Mungkin lho.
RS Pendukung Anies-Sandi dalam Pilgub DKI 2017
Sebenarnya, pasca-penangkapan RS yang mendapat respons HNW di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/10/2018), justru tersirat kelucuan. Coba baca saja.
"Bu Ratna itu, saya juga agak aneh ya, kok dia masuk ke... menjadi timses. Karena, 'kan, kalau ukurannya dengan koalisi PKS dan Gerindra melalui Pilgub di DKI. Lah, 'kan, beliau pendukung Ahok," kata HNW di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/10/2018).
Cukup "kelucuan". Tidak perlu repot mencari dugaan atau kemungkinan apa pun di balik "kelucuan" itu. Kelucuan itu pun sempat menyebabkan Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir mencuit di akun Twitter, @na_dirs.
"Duh... Ampe gak bisa ngomong lagi deh diriku ---khawatir keluar kata2 yg tdk pantas utk ustad HNW. Kita berdoa saja agar semua pihak dijaga nalar dan nuraninya demi kemaslahatan bangsa," tulisnya.
Bagaimana tidak lucu, pada Pilgub DKI 2017 RS malah gencar mendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno. RS pun aktif dalam gerakan mengalahkan Ahok, yang dimulai dari demonstrasi Aksi 212 (2/12/2016). Menjelang unjuk rasa, 10 orang ditangkap dengan tuduhan makar, termasuk Ratna Sarumpaet. Tapi, pengusutan tak berlanjut hingga berakhirnya Pilgub DKI 2017 dengan kemenangan Anies-Sandi.
Masih kurang mendukung, ya? Ada lagi nih.
Pada Selasa, 3/4/2018 di kawasan Taman Tebet, Jakarta Selatan mobil RS diderek oleh petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta karena dianggap memarkirkan mobilnya sembarangan dan dinilai melanggar Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi. RS langsung menghubungi Gubernur Anies Baswedan.
"Itu, 'kan, kejadian sekitar jam 09.00. Saya mencoba menghubungi Anies lalu stafnya yang urus akhirnya. Stafnya bilang sekitar jam 10.00 mobilnya bisa diambil di MT Haryono. Saya bilang, 'Saya tidak akan ambil mobil saya dari situ', dan saya sampaikan maaf ke Pak Anies," ujar RS.
RS pun meminta petugas dishub meminta maaf, dan mengantarkan mobil yang diderek itu ke rumahnya. Sekitar pukul 11.00 sejumlah petugas dishub datang ke rumah RS dengan mengantarkan mobilnya.
"Dishub sudah salah menderek mobil saya, padahal tidak ada rambu-rambu. Dishub harus berani minta maaf dan mengembalikan mobil saya. (Akhirnya mobil) dikembalikan dan (petugas) minta maaf juga," katanya.
Betapa ampuhnya posisi seorang RS, 'kan? Masak, sih pendukung Ahok (Ahoker) di Pilgub DKI 2017 bisa seampuh RS?
Ternyata sebutan "pendukung Ahok" itu keliru waktu. RS mendukung Ahok, bahkan ketika itu cagubnya Jokowi, yaitu pada Pilgub 2012. Kalau Pilgub 2012, jelas belum ada istilah "Ahoker", PDIP dan Gerindra sedang aduhai berduaan saja, dan justru PKS sedang bergerombol dengan Demokrat, PAN, Hanura, PKB, PBB, PMB, dan PKNU.
Putusnya hubungan politik antara RS dan Ahok terjadi pada 2016. RS merasa, apa yang dilakukan Ahok tidak sesuai dengan pandangannya.
"Enggak lama memerintah, malah urusan agama saya diacak-acak. Soal kurban lah dicampuri, dan itu saya mulai terganggu. Tetapi yang paling mengganggu saya adalah kekerasan di Kampung Pulo," kata RS di Gedung DPRD DKI, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016), yang ketika itu kedatangannya untuk mengadukan masalah penertiban kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara.
"Dan sejak itu pula dia merasa bahwa aku adalah musuhnya. Biarin saja, tetap saja itu tidak akan menghentikan saya melawan kekerasan yang dia buat," pungkasnya.
Ratu Hoaks
Pertama kali gelar "Ratu Hoaks" pada RS disematkan oleh seorang anggota BPN lainnya, yaitu Ferdinand Hutahaean. Ferdinand juga menjabat sebagai Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat.
"Ratna layak dinobatkan sebagai ratu hoaks karena mampu membohongi kami semua dan membawa kami ke dalam kondisi tidak mengenakkan," ujar Ferdinand kepada SINDOnews, Kamis (4/10/2018)
Penyematan atau penobatan "Ratu Hoaks" dilakukan pasca-pengakuan RS atas kebohongannya soal penganiayaan yang dialaminya. Pengakuan atas kebohongannya sendiri dilakukan melalui konferensi pers di kediamannya pada Rabu, 3/10/2018.
"Kali ini saya pencipta hoaks terbaik ternyata menghebohkan semua negeri. Mari kita ambil pelajaran dan bangsa kita ini dalam keadaan tidak baik seperti ini," ungkapnya.
Ratna juga meminta maaf kepada capres 02 dan Amien Rais. Karena dalam pertemuan itu dirinya berbohong seolah-olah luka yang ia dapat akibat adanya penganiayan. Sementara para "korban" hoaksnya, semisal Rizal Ramli, tidak disebutkannya.
"Teraniaya" dan "Terbuang"
Sebelum acungan dua jari RS direspons HNW dengan perkataan "tidak perlu menampilkan satu jari, dua jari, tiga jari" sebagai sebuah ungkapan "kurang simpati", selama berada dalam Rumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, tidak seorang pun dari elite kubu 02 yang sudi menjenguknya.
"Memang enggak ada niat, sih (jenguk). Kami nih, 'kan, keki, jengkel sekali merasa dibohongi kok," ujar Anggota Dewan Pengarah BPN Fadli Zon (FZ) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Padahal, paling tidak, justru wakil Ketua DPR RI itulah yang "pas" sekali untuk menjenguk RS. Pasalnya, sebelum "pengakuan" atas hoaks, FZ sempat menjenguk RS sekaligus berfoto bersama.
"Mbak @RatnaSpaet memang mengalami penganiayaan dan pengeroyokan oleh oknum yang belum jelas. Jahat dan biadab sekali," cuit FZ lewat akun twitter-nya @fadlizon, Selasa siang, 2 Oktober 2018.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra itu juga mengunggah foto dirinya dengan Ratna yang menggunakan baju berwarna biru dengan motif garis-garis, dan menulis, "Saya menjenguk Mbak @RatnaSpaet saat proses recovery dua hari lalu. Tindakan penganiayaan ini memang sungguh keji."
Ucapan yang dilontarkan oleh HNW dan FZ, sepakat atau tidak, bisa jadi merupakan "penganiayaan psikis" yang senada dengan peribahasa "Habis manis, sepah dibuang" jika diparodikan menjadi "Habis manis, sepuh (alias nenek) dibuang". Soal sadis mana antara "penganiayaan fisik" dan "penganiayaan psikis", entah siapa yang mengetahuinya.
Di sisi lain, siapa yang bisa mengetahui, ada apa dalam acungan dua jari RS, meski jelas ia "terbuang" dari kumpulannya serta "teraniaya" oleh sikap orang-orang yang pernah didukung dan dibelanya. Apakah RS malah sedang melakoni sebuah peran baru karena, toh, memainkan suatu peran bukanlah hal yang baru bagi wanita yang pernah berteater bersama Maestro Teater Modern Indonesia, W.S. Rendra, meski mengorbankan kuliahnya di Arsitektur Universitas Kristen Indonesia? Entah siapa yang mampu mengetahui selain dirinya sendiri, 'kan?
Namun, jika memang "teraniaya" dan "terbuang" begitu perih, apa boleh buat. Beginilah realitas politik praktis di Indonesia yang selalu menganut adagium "Tidak ada kawan-lawan abadi, selain kepentingan". Ketika sebuah sikap sangat menghebohkan dunia politik praktis Indonesia dan berdampak telak pada "kepentingan" elite koalisi, atau "amat sangat dirugikan" menurut HNW, secara langsung menjadi bumerang bagi RS sendiri. Dan, entah seperti apa rasa "teraniaya" dan "terbuang"-nya RS atas respons HNW dan FZ.
*******
Balikpapan, 1 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H