Prit! ! Prit! Priiiiiit!
Saya menoleh ke arah sumber suara yang muncul secara tiba-tiba. Antara heran dan jengkel saya pun menghentikan gerakan lalu merogoh saku untuk mengambil uang receh.
Tadinya tidak terlihat, kok bisa mendadak muncul, ya?
Seorang pemuda berjalan agak cepat ke arah saya. Di mulutnya terselip sebuah peluit. Gerakannya pun dibarengi dengan sebelah tangan seakan mengatur arah kendaraan yang lewat.
Dengan masih agak jengkel saya memberikan sejumlah uang receh yang wajar untuk parkir. Lalu dia bergerak sebagaimana tukang parkir umumnya.
Kejadian semacam itu bukanlah satu-dua kali saya alami. Terkadang saya membayar dengan rasa jengkel, apalagi kalau barang atau sesuatu yang saya mau beli ternyata tidak ada.
Jadi Tukang Parkir Liar Dadakan
Saya pernah menjadi tukang parkir liar selama 1 minggu karena sedang tidak memiliki uang serupiah pun, meski hanya untuk makan berlauk minimalis di warung murahan. Lokasinya di depan sebuah toko. Waktu itu masa libur Idul Fitri.
Tukang parkir "asli"-nya sedang berlibur lebaran ke kampung istrinya. Tentu saja saya sudah mengenalnya terlebih dulu karena saya biasa nongkrong di emperan toko itu. Selain dia, saya pun mengenal tukang parkir di area sebelah-sebelahnya. Pemilik toko dan karyawannya juga mengenal saya.
Dengan mengenakan rompi oranye khas tukang parkir (pinjaman, sih), saya berdiri atau duduk di tengah area parkir yang tidak terlalu lebar agar bisa mengawasi suasana, orang lalu-lalang, kendaraan sekaligus perlengkapannya.
Meski tanpa pengalaman sebagai tukang parkir, saya berusaha menjadi tukang parkir sungguhan. Kalau kendaraan itu beroda dua alias motor, saya harus menjaga helm si pemiliknya juga. Kalau kendaraannya beroda empat, saya harus memperhatikan kelengkapan atau atribut di badan mobilnya, semisal kaca spion, dan situasi lalu-lintas di sekitarnya.
Kendaraan yang parkir di depan toko itu memang tidaklah membludak karena masa libur lebaran. Saya tidak terlalu repot untuk mengawasi sekaligus mengatur masuk-keluar kendaraan.
"Jam kerja"-nya  sesuka-suka saya. Pagi sampai sore, atau sore sampai malam. Sementara tarifnya memakai harga biasa-umumnya. Ada kalanya tidak dibayar karena si pemilik kendaraan mengeluarkan uang berlebihan, dan saya tidak memiliki uang kembalian.
Saya pernah bertemu dengan beberapa kawan. Respons paling biasa dari mereka adalah heran. Saya pun memberi tahu bahwasannya saya butuh uang untuk makan, dan saya harus bekerja begini.
Hanya untuk makan 1 hari di sebuah warung makan murahan terdekat. Memamng pendapatan dari parkir itu lebih dari cukup untuk makan saja, meski cukup sepi. Kelebihannya saya simpan untuk saya kembalikan ke tukang parkir "asli" setelah ia siap bertugas lagi.
Satu kali itu saja pengalaman saya menjadi tukang parkir liar. Itu pun karena kesalahan saya mengelola keuangan. Hari lainnya saya sudah bisa mengelola keuangan saya lagi, dan lebih disiplin.
Liar Tetapi Bertanggung Jawab
Memilih "profesi" sebagai tukang parkir liar bukan berarti liar pula dalam pertanggung jawaban. Seorang yang memilih "profesi" ini, paling tidak, mengenal lingkungan sekitarnya. Tidak cukup sekadar rompi dan peluit (sempritan).
"Mengenal" itu berarti secara fisik dan sosial. Secara fisik berupa area, dan situasi kendaraan di sekitarnya. Masuk-keluar kendaraan, kondisi tempat parkir, penataan kendaraan, dan situasi lalu-lintas di sekitarnya merupakan hal yang wajib dikenali.
Secara sosial berupa hubungan dengan kalangan terdekat, termasuk ketua RT dan pemilik toko. Pergaulan sosial antartukang parkir di sekitar sangatlah penting. Ketua RT setempat, tentunya, bisa senang apabila situasi di wilayahnya tetap teratur, 'kan?
Dengan mengenal situasi fisik dan sosial, melakukan "tugas" bisa lebih leluasa melakukan fungsinya. Kalangan terdekat dan para pengguna jalan bisa memahami dan lebih "terbantukan" dalam hal keteraturan pemarkiran dan situasi di area sekitarnya.
Kemudian, kalangan calon konsumen di area itu pun harus sudah bisa melihat "siapa" juru parkirnya. Hilang atau rusaknya bagian kendaraan milik orang lain merupakan tanggung jawab si tukang parkir, meskipun liar.
Karena statusnya "liar", sebenarnya, tarifnya juga "liar" alias boleh saja tidak dibayar. Toh, tidak ada karcis atau tanda bukti parkir, 'kan? Toh, tidak ada surat keterangan atau bukti kontrak (SK) sebagai tukang parkir dari pejabat berwenang, minimal ketua RT setempat, 'kan?
Persoalannya, tidak jarang tukang parkir liar tidak melakukan tugasnya dengan baik. Muncul secara tiba-tiba, tidak sudi bertanggung jawab ketika terjadi kehilangan di kendaraan yang diparkirkannya, pelit senyuman, terima uang langsung entah ke mana, dan seterusnya.
Dengan adanya persoalan, minimal seperti contoh kecil di atas, tidaklah mustahil membuat kecewa atau jengkel sebagian pemilik kendaraan. Kalau sebagian pemilik kendaraan merasa tidak nyaman, tidak pula mustahil jika berdampak kurang nyaman pula bagi pemilik toko atau usaha di situ. Kalau kedua pihak itu tidak nyaman, apakah tetap akan nyaman bagi seorang tukang parkir liar, kendati uang tetap sampai di tangannya?
Ya, memang tidak semua juru parkir liar menyadari dan memahami pilihan "profesi"-nya, padahal tidak ada "kewajiban" membayar retribusi kepada pihak terkait, dan seringkali pendapatan dari parkir liar itu berjumlah lumayan banyak. Kalau kesadaran dan pemahaman sudah gagal, ya, dampak "tidak nyaman" selalu dialami oleh para pemilik kendaraan. Semoga saja tidak dibarengi dengan caci-maki atau sumpah serapah.
*******
Balikpapan, 29 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H