Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Aroma Korupsi di Sekitar Meja Gambar

4 November 2018   17:57 Diperbarui: 5 November 2018   00:30 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menggeleng-geleng ketika beberapa hari lalu membaca berita tentang korupsi yang terjadi pada tugu antikorupsi di Pekanbaru, Riau. Bukan karena kaget, heran, tidak menduga, atau sangsi. Hanya saja, tidak habis memahami mengenai hakikat hidup di Negara Pancasila ini.

Saya tidaklah "buta" pada proyek-proyek "pelat merah". Saya pernah bekerja sebagai karyawan biasa di konsultan bangunan, kontraktor, developer, bahkan menolak tawaran menjadi pegawai melalui "pintu samping" yang saya tuliskan dalam artikel "Menjadi PNS" (30 Oktober 2018).

Ketika bekerja "ikut orang", posisi saya berganti-ganti. Sebagai arsitek, tentu saja saya berposisi sebagai perencana dan perancang yang hanya berada di kursi dan menghadap meja gambar (sebelum menggunakan komputer). Tukang gambar bangunan (drafter), begitulah awalnya.

Selain bertugas utama sebagai "tukang gambar", saya pun pernah terlibat dalam kegiatan pengukuran lahan sebuah proyek, salah satunya milik "pelat merah". Keterlibatan saya karena terkait dengan ukuran unit bangunan dan luasan lahan.

Ada apa dalam urusan semacam ini? Ada deh.   

Bekerja "ikut orang" merupakan tahap terpenting dalam proses pemahaman atas kenyataan hidup (realitas). Kenyataan itu juga termasuk perihal anggaran sebuah proyek, baik perencanaan-perancangan maupun pelaksanaan pembangunan.

Angka-angka yang aduhai sangat bisa bahkan biasa tersulap. Ada katrol angka, bagi persen, suap-kolusi, istilah "fee"-"uang komitmen", bahkan saham perusahaan berisi beberapa oknum birokrasi atau nama anak-keluarga, dan sekitarnya. Salah satunya saya tulis dalam artikel "Sulapan Angka dalam Sebuah Proyek Pembangunan" (3 Juli 2016).

Di lain waktu saya diutus oleh atasan saya untuk mengikuti sebuah lelang proyek perencanaan. Perutusan itu pun berlaku pada rekan-rekan saya, bahkan kami ber-6 ikut dalam acara itu. Hanya saja berbeda waktu ketika memasukkan berkas (dokumen penawaran).

Saya dan seorang rekan membawa berkas-berkas berstempel "perusahaan bukan milik atasan saya". Dua rekan saya membawa berkas yang juga dari "perusahaan lain". Sementara dua rekan lainnya membawa berkas dari perusahaan milik atasan saya.

Ada apa pula dengan urusan semacam itu? Ya, ada deh.

Yang lucu adalah pada sesi penjelasan mengenai tender (aanwijzing) di waktu selanjutnya. Bukannya lucu karena masih saja menggunakan istilah dalam bahasa Belanda, melainkan saya harus "bersandiwara".

Ya, lagu "Panggung Sandiwara"-nya God Bless memang "wajib" saya lakukan sebagai bawahan. Meski kami ber-6 merupakan rekan dalam keseharian di kantor, tetapi di sesi tersebut saya "wajib" menyapa rekan saya dengan seolah-olah "bukan rekan" alias dari pesaing (kompetitor).  "Panggung"-nya dimulai dari tempat parkir.

Dan seterusnya sampai hasil "menang-kalah" tender hanyalah syair-syair lagu God Bless itu. Semua sudah diatur dalam nama Tuhan. Oh, Tuhan memberkati (God Bless), ya?   

Saya pun pernah menjadi pengawas proyek pelaksanaan pembangunan, baik  milik "pelat merah" maupun "pelat kuning". Sebagai seorang pengawas proyek, tentu saja, saya berhubungan langsung dengan orang-orang yang terkait dengan struktur organisasi.

Dalam realitas pergaulan lingkup struktur organisasi, tentu saja, saya bisa bahkan biasa menemukan "perbedaan" antara proyek "pelat merah" dan "pelat kuning".  Masing-masing personal sudah "tahu sama tahu" ketika ngobrol sambil minum kopi.

"Tahu sama tahu" yang bagaimana? Ya, tahu sama dengan tahu, bukannya tempe, meski bahan dasarnya adalah kedelai. Pokoknya, gitu deh.

Pada waktu selanjutnya, selain menjadi Kepala Studi Arsitektur (Lead of Architects), saya pernah melalui beberapa posisi dalam pelaksanaan pembangunan. Dari seorang pelaksana (Supervisor) hingga Manajer Proyek (Project Manager).

Hubungan antarmeja kantor berisi gambar dan ini-itu memang merupakan hal biasa. Tetapi hubungan antarmeja berisi gelas khusus bersanding botol beralkohol untuk sebuah proyek, tentunya berbeda sekali, 'kan?

Paling berbeda adalah di dekat meja bertabur makanan-minuman. Seorang oknum kepala daerah (seketika bernama samaran di situ) berpelukan dengan seorang perempuan muda yang aduhai. Tidak cukup duduk berpelukan, si oknum kepala daerah pernah, bahkan 2 kali, menyusul si perempuan muda ke toilet.

Lho, ada apa sampai si oknum daerah itu menyusul ke toilet? Pintu tertutup, dan saya tidak tahu ada "proyek" apa lagi di sana. Yang jelas, saya pernah menuliskannya dalam artikel "Sedapnya Suap Seks" (4 Mei 2013)

Semerbak "begituan" paling terasa pada saat menjelang hari raya. Oknum-oknum berseragam pun bisa cengar-cengir keluar-masuk kantor orang lain, apalagi terkait dengan suatu proyek. Pokoknya, aromanya terasa sekali. Oh, Republik Pancasila yang memuliakan Tuhan dengan hasil "begituan". Ironi yang miris. 

Begitulah sekilas pengalaman saya. Sebenarnya saya ingin lebih menguraikan lebih burai lagi. Tetapi, saya rasa, cukup garis besarnya saja, dan sedikit mengaitkannya dengan berita seputar korupsi tugu antikorupsi itu hingga saya hanya mampu menggeleng-geleng.

Sekarang saya memilih bekerja sendiri dengan penghasilan yang secukupnya sesuai dengan kesepakatan dengan pemberi pekerjaan (pemilik/owner atau pengguna jasa/user) karena saya tidak mau menanggung beban batin sepanjang sisa hidup saya. Biarlah "miskin" asalkan penghasilan saya murni berasal dari kerja keras saya.

*******

 Kupang, 4 November 2018

(Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saya dalam bekerja)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun