Saya menggeleng-geleng ketika beberapa hari lalu membaca berita tentang korupsi yang terjadi pada tugu antikorupsi di Pekanbaru, Riau. Bukan karena kaget, heran, tidak menduga, atau sangsi. Hanya saja, tidak habis memahami mengenai hakikat hidup di Negara Pancasila ini.
Saya tidaklah "buta" pada proyek-proyek "pelat merah". Saya pernah bekerja sebagai karyawan biasa di konsultan bangunan, kontraktor, developer, bahkan menolak tawaran menjadi pegawai melalui "pintu samping" yang saya tuliskan dalam artikel "Menjadi PNS" (30 Oktober 2018).
Ketika bekerja "ikut orang", posisi saya berganti-ganti. Sebagai arsitek, tentu saja saya berposisi sebagai perencana dan perancang yang hanya berada di kursi dan menghadap meja gambar (sebelum menggunakan komputer). Tukang gambar bangunan (drafter), begitulah awalnya.
Selain bertugas utama sebagai "tukang gambar", saya pun pernah terlibat dalam kegiatan pengukuran lahan sebuah proyek, salah satunya milik "pelat merah". Keterlibatan saya karena terkait dengan ukuran unit bangunan dan luasan lahan.
Ada apa dalam urusan semacam ini? Ada deh. Â Â
Bekerja "ikut orang" merupakan tahap terpenting dalam proses pemahaman atas kenyataan hidup (realitas). Kenyataan itu juga termasuk perihal anggaran sebuah proyek, baik perencanaan-perancangan maupun pelaksanaan pembangunan.
Angka-angka yang aduhai sangat bisa bahkan biasa tersulap. Ada katrol angka, bagi persen, suap-kolusi, istilah "fee"-"uang komitmen", bahkan saham perusahaan berisi beberapa oknum birokrasi atau nama anak-keluarga, dan sekitarnya. Salah satunya saya tulis dalam artikel "Sulapan Angka dalam Sebuah Proyek Pembangunan" (3 Juli 2016).
Di lain waktu saya diutus oleh atasan saya untuk mengikuti sebuah lelang proyek perencanaan. Perutusan itu pun berlaku pada rekan-rekan saya, bahkan kami ber-6 ikut dalam acara itu. Hanya saja berbeda waktu ketika memasukkan berkas (dokumen penawaran).
Saya dan seorang rekan membawa berkas-berkas berstempel "perusahaan bukan milik atasan saya". Dua rekan saya membawa berkas yang juga dari "perusahaan lain". Sementara dua rekan lainnya membawa berkas dari perusahaan milik atasan saya.
Ada apa pula dengan urusan semacam itu? Ya, ada deh.
Yang lucu adalah pada sesi penjelasan mengenai tender (aanwijzing) di waktu selanjutnya. Bukannya lucu karena masih saja menggunakan istilah dalam bahasa Belanda, melainkan saya harus "bersandiwara".