Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Siapa Mengusung Siapa untuk Menang Pileg 2019

2 November 2018   01:40 Diperbarui: 2 November 2018   06:37 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa sengaja saya bertemu dengan seseorang--sebut saja Demun--di  suatu tempat. Dari pertemuan itu saya mengetahui bahwa Demun seorang calon legislatif (caleg) sebuah partai untuk Pileg 2019 tingkat provinsi.

"Saya tertarik nggabung pada partai ini," kata Demun, "karena berisi orang muda yang sedang bersemangat untuk..."

"Untuk menyawitkan Indonesia?" Begitu saya meneruskannya.

"Sawit? Saya malah baru tahu soal itu."

Saya tidak mengetahui, "baru tahu soal itu" sebagai sebuah kejujuran ataukah sebenarnya sebuah upaya menutupi sesuatu. Saya menyarankan Demun mencari berita itu karena terkait langsung dengan partainya.

"Oh iya, ini stiker saya. Mau bantu nyebarin?"

Saya ditawarkan sejumlah stiker dan kartu bergambar dirinya dengan latar tokoh nasional. Saya menolaknya karena saya tidak tertarik pada perihal kampanye dan lain-lain itu.

"Mengapa harus memasang tokoh itu di balakang foto Anda?"

"Begini. Saya bukan siapa-siapa. Orang sini lebih mengenal tokoh di belakang saya. Ya, mau-tidak mau, saya pun memasangnya."

Tanpa sengaja pula saya bertemu dengan seseorang lainnya. Sebut saja "Sarwan".  Sarwan seorang caleg gagal pada 2014 dengan sebuah partai. Kegagalan itu, menurut kisahnya, disebabkan oleh sebuah permainan jumlah suara yang dilakukan oleh segelintir elite di partainya.

Hajatan Pileg 2019 Sarwan ikut lagi untuk tingkat provinsi tetapi dengan partai yang berbeda. Saya tahu partai itu, nomor urut, dan koalisinya.

"Partai Pak ... " Sarwan menyebut nama tokohnya.

Bukan bapak itu tetapi bapak satunya. Ternyata Sarwan keliru. Saya malah heran, bagaimana bisa Sarwan tidak mengetahui siapa pentolan partai barunya itu.

Pada pertemuan ini pun saya ditawari stiker dan kartu pencalegannya sekaligus fotonya. Lagi-lagi saya melihat sosok di belakang Sarwan. Ya, sama seperti Demun; menggunakan sosok tersohor.

Berkampanye Untuk Diri Sendiri

Saya tidak heran pada Demun dan Sarwan yang memasang foto tokoh tertentu di stiker kampanye mereka. Hal ini tidak berbeda dengan apa yang terjadi dan diberitakan oleh media massa.

Sebuah berita edisi 18/10 mengabarkan bahwa beberapa calon legislatif (caleg) dari partai perdukung Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno di wilayah berbasis massa Jokowi -- Ma'ruf Amin mengalami kesulitan bergerak. Mereka memilih berkampanye untuk diri sendiri tanpa peduli arahan partai pengusungnya.

"Di antara caleg kita yang berjuang di daerah, 'mohon maaf ketum, mohon maaf sekjen. Tetapi di bawah, saya mungkin tidak bisa terang-terangan untuk berpartisipasi dalam pemenangan Pak Prabowo. Karena konstituen saya tidak sejalan dengan itu. Jadi mohon maaf'," kata Sekjen PAN Eddy Soeparno menirukan pernyataan caleg yang dimaksud.

Pengakuan tadi disampaikannya ketika menjadi narasumber dalam rilis survei PolMark Indonesia, di Jakarta, Kamis (18/10/2018) silam. Dan, tidak hanya caleg dari PAN yang melakukan kampanye "untuk diri sendiri". Ada juga dari partai lainnya. Intinya, ya, berkampanye "untuk diri sendiri" di daerah yang bukan basis koalisi pada sosok tertentu.

Sosok dan Strategi Pemasaran Diri

Hajatan Pemilu 2019 nanti terjadi secara bersamaan antara Pileg dan Pilpres. Ketika sebagian parpol mengalami penurunan elektabilitas, bahkan, sangat signifikan, mau-tidak mau para caleg terkait menggunakan strategi tersendiri.

Strategi yang dipergunakan caleg tidak saja karena performa partai pengusungnya dan daerah pemilihan (dapil), melainkan juga sosok kontestan pada kontestasi Pilpres 2019. Teori Bauran Pemasaran (Marketing Mix) Phillip Kotler pun bisa dipakai dengan 4P (Product, Place, Price, and Promotion).

Diri sendiri merupakan produk (product). Dapilnya merupakan tempat (place). Harga (price) juga terkait dengan biaya kampanye, sebelum hitung-menghitung harga "kursi" yang menjanjikan nilai ekonomi tertentu. Dan, promosi (promotion) dilakukan dengan cara apa saja.

Ada satu "P" lagi yang bisa dimasukkan dalam teori pemasaran itu, yakni sosok atau ketokohan (Person atau keyperson/orang kunci). Selain memanfaatkan ketokohan Jokowi atau Prabowo, seorang caleg dari partai lainnya menggunakan foto "Soeharto sedang tersenyum dan melambai" di belakang foto dirinya.

Ya, pada masa kampanye untuk Pemilu 2019 ini saya melihat tiga sosok (Jokowi, Prabowo, dan Soeharto) yang menjadi bagian dari strategi pemasaran diri sebagian caleg. Jokowi sudah menjadi latar dari caleg-caleg koalisi petahana. Demikian juga dengan Prabowo dalam partai koalisi "penantang". Sementara Soeharto merupakan upaya untuk mengingat para penikmat rezim ORBA dengan slogan "Ijeh Penak Jamanku, To?" (Masih enak zamanku, 'kan?).

Penggunaan tokoh tertentu ini serius jika terkait dengan dapil si caleg. Tidak peduli dengan situasi semacam apakah, dengan politik "dua kaki"-kah, yang penting, perjalanan politik tetap aman-terkendali dalam perolehan suara.

Seorang caleg harus berpikir pragmatis sekaligus fokus pada pemenangannya sendiri. Persoalannya nanti, bagaimana dengan loyalitas sebagai caleg suatu partai, ya, urusannya tetap nanti. Diplomasi tetap menjadi bagian dalam komunikasi antara caleg dan pimpinan partai pengusungnya. Semua bisa didiskusikan asalkan menang.

Toh, politik praktis selalu mengutamakan aspek "praktis", 'kan?  Toh, dalam politik, tujuan utama tetaplah kekuasaan (kursi), 'kan?

Pencarian ataukah Justru Krisis Jati Diri

Saya memahami maksud-tujuan para caleg yang menggunakan sosok-sosok tertentu dalam bagian alat kampanye mereka, termasuk Demun dan Sarwan. Terlebih, sebagian kecenderungan politik kontemporer masih menganut mazhab Machiavelli.

Inti pemikiran politik Machiavelli (Niccolo Machiavelli, 1469-1527) berada pada "meraih" dan "mempertahankan" kekuasaan--yang dikenal oleh sebagian pemerhati politik--dengan menghalalkan segala cara. Apa pun caranya, kekuasaanlah yang harus diraih!

Penyematan tokoh tertentu di belakang caleg, menurut saya, merupakan bukti kekuranganpercayaan diri seorang caleg itu sendiri dengan reputasi-reputasinya sendiri. Penyematan sosok tertentu, diharapkannya, mampu "mendongkrak" pamoritasnya dalam kancah perebutan dukungan dan suara.

Kasihan sekali. Selama puluhan tahun si caleg semacam Demun dan Sarwan kurang menyiapkan diri dengan membangun reputasi sendiri melalui kerja nyata beserta prestasi-prestasi yang jelas-gamblang di depan publik, apalagi publik dapilnya sendiri. Entah ke mana selama sekian puluh tahun hidup, kok tiba-tiba muncul dan ingin mendapat simpati sekaligus suara publik.

Kasihan duakali, menurut saya. Caleg-caleg semacam Demun dan Sarwan sedang mengalami krisis jati diri yang miris nan ironis karena dengan menyematkan tokoh tersohor maka secara gamblang memperlihatkan bahwa caleg-caleg itu sesungguhnya tidak memiliki kapasitas apa pun yang memadai apalagi mumpuni di depan publik dapilnya sendiri.

Kasihan tigakali, menurut saya lagi. Usia tidak lagi remaja, caleg semacam Demun dan Sarwan seakan mengalami masa pubertas ataupun pra-pubertas, yaitu upaya pencarian jati diri sambil menyematkan sosok-sosok populis bahkan terkesan heroik. Ya, seperti remaja yang suka menempelkan tokoh pujaan hati, misalnya artis idola, olahragawan, atau pahlawan fantasi (superhero), di dinding kamar atau di bagian kendaraan.

Contoh Lain yang Menginspirasi

Pada Pileg 2014 di suatu daerah saya melihat sosok caleg muda dalam sebuah media cetak sebagai alat kampanyenya. Sebut saja Degul. Waktu itu, di sebuah warung, tanpa sengaja saya menemukan sebuah tabloid berisi sepak-terjang Degul dalam berorganisasi dan kegiatan nyata.

Ya, sebuah tabloid yang hanya satu lembar-lebar, dan terbit satu kali saja. Entah didanai Degul sendiri, entah dengan bantuan partai, atau entau disokong kolega lainnya. Wajah Degul tampil di halaman muka seakan seorang pesohor (artis; selebritis). Lalu isi dan seterusnya yang memang mirip sebuah tabloid kekinian.

Tidak semua isinya berupa kegiatan yang "wah" alias spektakuler dengan aneka seremonialnya. Kalau foto-foto rapat, diskusi, atau peresmian taman pojok kota, barangkali, biasa di lembaran lainnya. Lha ini, ada foto ketika Degul sedang bekerja bakti, misalnya membersihkan parit di lingkungan RT, menanam pohon, dan lain-lain, yang memang terkesan sederhana saja.

Tabloid selembar dan satu kali terbit itu merupakan cara promosi yang cukup efektif. Dengan oplah seribu saja dan digeletakkan di beberapa ruang publik, semisal emperan warung, saya yakin, dampaknya luar biasa. Para membacanya bisa lebih mudah mengenali si caleg dengan sebagian kiprah pentingnya.

Dan, suatu waktu saya mendengar kabar, Degul berhasil menjadi anggota legislatif. Seketika saya mengapresiasi Degul, "Caleg muda yang progresif!" Sesuatu yang patut saya berikan, bukan?

Lantas, bagaimana dengan Demun dan Sarwan serta caleg-caleg semacam keduanya itu?

Lho, mana saya tahu, 'kan? Yang jelas, hanya muncul dalam format stiker, dan kartu promosi bergambar wajah mereka dan sosok tersohor di belakang mereka. Sama sekali tidak ada upaya "lebih meyakinkan" semacam yang dilakukan Degul.

Sayang sekali, ya, kalau hanya stiker dan kartu dengan "mendompleng" sosok tersohor tetapi berharap bisa meraih perhatian, dukungan, dan suara publik di dapil masing-masing? Apa boleh buat deh.

*******

 Kupang, 20-30 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun