Diri sendiri merupakan produk (product). Dapilnya merupakan tempat (place). Harga (price) juga terkait dengan biaya kampanye, sebelum hitung-menghitung harga "kursi" yang menjanjikan nilai ekonomi tertentu. Dan, promosi (promotion) dilakukan dengan cara apa saja.
Ada satu "P" lagi yang bisa dimasukkan dalam teori pemasaran itu, yakni sosok atau ketokohan (Person atau keyperson/orang kunci). Selain memanfaatkan ketokohan Jokowi atau Prabowo, seorang caleg dari partai lainnya menggunakan foto "Soeharto sedang tersenyum dan melambai" di belakang foto dirinya.
Ya, pada masa kampanye untuk Pemilu 2019 ini saya melihat tiga sosok (Jokowi, Prabowo, dan Soeharto) yang menjadi bagian dari strategi pemasaran diri sebagian caleg. Jokowi sudah menjadi latar dari caleg-caleg koalisi petahana. Demikian juga dengan Prabowo dalam partai koalisi "penantang". Sementara Soeharto merupakan upaya untuk mengingat para penikmat rezim ORBA dengan slogan "Ijeh Penak Jamanku, To?" (Masih enak zamanku, 'kan?).
Penggunaan tokoh tertentu ini serius jika terkait dengan dapil si caleg. Tidak peduli dengan situasi semacam apakah, dengan politik "dua kaki"-kah, yang penting, perjalanan politik tetap aman-terkendali dalam perolehan suara.
Seorang caleg harus berpikir pragmatis sekaligus fokus pada pemenangannya sendiri. Persoalannya nanti, bagaimana dengan loyalitas sebagai caleg suatu partai, ya, urusannya tetap nanti. Diplomasi tetap menjadi bagian dalam komunikasi antara caleg dan pimpinan partai pengusungnya. Semua bisa didiskusikan asalkan menang.
Toh, politik praktis selalu mengutamakan aspek "praktis", 'kan? Â Toh, dalam politik, tujuan utama tetaplah kekuasaan (kursi), 'kan?
Pencarian ataukah Justru Krisis Jati Diri
Saya memahami maksud-tujuan para caleg yang menggunakan sosok-sosok tertentu dalam bagian alat kampanye mereka, termasuk Demun dan Sarwan. Terlebih, sebagian kecenderungan politik kontemporer masih menganut mazhab Machiavelli.
Inti pemikiran politik Machiavelli (Niccolo Machiavelli, 1469-1527) berada pada "meraih" dan "mempertahankan" kekuasaan--yang dikenal oleh sebagian pemerhati politik--dengan menghalalkan segala cara. Apa pun caranya, kekuasaanlah yang harus diraih!
Penyematan tokoh tertentu di belakang caleg, menurut saya, merupakan bukti kekuranganpercayaan diri seorang caleg itu sendiri dengan reputasi-reputasinya sendiri. Penyematan sosok tertentu, diharapkannya, mampu "mendongkrak" pamoritasnya dalam kancah perebutan dukungan dan suara.
Kasihan sekali. Selama puluhan tahun si caleg semacam Demun dan Sarwan kurang menyiapkan diri dengan membangun reputasi sendiri melalui kerja nyata beserta prestasi-prestasi yang jelas-gamblang di depan publik, apalagi publik dapilnya sendiri. Entah ke mana selama sekian puluh tahun hidup, kok tiba-tiba muncul dan ingin mendapat simpati sekaligus suara publik.