Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyerahkan Diri Seutuhnya pada Sebuah Penerbangan

30 Oktober 2018   09:01 Diperbarui: 30 Oktober 2018   09:45 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenai kisah saya dan Yongki pun sudah saya abadikan dalam cerpen "Penerbangan Dini" yang disiarkan oleh Harian Bangka Pos edisi Minggu, 25 Agustus 2002, dan termuat dalam buku kumcer saya, Di Bawah Bayang-bayang Bulan (Abadi Karya, 2011). Cerpen itu saya buat di Yogyakarta untuk mengenang kepergian Yongki karena sakit di Sungailiat.

Di samping itu, dunia penerbangan juga bukanlah hal yang asing dalam keluarga kami. Kakak sulung saya pernah menjadi interpreter di Garuda untuk penerbangan ke luar negeri. Dengan kefasihannya berbahasa Jerman dan Inggris, penerbangan ke Eropa sudah sering dilakukannya untuk sekadar berlibur.   

***

Perjalanan saya dari pulau ke pulau memang sering menggunakan pesawat terbang. Ke Kupang pun begitu, meski berdomisili tetap di Balikpapan, Kaltim. Sama dengan ketika saya menemani bapaknya Elcid ke Pulau Sumba pada 2014.

Tetapi, terkait dengan berita jatuhnya pesawat Lion Air, Elcid tidak tahu bahwa saya langsung dihubungi oleh istri saya di Balikpapan. "Ada keluarga di Bangka yang jadi korban Lion, nggak?" Begitu pertanyaan mendadak dari istri saya.

Memang tidak seorang pun dari anggota keluarga besar saya di Bangka yang mengalami peristiwa naas itu. Tetapi tidaklah demikian yang terjadi pada satu keluarga kawan SMP kakak sulung saya yang hendak pulang untuk acara pemakaman seorang mertua mereka pada hari yang sama. Bisa dibayangkan betapa duka bertubi-tubi, 'kan?   

Selain itu, pada waktu tinggal di Jakarta (awal 2006 sampai awal 2009), saya sering mudik dengan transportasi udara. Saya pernah mudik dengan mantan bos saya yang sekaligus pengusaha timah di Bangka. Beliau selalu ketakutan jika "terpaksa" naik pesawat terbang karena, kata beliau, "Naik pesawat itu siap mati."

Ya, benar sekali. Naik pesawat terbang memang harus siap mati. Baru pada tahap hendak membeli tiket, seketika itu berarti "siap mati" bagi calon penumpang.

Terlalu ekstrem, ya?

Sebenarnya tidak. Setiap berada dalam perut pesawat terbang, saya menyadari hal paling mendasar tentang hidup dan waktu paling singkat di antara sekian jumlah kesempatan. Anggap saja sebagai inti sebuah takdir.

Saya tidak mengetahui apa pun mengenai kondisi pesawat terbang, penerbang (pilot), situasi sesama penumpang dengan motif atau benda bawaan masing-masing, dan apa pun di luar pesawat terbang, bahkan sebelum pesawat tinggal landas. Di bangku penumpang dengan ikatan sabuk pengaman, pilihan sudah jelas, yaitu hidup atau mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun