Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politik yang Cengeng

18 Oktober 2018   05:33 Diperbarui: 18 Oktober 2018   14:17 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepakat atau tidak, salah satu komoditas politik pasca-Reformasi atau lebih satu dekade ini adalah "belas kasihan" alias kecengengan. 

Pengusiran, pelarangan, penganiayaan, pengucilan, penghinaan, pengancaman, penembakan, dan lain sebagainya dimanfaatkan sedemikian rupa oleh segelintir elite politik melalui para pewarta untuk meraup empati-simpati rakyat yang, diharapkan, berwujud dukungan ataupun penggalangan massa.

Yang paling ramai adalah apa yang dialami lalu diakui oleh Ratna Sarumpaet pada 21 september 2018 hingga jajaran elite pro-nomor 2 segera bereaksi. Sebelum-sebelumnya, ya, bisa ditelusuri dalam jejak digital.

Dan semakin seringlah istilah "pemeran korban" (playing victim) muncul di media massa. Istilah yang, mungkin, berasal dari film Rusia, Playing The Victim (2006), ini memang mendapat tempat bahkan habitat yang tepat di Indonesia.

Kegandrungan pada Kecengengan

Dalam realitas sehari-hari suguhan "belas kasihan" melalui dunia hiburan. Di televisi, misalnya. Acara-acara di televisi selalu meraup penilaian (rating) tinggi. 

Ada 10 besar dalam senarai penilaian (rating) acara televisi lokal edisi Januari 2018, yaitu Siapa Takut Jatuh Cinta, Anak Langit, Jodoh Wasiat Bapak, Dunia Terbalik, Pantura Hae Hae, Upin & Ipin, Ummi, Bikin Mewek, Adit Sopo Jarwo, dan Pleboy Jaman Now, yang di antaranya berisi adegan-adegan yang meminta "keharuan", "air mata", "belas kasihan", dan sejenisnya.    

Bahkan, hiburan impor yang berbumbu kecengengan pun laris manis di Indonesia. Contohnya sebagian drama Korea (drakor), di antaranya Page Turner, Please Come Back Mister, The Full Sun, You Who Came From The Stars, Gu Family Book, dan Marriage Contract.

Sementara di dunia musik dan lagu, nuansa kecengengan merana-pilu sempat digandrungi oleh banyak kalangan pada 1980-an. Hati yang Luka, Gelas-gelas Kaca, Penyesalan, Tiada Duka Lagi, dan lain-lain menguasai udara Indonesia.

Sampai akhirnya pada 24 Agustus 1988 atau tepat Hari Ulang Tahun ke-26 TVRI Menteri Penerangan (waktu itu) Harmoko melayangkan teguran pada produksi dan penayangan lagu-lagu cengeng. "Dalam keadaan patah semangat dan cengeng, sulit mengajak orang untuk bekerja keras," kata Harmoko.

Perintis Kecengengan Berpolitik

Kegandrungan banyak orang (rakyat) pada kecengengan, ternyata, mendapat "bidikan" serius di sebagian elite politik pasca-Reformasi. 

Mereka melihat kecengengan justru merupakan peluang potensial untuk meraup empati-simpati rakyat yang, diharapkan, berwujud dukungan, penggalangan massa, bahkan kemenangan dalam kompetisi politik nasional.

Adalah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), perintis usaha nelangsa sebagai strategi politik itu, yang dimulai dengan pendirian Partai Demokrat pada 9/9/2001 dan disahkan pada 27 Agustus 2003. SBY pun sukses memerankan diri sebagai "korban" hingga bertahta selama 2 periode (2004-2009, dan 2009-2014). Dalam jejak digital pun masih bisa ditelusuri.

Situs resmi Partai Demokrat (PD), www.demokrat.co.id, tertera, "Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001."

Satu peristiwa yang mengorbitkan nama SBY adalah ketika SBY--selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) -- dijuluki "Jenderal Kekanak-kanakan" oleh suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas, pada 1 Maret 2004.

Menurut catatan Vivanews (9/6/2013), Taufiq Kiemas menyebut SBY sebagai "jenderal kekanak-kanakan" karena mengadukan masalah internal pemerintahan ke wartawan. 

"Kalau anak kecil lagi genit-genitan, ya merasa diisolasi seperti itu. Kalau memang bukan anak kecil dan merasa dikucilkan, lebih baik mundur," kata Taufiq, pedas.

Peristiwa itu, tentu saja, didului oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya. Menurut Vivanews berdasarkan buku Biografi Politik Susilo Bambang Yudhoyono karya Garda Maeswara (2010), "Antara Januari hingga Februari 2004, SBY beberapa kali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan kebijakan di bidang politik dan keamanan. Misalnya, soal kunjungan beberapa pejabat ke Aceh. Padahal, SBY saat itu menjabat sebagai Menko Polkam."

Mengapa "SBY beberapa kali tidak dilibatkan"? Garda Maeswara mencatat, "Partai Demokrat yang berdiri 2001 makin membuat nama SBY melesat. Di beberapa survei tahun 2003, nama SBY muncul sebagai calon presiden dalam berbagai macam jajak pendapat. Setidaknya, SBY menempati urutan lima besar. 

Megawati yang saat itu presiden punya keinginan duduk lagi di kursi nomor satu Indonesia. Namun, dia menyadari bahwa kepopuleran SBY yang melesat begitu cepat, dapat menyingkirkan dirinya."

Mengapa bisa begitu? Coba kembali melihat sekilas tentang awal berdirinya PD tadi. "Kekalahan yang terhormat".

Dari bukunya, Selalu Ada Pilihan (2014), SBY menulis, "Saya sakit dan sedih. Omong kosong kalau ada yang mengatakan kalah dalam pemilihan presiden atau wakil presiden itu biasa. Tidak. Ada sedihnya."

SBY juga menulis, "Saya berani maju karena polling yang dilakukan berbagai lembaga survey menunjukkan dukungan rakyat untuk saya tinggi. Hasil polling itu bahkan jauh lebih tinggi ketimbang tokoh lainnya." Namun, toh, hasil survei itu tak sesuai dengan kenyataan.

Menurut SBY, dari lima calon wakil presiden, perolehan suaranya masih di bawah Hamzah Haz dan Akbar Tanjung. Akhirnya, Hamzah Haz yang saat itu merupakan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan menjadi wakil Mega.

Ya, SBY sakit hati dan sedih karena tidak dipilih oleh Megawati menjadi wakil presiden R.I., sewaktu Megawati menggantikan Gus Dur yang 'dipecat' oleh MPR yang dikomandani Amien Rais. 

Megawati malah memilih Hamzah Haz sebagai wakilnya di kepresidenan pada tahun 2001. SBY hanya menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

Dari semua itu jelaslah bahwa PD dibangun bukanlah atas dasar kesadaran murni seorang SBY beserta para pendirinya, termasuk Soetan Bathugana, untuk Indonesia, melainkan karena sakit hati dan sedihnya seorang SBY. 

Sakit hati, sedih, dan sebutan 'jenderal kekanak-kanakan' kemudian dijadikan bahan manuver politik untuk mengesankan bahwa SBY 'didzolimi' oleh Presiden Megawati ketika itu.

Paradoksalitas Sebuah Kekuasaan

Politik yang cengeng untuk meraih kekuasaan dengan memerankan diri sebagai korban, sepakat atau tidak, merupakan paradoks dunia kekuasaan. Kekuasaan (power) menunjukkan sisi kekuatan, keperkasaan, kehebatan, dan sekitarnya bagi kalangan rakyat.

Hanya saja, kelihatannya, strategi politik SBY sudah tidak bisa dipakai lagi untuk kontestan pemilihan calon penguasa karena kesan "kekuasaan" yang terkait dengan "kekuatan". Yang bisa dipakai ialah orang-orang sekitarnya.

Nama "rakyat" sering kali dipakai sebagai "korban rezim", khususnya oleh "penantang" terhadap "petahana". Kondisi sosial (rakyat) pun diolah-kelola dengan bumbu-bumbu "mengelus dada", sedikit kuah air mata, dan segala kisah sedih sekitarnya tanpa didukung oleh validitas-akurasi data yang memadai. 

Tetapi, kelihatannya, terlalu biasa. Sebagian malah menuai cibiran dan candaan karena mirip acara televisi yang mendapat penilaian (rating) tinggi.

Yang kemudian bisa memungkinkan ialah segelintir pendukung. Misalnya pelarangan atau pengusiran dari suatu daerah dalam rangka penggalangan massa. 

Dalam kasus "penganiayaan" terhadap RS yang ternyata "operasi plastik", lucunya, sebagian elite politik masih menggunakan sisi paradoks itu, baik dengan lantang "tindakan represif-pengecut" (Selasa, 2/10) maupun "korban kebohongan" (Rabu, 3/10). Artinya, ya, memerankan korban (playing victim) lagi.

Sebenarnya masih ada beberapa contoh lain yang bisa berkatagori "memerankan korban" dan "berempati terhadap korban". Intinya, strategi politik yang cengeng masih dianggap penting dalam upaya perebutan kekuasaan selama sebagian rakyat Indonesia suka berendam dalam kubangan air mata di depan media hiburan.

Memang paradoks. Suka menonton acara hiburan, kok malah menangis, ya? Mau menjadi penguasa, kok malah memerankan diri sebagai korban, ya? Aduhai sekali komoditas korban dalam politik yang cengeng ini!

*******

Kupang, 18 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun