Tetapi, kelihatannya, terlalu biasa. Sebagian malah menuai cibiran dan candaan karena mirip acara televisi yang mendapat penilaian (rating) tinggi.
Yang kemudian bisa memungkinkan ialah segelintir pendukung. Misalnya pelarangan atau pengusiran dari suatu daerah dalam rangka penggalangan massa.Â
Dalam kasus "penganiayaan" terhadap RS yang ternyata "operasi plastik", lucunya, sebagian elite politik masih menggunakan sisi paradoks itu, baik dengan lantang "tindakan represif-pengecut" (Selasa, 2/10) maupun "korban kebohongan" (Rabu, 3/10). Artinya, ya, memerankan korban (playing victim) lagi.
Sebenarnya masih ada beberapa contoh lain yang bisa berkatagori "memerankan korban" dan "berempati terhadap korban". Intinya, strategi politik yang cengeng masih dianggap penting dalam upaya perebutan kekuasaan selama sebagian rakyat Indonesia suka berendam dalam kubangan air mata di depan media hiburan.
Memang paradoks. Suka menonton acara hiburan, kok malah menangis, ya? Mau menjadi penguasa, kok malah memerankan diri sebagai korban, ya? Aduhai sekali komoditas korban dalam politik yang cengeng ini!
*******
Kupang, 18 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H