Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politik yang Cengeng

18 Oktober 2018   05:33 Diperbarui: 18 Oktober 2018   14:17 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari bukunya, Selalu Ada Pilihan (2014), SBY menulis, "Saya sakit dan sedih. Omong kosong kalau ada yang mengatakan kalah dalam pemilihan presiden atau wakil presiden itu biasa. Tidak. Ada sedihnya."

SBY juga menulis, "Saya berani maju karena polling yang dilakukan berbagai lembaga survey menunjukkan dukungan rakyat untuk saya tinggi. Hasil polling itu bahkan jauh lebih tinggi ketimbang tokoh lainnya." Namun, toh, hasil survei itu tak sesuai dengan kenyataan.

Menurut SBY, dari lima calon wakil presiden, perolehan suaranya masih di bawah Hamzah Haz dan Akbar Tanjung. Akhirnya, Hamzah Haz yang saat itu merupakan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan menjadi wakil Mega.

Ya, SBY sakit hati dan sedih karena tidak dipilih oleh Megawati menjadi wakil presiden R.I., sewaktu Megawati menggantikan Gus Dur yang 'dipecat' oleh MPR yang dikomandani Amien Rais. 

Megawati malah memilih Hamzah Haz sebagai wakilnya di kepresidenan pada tahun 2001. SBY hanya menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

Dari semua itu jelaslah bahwa PD dibangun bukanlah atas dasar kesadaran murni seorang SBY beserta para pendirinya, termasuk Soetan Bathugana, untuk Indonesia, melainkan karena sakit hati dan sedihnya seorang SBY. 

Sakit hati, sedih, dan sebutan 'jenderal kekanak-kanakan' kemudian dijadikan bahan manuver politik untuk mengesankan bahwa SBY 'didzolimi' oleh Presiden Megawati ketika itu.

Paradoksalitas Sebuah Kekuasaan

Politik yang cengeng untuk meraih kekuasaan dengan memerankan diri sebagai korban, sepakat atau tidak, merupakan paradoks dunia kekuasaan. Kekuasaan (power) menunjukkan sisi kekuatan, keperkasaan, kehebatan, dan sekitarnya bagi kalangan rakyat.

Hanya saja, kelihatannya, strategi politik SBY sudah tidak bisa dipakai lagi untuk kontestan pemilihan calon penguasa karena kesan "kekuasaan" yang terkait dengan "kekuatan". Yang bisa dipakai ialah orang-orang sekitarnya.

Nama "rakyat" sering kali dipakai sebagai "korban rezim", khususnya oleh "penantang" terhadap "petahana". Kondisi sosial (rakyat) pun diolah-kelola dengan bumbu-bumbu "mengelus dada", sedikit kuah air mata, dan segala kisah sedih sekitarnya tanpa didukung oleh validitas-akurasi data yang memadai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun