Hari Minggu hendak beranjak meninggalkan pagi. Warung bubur kacang hijau itu mulai lengang ketika beberapa pembeli yang berpakaian sport usai menikmati sajian pemulih tenaga. Jujuk sedang sibuk mengangkuti beberapa mangkuk dan gelas kotor.
“Juk, entar siang mancing, ya?” ajak Demun yang tiba-tiba datang.
“Ya, nanti, kita lihat aja.”
“Aku lagi pusing. Kemarin aku nyari duit ke kampung untuk biaya operasi anakku, si Syila, nggak cukup.”
“Butuh ongkosnaseberaha?”
“Tilu lima juta, Juk.”
35 juta? Kepala Jujuk sedikit tersentak. Ia membayangkan pekerjaan Demun yang hanya petugas cleaning service sebuah kampus dan istrinya yang berjualan tahu-tempe goreng kecil-kecilan. Mana nyukup atuh, pikirnya.
***
“Juk, minta es tehnya, Juk.”
“Wah, dari mana, Ji, pakai hitam-hitam, pagi-pagi pesan es teh?”
“Pulang melayat, Juk. Bapaknya kawanku semalam meninggal akibat sakit kencing manis. Jam 2 siang kelak baru akan dimakamkan. Sebentar lagi aku mau balik ke sana.”
Jujuk segera menyiapkan minuman pesanan Oji sambil bilang, “Mau ikut mancing, nggak?Barusan Demun ke sini. Dia ngajak mancing. Baru pusing, katanya.”
“Pusing mikirin anaknya?”
“Ya iyalah. Bayangin aja, duit 35 juta bakal dia dapat dari mana dalam waktu cepat buat biaya operasi anaknya itu? Pulang-pulang dari rumah orangtuanya subuh tadi, dia langsung ke sini. Nih, minum dulu. Keburu esnya cair.”
“Iya, ya. Kasihan banget. Anak satu-satunya, pintar, lucu, lincah. Nggak tahunya, malah lemah jantung.”
Jujuk terbayang anak itu lagi. Hobbynya membaca komik. Setiap sore selalu menemani orang tuanya berjualan camilan goreng di warung kecil dekat gardu ronda. Warung mungil itu warisan mertua Demun, sebab istri Demun adalah anak kesayangan mertuanya. Anak kecil itu sering juga menyusul ayahnya, si Demun itu, jika nongkrong di warung buburnya sewaktu warung camilan mereka buka. Entah baru saja duduk atau sudah sekian menit, anak ini akan menyeret ayahnya pulang. Mungkin anak ini tahu, ibunya harus dibantu, ayahnya tidak boleh mencari enaknya sendiri. Kalau Syila sudah merengek minta Demun pulang, apa daya bagi Demun. Dengan muka lucunya, si anak ini tersenyum penuh kemenangan.
Ah, anak yang lucu, gumam Jujuk.
“Lho, tadi kulihat ada bendera putih di pinggir gang masuk rumah Demun,” lanjut Oji tiba-tiba seakan teringat sesuatu.
“Hah? Yang bener?”
“Bener! Kalo nggak percaya, ayo kita lihat di luar.”
Jujuk dan Oji segera keluar dari warung itu. Keduanya langsung melihat sebuah bendera putih mungil yang ditempelkan di tengah tiang listrik yang terletak di tepi mulut gang rumah Demun.
“Waduh, jangan-jangan…” Mimik Jujuk berangsur bengong.
“Kasihan Demun. Kasihan anaknya yang lucu itu, ya?”
“Kalo kamu mau ke rumah Demun, sendirian aja dulu, Ji. Nanti aku nyusul. Pahamlah , aku cuma penjaga bayaran, bukan pemilik warung ini.”
“Oke!”
Belum sempat Oji menghabiskan sisa es tehnya, Demun sudah nongol lagi. Air muka Demun tampak keruh. Nafasnya terengah-engah.
“Ada apa, Mun?” tanya Jujuk agak hati-hati, juga mewakili pertanyaan yang ingin diajukan Oji. Jangan-jangan Syila… Jujuk agak ngeri membayangkannya.
“Barusan mertuaku, kakeknya Syila, meninggal. Sakit gula parahnya kambuh.”
Jujuk dan Oji diam. Tidak menanyakan soal jadi-tidaknya mereka mancing, atau menanyakan bagaimana kabar Syila. Serta-merta sunyi menyambangi warung bubur kacang hijau itu.
*******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H