Jujuk segera menyiapkan minuman pesanan Oji sambil bilang, “Mau ikut mancing, nggak?Barusan Demun ke sini. Dia ngajak mancing. Baru pusing, katanya.”
“Pusing mikirin anaknya?”
“Ya iyalah. Bayangin aja, duit 35 juta bakal dia dapat dari mana dalam waktu cepat buat biaya operasi anaknya itu? Pulang-pulang dari rumah orangtuanya subuh tadi, dia langsung ke sini. Nih, minum dulu. Keburu esnya cair.”
“Iya, ya. Kasihan banget. Anak satu-satunya, pintar, lucu, lincah. Nggak tahunya, malah lemah jantung.”
Jujuk terbayang anak itu lagi. Hobbynya membaca komik. Setiap sore selalu menemani orang tuanya berjualan camilan goreng di warung kecil dekat gardu ronda. Warung mungil itu warisan mertua Demun, sebab istri Demun adalah anak kesayangan mertuanya. Anak kecil itu sering juga menyusul ayahnya, si Demun itu, jika nongkrong di warung buburnya sewaktu warung camilan mereka buka. Entah baru saja duduk atau sudah sekian menit, anak ini akan menyeret ayahnya pulang. Mungkin anak ini tahu, ibunya harus dibantu, ayahnya tidak boleh mencari enaknya sendiri. Kalau Syila sudah merengek minta Demun pulang, apa daya bagi Demun. Dengan muka lucunya, si anak ini tersenyum penuh kemenangan.
Ah, anak yang lucu, gumam Jujuk.
“Lho, tadi kulihat ada bendera putih di pinggir gang masuk rumah Demun,” lanjut Oji tiba-tiba seakan teringat sesuatu.
“Hah? Yang bener?”
“Bener! Kalo nggak percaya, ayo kita lihat di luar.”
Jujuk dan Oji segera keluar dari warung itu. Keduanya langsung melihat sebuah bendera putih mungil yang ditempelkan di tengah tiang listrik yang terletak di tepi mulut gang rumah Demun.
“Waduh, jangan-jangan…” Mimik Jujuk berangsur bengong.