Di perayun biru ini aku ingin bisa bersamamu, meski sekian detik saja, menjelang kamu resmi dibawa seorang pangeran ke istananya. Bukan Andi, Budi, Charli, ataupun Deni. Tapi Edi. Ah, nama terakhir ini, selalu mengulik perasaan dan pikiranku akhir-akhir ini.
Edi. Ah, laki-laki itu sangat mujur. Mujur karena dekat denganmu di pulau seberang. Ketika aku mengunjungimu di seberang, kedekatan itu sangat kental sehingga aku mental. Mujur lagi, dia berhasil memersuntingmu, Lia. Ah, cintaku jadi berkarat seperti di beberapa bagian perayun biru ini, Lia.
Aku tidak mengerti, kenapa kamu tidak memberi undangan pernikahanmu nanti. Malah aku mendapat kabar dari orang lain, yang sedang menganggung lipatan tenda biru untuk acara besarmu. Itu yang sebenarnya ingin kutanyakan langsung padamu di perayun biru ini.
Sering, saban menjelang lelap, langit-langit kamar rantauku bertabur kata kutukan, semoga pernikahanmu batal karena si Edi itu ketahuan buaya darat, atau bandit kelas berat, dan seterusnya. Atau juga, semoga hanya bertahan dua hari lantas si Edi itu ditangkap polisi gara-gara terlibat jaringan narkoba internasional.
Pokoknya banyaklah kutuk yang kuangkat dari dasar kolam hatiku dan kutabur di langit-langit kamarku, Lia. Kutukan-kutukan itu berayun-ayun di sana dengan wajah ayumu, wajah sialan Edi, waktu-waktu bersama di perayun biru, hingga lelap menutup pintu-jendela pikiranku.Â
*
Sejuknya pagi di kampung selalu membuatku tidak ingin merantau lagi. Kuanggap selesailah semua perjalanan di luar kampung. Saatnya membangun kampung kita dengan gelar sarjanaku.
Itulah panggilan jiwaku. Ibuku senang. Juga ibumu. Artinya, sejauh-jauhnya aku menuntut ilmu, pulang dan membangun kampung halaman adalah suatu upaya yang paling membanggakan keluargaku, keluargamu, dan orang-orang kampung kita. Kebetulan aku langsung bekerja di sebuah konsultan sambil menunggu kapan adanya penerimaan pegawai negeri.
Aku tahu kamu sudah tinggal-menetap di pulau seberang bersama Edi dan keluarga barumu. Aku tahu kamu sedang sibuk bersama mereka. Namun, aku memang harus pulang demi kampung halaman kita.
Aku berjalan menyusuri kampung, memunguti kenangan yang mustahil bisa terulang. Itu pun yang sering membuatku menggerutu, kenapa kenangan sangat keras kepala. Ya, kenangan benar-benar sangat keras kepala pada saat aku melihat perayun biru di samping rumah orangtuamu.
Di perayun biru kulihat ibumu sedang menemani cucunya alias keponakanmu alias anak kedua-nya kakakmu yang belum masuk pendidikan anak usia dini. Keduanya berayun-ayun di situ.