Sebuah tulisan, mungkin, bisa diibaratkan sebagai sebuah bangunan. Apakah sekadar sebuah pos satpam, ataukah gedung bertingkat banyak, secara fasadal (penampilan) akan terlihat perbedaannya. Misalnya sebuah pos satpam, yang cukup berukuran luas 2,5 x 3 m2 dan tinggi sekitar 4m. Sementara gedung bertingkat banyak, tentu jauh lebih luas dan lebih tinggi.
Tidak jarang sebuah bangunan hanya dinilai dari atap, dinding, pintu, dan jendela, dan berakhir pada estetika. Atap sebagai penjamin fisikal terhadap hujan dan sinar matahari (iklim). Dinding sebagai penjamin fisikal terhadap pengaruh jelek lingkungan sekitar. Pintu sebagai penjamin fisikal untuk aksesbilitas pengguna (pelaku kegiatan). Jendela sebagai penjamin fisikal untuk pemantauan (dari dalam ke luar), pencahayaan alami (dari luar ke dalam), dan penghawaan alami (dari luar ke dalam). Estetika pun cenderung dinilai pada profilan atau dekorasi.
Tetapi, tidaklah mudah memaparkan sebuah bangunan, yang bukan sekadar sebuah penampilan luas-tinggi dengan syarat sederhana berupa atap, dinding, pintu, dan jendela lantas langsung dijadikan sebagai satu-satunya parameter terhadap fungsi (peruntukan) sebuah bangunan, apalagi suatu gaya atau aliran arsitektural. Padahal, sebuah bangunan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, dan dapat dipaparkan dalam uraian yang akhirnya benar-benar sesuai dengan penampilan.
Persyaratan apa lagi, jika sudah ada atap, dinding, pintu, dan jendela? Kegiatan, pelaku kegiatan, alur kegiatan, kebutuhan ruang, ukuran ruang, klimatologi, mekanikal-elektrikal, dan seterusnya. Ada juga yang mengharuskan suatu bangunan berdasarkan kepercayaan atau keyakinan tertentu, semisal feng sui.
Itu pun belum termasuk pagar. Penampilan sebuah bangunan harus menjadi acuan pula untuk penampilan sebuah pagar, yang kemudian disebut satu-kesatuan (unity). Misalnya sebuah bangunan berpenampilan minimalis. Tentu saja penampilan pagar pun mengikuti penampilan minimalisnya sebuah bangunan.
Penilaian terhadap sebuah bangunan tidaklah cukup dari sisi luar bangunan tetapi harus masuk ke bangunan itu sendiri. Mulai dari pengelolaan akses menuju teras, dan pengelolaan sekitarnya. Pengelolaan teras, misalnya luas, jarak lantai-langit-langit, bahan, dan lain-lain. Lalu pintu utama, misalnya dimensi, posisi, bahan, dan seterusnya. Barulah ruangan-ruangan dalam bangunan.
Bagi kalangan tertentu, detail pun menjadi parameter terhadap sebuah bangunan. Detail bisa berupa pemilihan bahan, kesesuaian (unity), penyelesaian (finishing), dan lain-lain. Justru dengan menjadikan detail sebagai salah satu elemen parameternya, akan terasa lengkap tanggapan (penilaian) terhadap sebuah bangunan.
Tidak jarang terjadi perdebatan mengenai estetika dalam obrolan banyak kalangan. Yang sering pula terjadi, estetika sebuah bangunan tergantung pada selera subyektif. Padahal, estetika bukanlah sebuah hasil selera subyektif alias relatif, melainkan terukur secara logis-matematis-fisikis. Artinya, estetika yang diperdebatkan harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, dan benar-benar dipahami secara obyektif.
Demikian juga ketika sebagian Pembaca melihat penampilan sebuah tulisan dengan analogi sebuah bangunan. Pertama, sesuatu yang disebut tulisan hanyalah pada deretan kata. Dengan analogi bangunan, deretan kata merupakan sebuah bangunan yang cenderung dianggap lengkap, mulai dari ‘atap’ (alinea pembuka dianggap atap?), dinding, pintu, dan jendela.
Kedua, judul sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, judul merupakan atapnya. Keberadaan judul cukup ‘mengamankan’ kesan bahwa deretan kata merupakan sebuah tulisan yang utuh. Sebuah bangunan bisa memberi kesan “layak huni” apabila telah memiliki atap.
Ada beberapa tulisan yang awalnya dipublikasikan tanpa judul, ada yang kemudian judulnya dibuat, semisal “(Tanpa Judul)”, atau dibuat oleh orang lain (redaksi) dengan judul yang diberi tanda keterangan.
Ketiga, dari pendek-panjangnya sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, pendek-panjangnya merupakan dinding. Dengan tulisan pendek sekali, analoginya semacam pos satpam. Dengan tulisan panjang, analoginya semacam bangunan yang luas, dan berlantai banyak.
Keempat, alinea pembuka, dan penutup. Dengan analogi bangunan, alinea pembuka dan penutup merupakan pintunya. Sementara sebagian deretan kata atau kalimat pada sebagian alinea pada isi sebuah tulisan bisa dianalogikan sebagai pintu-pintu ruang dalam sebuah bangunan.
Kelima, deretan kata yang pendek (frasa) atau yang panjang (satu-dua kalimat) pada alinea lainnya yang menarik secara sekilas pada sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, deretan kata pada alinea lainnya tersebut merupakan jendela-jendela sebuah bangunan. Melalui frasa atau beberapa kalimat itu secara mudah-sekilas seorang Pembaca melihat atau membayangkan isi, dan tertarik untuk membaca sebuah tulisan secara utuh.
Keenam, alinea-alinea sebagai pemuat isi sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, alinea-alinea merupakan ruang-ruang dalam bangunan. Segala penyusunan kalimat berikut tata bahasa, alur, dan lain-lain merupakan tata ruang, sirkulasi dalam bangunan atau ruang, dan seterusnya.
Ketujuh, pemilihan kata (diksi) dalam sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, diksi bisa juga merupakan penyelesaian bidang-bidang tertentu atau penguat kesan sebuah karakteristik ruang atau bangunan, dekorasi, dan seterusnya.
Demikianlah ketujuh hal yang, barangkali saja, cukup mewakili sebuah analogi bangunan terhadap sebuah tulisan. Tentu saja masih ada beberapa hal lainnya pada sebuah bangunan yang dapat dianalogikan untuk sebuah tulisan, termasuk seorang arsitek sebagai analogi untuk seorang penulis.
Di luar itu, sebagian Pembaca yang baik-kritis, kendati bukan kritikus, tidak akan sekonyong-konyong menyampaikan penilaiannya terhadap sebuah tulisan dari beberapa alinea atau sederetan kata (kalimat), apalagi hanya pada judul yang menggoda atau provokatif. Dengan membaca keseluruhan tulisan, termasuk pemilihan kata (diksi), tata bahasa, efektivitas kalimat, logika, dan lain-lain, seorang Pembaca yang baik-kritis barulah bisa menyampaikan penilaiannya terhadap sebuah tulisan seutuhnya.
Penilaian itu pun, biasanya, dikaitkan dengan kapasitas seorang Pembaca, pengalaman membaca tulisan-tulisan, atau referensi tulisan yang memiliki suatu relasi-korelasi tertentu, baik secara teoritis maupun kajian-kajian. Dengan itu seorang Pembaca bisa menyampaikan bahwa bangunan tulisan tersebut adalah begini-begitu, dan bisa dipertanggungjawabkan melalui tulisannya.
Yang paling menarik adalah ketika seorang Pembaca membuat tulisan, semacam ulasan, mengenai sebuah tulisan yang dibacanya. Tulisan yang dibuatnya itu pun merupakan sebuah bukti atas pertanggungjawaban dirinya sendiri dalam pembacaan. Pembaca tersebut bisa menyampaikan penilaian terhadap sebuah tulisan dengan kesiapan untuk menerima pembacaan dari pembaca lainnya.
Sayangnya, jumlah Pembaca yang kritis ini jauh lebih sedikit daripada Pembaca yang ‘bocor’ (tanpa pemahaman yang fundamental). Sayangnya lagi, Pembaca yang kritis selalu tidak mendapat aksesbilitas dalam publisitas semestinya. Lagi-lagi sayangnya, pemaparan dari Pembaca yang kritis ini jarang pula dicermati oleh sebagian besar Pembaca.
Akibat dari ketiga sayangnya tadi, sebuah tulisan mengalami demokratisisasi apresiasi yang cenderung dimanfaatkan sebagai corong potensial bagi sebuah promosi yang ditunggangi kepentingan tertentu. Pembaca yang masih ‘belajar’ tetapi lagaknya seperti Pembaca yang super kritis, selalu mudah menelan mentah-mentah atas promosi, apalagi jika gencar dipromosikan, mengenai sebuah tulisan, yang kemudian justru menjadi mangsa empuk bagi kepentingan tertentu.
*******
Kebun Karya & Panggung Renung – Balikpapan, 2016
*) ditulis oleh Arsitek Agustinus Wahyono – alumni Prodi Teknik Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H