Ketiga, dari pendek-panjangnya sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, pendek-panjangnya merupakan dinding. Dengan tulisan pendek sekali, analoginya semacam pos satpam. Dengan tulisan panjang, analoginya semacam bangunan yang luas, dan berlantai banyak.
Â
Keempat, alinea pembuka, dan penutup. Dengan analogi bangunan, alinea pembuka dan penutup merupakan pintunya. Sementara sebagian deretan kata atau kalimat pada sebagian alinea pada isi sebuah tulisan bisa dianalogikan sebagai pintu-pintu ruang dalam sebuah bangunan.
Â
Kelima, deretan kata yang pendek (frasa) atau yang panjang (satu-dua kalimat) pada alinea lainnya yang menarik secara sekilas pada sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, deretan kata pada alinea lainnya tersebut merupakan jendela-jendela sebuah bangunan. Melalui frasa atau beberapa kalimat itu secara mudah-sekilas seorang Pembaca melihat atau membayangkan isi, dan tertarik untuk membaca sebuah tulisan secara utuh.
Â
Keenam, alinea-alinea sebagai pemuat isi sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, alinea-alinea merupakan ruang-ruang dalam bangunan. Segala penyusunan kalimat berikut tata bahasa, alur, dan lain-lain merupakan tata ruang, sirkulasi dalam bangunan atau ruang, dan seterusnya.
Â
Ketujuh, pemilihan kata (diksi) dalam sebuah tulisan. Dengan analogi bangunan, diksi bisa juga merupakan penyelesaian bidang-bidang tertentu atau penguat kesan sebuah karakteristik ruang atau bangunan, dekorasi, dan seterusnya.
Â
Demikianlah ketujuh hal yang, barangkali saja, cukup mewakili sebuah analogi bangunan terhadap sebuah tulisan. Tentu saja masih ada beberapa hal lainnya pada sebuah bangunan yang dapat dianalogikan untuk sebuah tulisan, termasuk seorang arsitek sebagai analogi untuk seorang penulis.