Sebuah tatto bergambar mahkota di antara tengkuk dan punggung kuning langsat nan mulusmu hadir secara gamblang untuk kedua kalinya pada saat cuaca sedang mengalami kegalauan yang akut. Aku terkesima dan terpesona. Duhai!
Pada kali kedua ini ketika kamu datang, hendak mengajakku pergi ke Taman Impian Jaya Ambrol seperti chatting kita dua hari lalu. Chatting sampai azan subuh mengingatkan waktu akan membentang layar fajar. Padahal belum satu bulan aku mengenalmu.
Ya, belum satu bulan aku mengendus aroma parfum impor yang semerbak dari kibasan rambutmu sewaktu kita bertemu kali pertama di Kedai Kopi Paste. Belum satu bulan tetapi tatto mahkota itu sangat lekat dalam mata rasaku, dan mengusik kesendirianku yang sunyi di Kebun Karya.
“Kapan kita berangkat?”
“Sekarang!”
Sekarang? Oh!
Aku belum siap. Badanku masih beraroma matahari. Bau nafasku seperti bangkai ular kobra. Dari pagi aku menebas ilalang di Kebun Karya, yang gondrong sekali pada musim penghujan ini. Tebasan beberapa hari kemarin aku bakar pada saat hujan sedang bersiasat di balik awan galau. Belum sempat mandi dan sikat gigi, kamu tiba-tiba datang. Ah, mungkin kamu sudah mengendus aromaku barusan.
Sedangkan kamu, dengan kaus oblong krem berukuran ketat dan berleher sepundak seakan sengaja hendak memamerkan tatto mahkota apabila berbalik badan, jins coklat tua sampai dengkul saja sehingga memerlihatkan bentuk betismu yang aduhai, dan sepatu kets dominan putih, berikut semerbak mewangi, tentunya sudah kamu rencanakan sejak dua hari kemarin. Ya, dua hari kemarin kamu sudah menyampaikannya melalui chatting sampai subuh sekaligus meludeskan kuota modem internetku.
Kukira waktu itu kamu sekadar menghibur agar aku bisa memvariasikan hidup, bukannya melulu di kebun dan berbalas pantun dengan burung-burung. Kukira kamu tengah membuka dunia yang berbeda agar aku bisa membuka peluang lain dalam hari-hariku. Kukira kamu diam-diam menaksir aku karena gombalanku dalam chatting sering kamu balas dengan lambang “hati”, terutama kalau kusinggung soal tatto mahkotamu.
“Sampai kapan kamu akan berpikir?”
Asaga! Aku terhenyak. Pikiranku tadi seketika lenyap.
“Aku harus bersiap. Tunggu sebentar. Beri waktu sekitar sepuluh menit saja.”
Aku langsung berjalan cepat menuju sumur di depan Rumah Kreasi, Kebun Karya. Di situ terdapat kamar mandi darurat; berdinding seng sarat karat sekaligus bolong-bolong, dan kayu rangka yang telah menjadi sarang rayap.
“Kelihatan lho dari sini.”
“Kalau tidak kelihatan, sebaiknya kamu periksa dulu ke dokter mata sebelum kita berangkat.”
“Ha-ha-ha-ha!”
Aku suka suara tawamu yang lebih renyah daripada kemplang panggang itu. Tawa yang tanpa tendensi politik, atau minimal tidak melecehkan kemanusiaan. Tawa yang tidak pernah kudengar dari para perempuan yang pernah menjadi kekasihku ketika aku masih nomaden dari kota ke kota, dan bergonta-ganti bahkan gemar mengoleksi kekasih.
Sejak aku mengenalmu di Kedai Kopi Paste satu bulan silam, memandang wajahmu dengan raut yang beraneka rupa, mendengar suaramu, melihat gerak-gerikmu ketika mengaduk kapucino, apalagi parfummu yang selalu menghasut hidungku, pada saat itu juga pikiranku hanya ada kamu. Aku sama sekali tidak memahami, apakah aku telah dengan tidak sengaja menjerumuskanmu ke kantong pikiranku ataukah kamu telah menguasai isi kepalaku tanpa kusadari.
Tapi aku harus segera bersiap. Belum genap lima menit aku menyelesaikan acara mandi dan sikat gigi. Kuharap aroma sabun berslogan “kegantengan bintang-bintang film” dan pasta gigi “bunga setaman” itu berhasil menyingkirkan segala yang tidak harum. Dengan setengah berlari aku kembali masuk ke rumah, melewatimu yang tengah sibuk mengutak-atik smartphone di beranda.
“Permisi, numpang lewat.”
“Ya.” Kamu bergeming dengan gadget. Sibuk sekali tampaknya. Memang alat mutakhir sering mengalihkan perhatian penggunanya terhadap hal-hal nyata di sekelingnya. Tapi syukurlah, kamu tidak sempat memergoki handuk bututku yang bolong di bagian pantat.
Di kamar yang berdinding penuh tempelan gambar perempuan bugil aku menyiapkan diriku seakan sedang dikejar tukang tagih utang. Kaus oblong biru (ah, warna ini sedang mewakili suasana hatiku padamu), celana panjang jins biru, sepatu kets putih, dan parfum oplosan yang selalu kupakai hanya jika akan bertemu denganmu.
Biasanya, sambil mengenakan pakaian seusai mandi, aku bersiul-siul dengan meniru irama lagu dangdut favoritku. Meggy Z., Mansyur S., Asep Irama, dan lain-lain. Kali ini tidak sempat. Aku tidak ingin bersantai demi memenuhi ajakanmu. Tidak sampai tiga menit, aku sudah keluar dari kamar, menuju beranda, dan berhenti di ambang pintu.
“Sudah.”
“Sudah?” Kamu menoleh ke arahku. Matamu menjalar dari kaki hingga rambutku.
Aku merasa agak risih. Kamu seperti petugas pemeriksa di bandara saja. Aku tidak akan pernah membawa benda-benda berbahaya kok. Tidak perlu menatapku sedemikian aneh. Soal kucel kausku? Sekarang memang tren modenya begitu; pakaian tidak disetrika. Ah, kamu tiba-tiba lupa tren pakaian masa kini.
“Oke!” Kamu bangkit dan membenahi pakaianmu, mengebas-ngebaskan bagian belakang celanamu dari debu yang menempel karena sudah dua bulan lantai beranda tidak kubersihkan.
“Siapa saja yang bakal ikut?”
“Entahlah. Sebagian kawan kita sudah menyewa sebuah bus jumbo.”
“Busyet! Jangan-jangan gajah dan kuda nil pun mereka angkut.”
“Gajah, sih, nggak. Kalau kuda nil, sudah pasti. Kuda nil, ‘kan, selalu dekat dengan buaya?”
Waduh, kamu menyindir aku, rupanya. Kok kamu tahu, sih, aku termasuk golongan buaya yang berkeliaran di darat? Pasti kamu sudah mendapat bocoran mengenai rahasia hidupku. Tapi terserahlah. Yang penting, ketika chatting, gombalanku kamu tanggapi dengan penuh senyum, bahkan berkali-kali kamu mengakui bahwa dirimu sangat tersanjung; tidak menyangka aku sangat mengagumimu.
Dan, jangan-jangan, kepergian dengan mobilmu nanti hanya ada kita berdua di dalamnya. Yang lainnya naik bus jumbo, seperti katamu. Duh, terbayang, dua manusia berbeda jenis sedang berada dalam satu mobil, duduk bersebelahan, AC yang sejuk-lancar, musik yang romantis, dan…
“Ayo! Bengong melulu!” Kamu menggamit tanganku
Deg! Kini aku kaget lagi. Kamu berani sekali menggamit tanganku, padahal kita belum lama berkenalan. Dan telapak tanganmu begitu lembut, melebihi selimut hangat yang ditinggalkan mantan kekasih terakhirku. Ada getar istimewa, seolah baru sekarang bisa kurasa itu ada dan nyata. Semoga kamu tidak menangkap getar lain, yaitu kegugupan.
“Sebentar. Aku harus mengunci pintu. Rumah ini sudah sering disantroni maling. Tabung gas 3 kg, kompor gas, kulkas satu pintu, televisi, seperangkat alat audiovisual, komputer, dan lain-lain, amblas dalam beberapa hari saja. Seandainya kamu istriku, barangkali juga diangkut si maling.”
Kamu melepaskan tanganku, dan bergegas mendului aku. Sekilas aku melirik ke arah belakang tubuhmu. Aku kembali melihat tengkuk dan bagian atas punggungmu yang kuning langsat nan mulus. Sebuah tatto berupa mahkota. Dua kali ini aku melihatnya. Duhai!
Spontan khayalanku melambung. Rasanya aku ingin mengecupnya. Ah,s eandainya aku mendapat kesempatan itu. Semoga sebentar lagi, di mobilmu seperti pasangan yang tengah dibakar asmara yang sering kutonton di internet.
Duh, kamu sangat menggoda! Atau, justru aku yang tidak mampu mengendalikan kebuayaanku, ya? Salahmu, kenapa seksi. Apakah salahku menjadi buaya? Salahmu-lah. Pasalnya, karakter laki-laki itu cuma ada dua kemungkinan; kalau tidak bajingan, ya, banci kaleng.
“Cepat lho, selagi matahari belum gila-gilaan menaburkan jarum ke bum!”
“Oh, ya, ya!”
Sialan, sepertinya kamu tahu apa yang mendadak singgah dalam pikiran liarku. Tapi aku harus segera mengunci pintu, memastikan benar-benar terkunci, dan segera menyusulmu dari belakang sambil menikmati tatto yang menghiasi kulit aduhaimu.
Dengan langkah cepat, tidak sampai satu menit kita sudah berada di dekat mobilmu yang berkaca gelap. Perlahan-lahan kaca jendela pun terbuka. Tampak seorang laki-laki berkaca mata hitam, berambut cepak, bermuka yang menampilkan rahang yang menonjol, dan hanya mengenakan singlet dengan memamerkan otot-otot pundak yang kekar.
Pengawal pribadimu-kah? Perempuan secantik kamu memang harus memiliki pengawal pribadi yang semacam itu sebab di dunia ini terlalu banyak buaya darat semacam aku ini yang bisa tiba-tiba menyergapmu di perairan tenang-tenang mengerikan. Perempuan sekaya kamu pasti mampu menyewa pengawal-pengawal kekar begitu. Tapi, itu berarti batal deh… Ah, brengsek pikiranku!
Kamu membuka pintu depan, dan segera masuk melaluinya. Aku pun membuka pintu sebelahnya tetapi bertanya-tanya dalam pikiran, siapakah dia. Begitu aku duduk di jok mobilmu yang sangat empuk, pintu terkunci secara otomatis.
“Kenalkan dulu, ini suamiku. Chatting sampai subuh itu suamiku-lah yang melayani gombalanmu. Jam segitu, mah, aku sudah slepping beauty atuh.”
Tanpa segaris senyum, suamimu membalik badan–mengarah padaku. Seketika badanku terasa tanpa tulang dan otot.
*******
Panggung Renung & Kebun Karya – Balikpapan, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H