Di kamar yang berdinding penuh tempelan gambar perempuan bugil aku menyiapkan diriku seakan sedang dikejar tukang tagih utang. Kaus oblong biru (ah, warna ini sedang mewakili suasana hatiku padamu), celana panjang jins biru, sepatu kets putih, dan parfum oplosan yang selalu kupakai hanya jika akan bertemu denganmu.
Biasanya, sambil mengenakan pakaian seusai mandi, aku bersiul-siul dengan meniru irama lagu dangdut favoritku. Meggy Z., Mansyur S., Asep Irama, dan lain-lain. Kali ini tidak sempat. Aku tidak ingin bersantai demi memenuhi ajakanmu. Tidak sampai tiga menit, aku sudah keluar dari kamar, menuju beranda, dan berhenti di ambang pintu.
“Sudah.”
“Sudah?” Kamu menoleh ke arahku. Matamu menjalar dari kaki hingga rambutku.
Aku merasa agak risih. Kamu seperti petugas pemeriksa di bandara saja. Aku tidak akan pernah membawa benda-benda berbahaya kok. Tidak perlu menatapku sedemikian aneh. Soal kucel kausku? Sekarang memang tren modenya begitu; pakaian tidak disetrika. Ah, kamu tiba-tiba lupa tren pakaian masa kini.
“Oke!” Kamu bangkit dan membenahi pakaianmu, mengebas-ngebaskan bagian belakang celanamu dari debu yang menempel karena sudah dua bulan lantai beranda tidak kubersihkan.
“Siapa saja yang bakal ikut?”
“Entahlah. Sebagian kawan kita sudah menyewa sebuah bus jumbo.”
“Busyet! Jangan-jangan gajah dan kuda nil pun mereka angkut.”
“Gajah, sih, nggak. Kalau kuda nil, sudah pasti. Kuda nil, ‘kan, selalu dekat dengan buaya?”
Waduh, kamu menyindir aku, rupanya. Kok kamu tahu, sih, aku termasuk golongan buaya yang berkeliaran di darat? Pasti kamu sudah mendapat bocoran mengenai rahasia hidupku. Tapi terserahlah. Yang penting, ketika chatting, gombalanku kamu tanggapi dengan penuh senyum, bahkan berkali-kali kamu mengakui bahwa dirimu sangat tersanjung; tidak menyangka aku sangat mengagumimu.