Selasa, 12 Januari 2016, saya mengurus perpanjangan masa berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM) C. Nyaris satu bulan lewat masa berlakunya. Daripada lebih lama, dan terkena ‘masalah’ dalam sebuah razia kendaraan, mending segera saya uruskan.
Pada pkl.08.15 WITA saya berangkat ke kantor polisi dekat Taman Bekapai, Klandasan. Pertama-tama, saya hendak menanyakan syarat-syarat administratif untuk melengkapi berkas yang diperlukan. Kedua, kalau mudah saya lakukan (melengkapi berkas) dalam sekian jam, saya akan melanjutkan dalam tahap pengurusan hingga menjadi sepucuk kartu tanda izin pengemudi (SIM C).
Pagi itu suasana lumayan sibuk. Polisi yang mulai bertugas, dan masyarakat yang sedang berkepentingan. Sebuah mobil minibus keluar dari parkirannya, dan terlihat sebagai mobil pelayanan SIM keliling.
Loket masih tutup. Saya menegur seorang pria yang juga hendak memerpanjang SIM. Dia menanyakan kelengkapan berkas. “Fotokopi KTP, SIM yang akan diperpanjang, dan surat keterangan kesehatan,” katanya dengan menyebutkan berkas-berkas tersebut.
Tentu saja saya tidak membawanya karena tujuan pertama saya adalah menanyakan perihal memerpanjang SIM terlebih dulu. Yang paling sangat tidak siap adalah surat keterangan kesehatan. Baru kali ini saya mengetahui adanya prasyarat itu.
Lalu saya bertanya, “Mengurus surat keterangan kesehatan di mana?” Jawabnya sambil menunjuk ke sebuah gedung, “Di seberang sana, ada apotik yang juga bisa melayani surat keterangan kesehatan. Biayanya dua puluh ribu rupiah. Kalau di puskesmas, hanya sepuluh ribu rupiah.”
Saya langsung bingung untuk memilih tempat antara puskesmas ataukah apotik terdekat. Hal selanjutnya adalah waktu; apakah perlu antri, dan berapa lama. Saya yakin, pria tadi tidak bisa memastikan, apakah saya akan antri lama ataukah sebentar.
“Kalau Mas tidak siap, mending mengurusnya di pelayanan keliling. Tidak perlu memakai surat keterangan kesehatan. Cukup dengan fotokopi KTP, fotokopi SIM, dan menyerahkan SIM asli.”
“Berapa lama?”
“Satu hari jadi, Mas. Untuk SIM C, biayanya seratus tigapuluh ribu rupiah. Memang, sih, antriannya lumayan banyak tapi, ‘kan, tidak repot soal surat keterangan kesehatan.”
“Ah, Mas tahu saja lho…”
“Eh, lya, barusan mobilnya keluar dari parkiran, Mas.”
“Oh, barusan itu? Saya juga melihatnya. Mangkalnya di mana?”
“Di BP (Balikpapan Permai–pen.).”
“Terima kasih informasinya, Mas,” ujar saya sembari berbalik ke tempat parkir untuk ‘mengejar’ mobil pelayanan pengurusan SIM keliling itu.
Saya memang tidak mau menunda dengan besok-besok-besok saja, walaupun saya sama sekali tidak menyiapkan berkas apa-apa. Untuk bisa berjalan di atas air, Simon Petrus harus keluar dari perahu. Aku pun harus keluar dari pemikiranku yang menjebak dengan kekhawatiran. Kalau hanya fotokopi KTP dan SIM, alangkah mudahnya.
Pagi itu cuaca seperti kemarin. Ada mendung yang ‘menggoda’ untuk urung. Tapi, sekali sudah keluar dari perahu, pantang bagi saya mampir di warung untuk makan tahu. Ya, saya pura-pura tidak tahu, cuaca sedang ‘merayu’ begitu.
Saya memasuki kawasan BP dan mencari mobil minibus pelayanan SIM keliling itu dengan naluri saja. Ya, cukup dengan naluri, cepat ketemu tempat mangkalnya. Saya sedikit kaget karena mangkalnya di depan tempat dugem bernama V’gas. Nama tempat itu pernah saya dengar dari rekan-rekan kerja, yang suka dugem.
Ternyata acara belum dimulai. Beberapa orang meletakkan kursi-kursi plastik untuk para penunggu. Tampak sekitar 20 orang sedang bersiap-siap. Mungkin sengaja menunggu saya tampil membaca puisi. Mungkin. Tapi saya pura-pura acuh-tak acuh, langsung menuju ke petugas (polisi) yang sedang mengumpulkan berkas-berkas peserta, dan menanyakan syarat-syarat kepada petugas.
“Fotokopi KTP dan SIM saja, Mas,” jawab petugas.
Saya celingak-celinguk, mencari tempat fotokopi di sekitar situ. Ada tempat fotokopi tetapi masih tutup. Mungkin petugasnya belum bangun atau sedang mandi wajib (mandi pagi itu wajib untuk pekerja). Sempat saya berpikir, kenapa tadi saya tidak singgah sebentar di tempat fotokopi, ya. Tapi sudah telanjur, pantang bagi saya untuk mundur dan ‘berenang’.
Kemudian saya bertanya ke seorang pria yang sedang santai, “Mas, tempat fotokopi terdekat, di mana, ya?” Jawabnya, “Di depan situ, sebelah kiri, ada gang. Masuk saja, lalu nanti belok kiri lagi. Di sana ada tempat fotokopi.” Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih.
Tidak perlu lama mencari, tempat fotokopi segera saya jumpai. Memang tidak jauh dari situ ada tempat fotokopi, yang sudah buka pada pkl. 08.00 WITA. Saya lega karena urusan SIM bisa lebih cepat.
Secepatnya saya kembali ke tempat mangkalnya mobil pelayanan itu. Acara sudah dimulai, rupanya. Dan, para pesertanya bertambah sekitar dua kali lipat. Maklumlah, lebih banyak pengantri di sekitar mobil pelayanan keliling karena letak kantor polisi yang cukup jauh (3 km lumayan kalau berjalan kaki, ‘kan?). Tidak perlu berlama-lama saya serahkan berkas-berkas saya, lalu ikut menunggu panggilan.
Mendung sedang ‘menggoda’. Sinar matahari yang, biasanya, mulai menyengat menjelang pkl.09.00 WITA, sama sekali terhalang mendung. Bahkan, ada calon peserta datang dengan mengenakan jas hujan yang sudah terkena hujan. Berarti, cuaca sangat kondusif untuk menunggu.
Panggilan dilakukan terhadap lima orang untuk difoto di dalam mobil minibus ber-AC. Sekitar 5 menit, mereka keluar sambil membawa formulir untuk diisi dan segera dikembalikan agar bisa mendapatkan SIM A atau C baru.
Saya sempat bingung karena saya tidak membawa pulpen. Tanpa perlu malu, saya bertanya ke seorang pria di sebelah kanan saya, “Mas bawa pulpen?” Jawabnya, “Bawa.” Saya Tanya lagi, “Boleh saya nanti pinjam?” Jawabnya lagi, “Boleh.”
Masa penungguan giliran saya manfaatkan dengan ngobrol. Kebetulan pria di samping kanan-kiri saya biasa ngobrol. Pria di samping kanan suka bercanda. Pria di samping kiri saya terlambat memerpanjang SIM C selama 6 bulan, sempat khawatir soal bisa-tidaknya diperpanjang masa berlakunya, dan sengaja mencoba berspekulasi.
Ya, kami hanya bisa ngobrol untuk menunggu giliran. Tidak ada kopi, nasi kotak, atau hiburan elekton. Iseng-iseng mengomentari orang yang keluar-masuk mobil pelayanan. Sayangnya, tidak ada seorang perempuan cantik berpakaian seksi atau atraktif di sekitar kami sehingga obrolan datar-datar saja.
Lantas, giliran nama saya dan pria sebelah kiri dipanggil oleh ibu polisi. Kami berdua beranjak, sementara pria di sebelah kanan tetap duduk santai. “Saya pinjam pulpennya lho, Mas,” pesan saya lagi supaya dia tidak pergi entah ke mana. “Iya,” jawabnya. Oh, betapa baiknya dia!
Di dalam mobil pelayanan yang bersuhu sejuk itu terdapat lima kursi untuk peserta. Empat kursi plastik untuk antri, dan satu kursi besi-berbantal dudukannya untuk peserta yang difoto. Saya mendapat giliran ketiga. Duduk di kursi empuk, difoto,dan beranjak untuk membuat tanda tangan dan sidik jempol kanan.
Selesai, lalu saya keluar dengan membawa formulir yang diberikan oleh bapak polisi. Sempat saya melirik pada biaya (retribusi) pengurusan SIM C yang tertera pada lembaran berukuran agak kecil. Tidak ada angka Rp. 130.000,- seperti yang disampaikan oleh pria di kantor polisi sana.
Saya kembali ke pria di samping kanan tadi untuk meminjam pulpen. “Ngisinya nggak usah dipikir dalam-dalam. Bukan ujian sekolah, Mas,” guraunya. “Jangan-jangan nanti ada bonusnya, Mas,” sahut saya. “Ya, nasi bungkus lauk ayam,” katanya.
Begitulah kisah pada Selasa, 12 Januari 2016, sekitar pkl. 10.30 WITA, dan saya sudah memiliki SIM C baru dengan biaya Rp. 130.000,-. Baru bukan hanya tanggalnya tetapi juga perwajahan fisiknya (wajah saya tidak bisa baru). Alangkah leganya saya, apalagi hujan deras masih urung seperti kemarin. Sampai jumpa lima tahun lagi!
*******
Panggung Renung – Balikpapan, 2 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H