Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritik Arsitektur

12 Oktober 2015   08:54 Diperbarui: 12 Oktober 2015   08:54 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

“Nih, lihat, aku sendiri yang jadi arsiteknya. Keren, ‘kan?!” begitu kira-kira sesumbar mereka seolah-olah tanpa perlu susah-payah memahami teori arsitektur atau mengenyam pendidikan arsitektur sekian tahun pun mereka mampu merencanakan dan merancang bangunan dalam kurun waktu singkat. Sesumbar itu selalu berdasarkan penampilan luar (fasade) bangunan, apalagi jika bangunan mereka mengikuti gaya sezaman dan kemudahan ‘menjiplak’ penampilan dari bangunan-bangunan yang sudah ada. Atau, ketika berkaitan dengan ruang dan bidang, ‘kebanggaan’ diungkapkan dengan penampilan fisiknya saja. Lagi-lagi, “Keren, ‘kan, Pak Arsitek?”

 

Ya, kebanyakan orang, sebenarnya, sangat tidak membutuhkan pendapat (kajian bahkan kritik) dari kalangan berpendidikan Arsitektur terhadap bangunan mereka. Pendapat ataupun kritik arsitektur tidaklah penting, bahkan cenderung celaan yang jelas tidak nyaman apabila mengena hati, meskipun di antara mereka diam-diam tetap berharap adanya pendapat bahkan mudah-mudahan pujian (apresiasi) terhadap bangunan mereka.   

 

Kalaupun ada segelintir mereka mengharapkan pendapat seorang arsitek, apakah perlu perbaikan ataukah sudah pas, seringkali tidak terlalu darurat. Sekadarnya saja; bukan pendapat yang sesuai dengan standar-standar memadai. Diusahakan tidak perlu adanya perbaikan supaya tidak mengeluarkan biaya lagi. Jika perlu, pendapat pun bersifat cuma-cuma alias tidak seperti seorang dokter yang memiliki tarif meski sekadar konsultasi ringan.

 

Di sisi lain, lebih segelintir lagi dari segelintir itu yang memahami bahwa sebaiknya bangunan, dari perencanaan, perancangan, sampai pelaksanaan, ditangani oleh seorang arsitek. Mereka, yang paling segelintir ini, sangat menghargai diri mereka yang akan atau telah menggunakan bangunan mereka. Perhitungan mereka bukan sekadar biaya dan fungsi utama bangunan, melainkan juga demi kondisi yang berkelanjutan sekaligus menjadikan bangunan sebagai identitas sosial mereka.

 

Sementara pendapat atau kritik arsitektur hanya berkutat dalam lingkungan kampus atau sesama arsitek sendiri. Berputar-putar di tempat atau lokasi sendiri. Kalangan berpendidikan Arsitektur lebih menikmati obrolan arsitektur bersama kalangannya sendiri. Persoalan bangunan-bangunan yang begini-begitu, hanyalah untuk konsumsi terbatas. Akibatnya, kritik tidak lebih dari keripik singkong digoreng biasa saja untuk bahan obrolan pengisi waktu atau “bertanding isi otak” (sok paling arsitek), dan di luar sana bangunan pun bermunculan seperti jamur di musim hujan tanpa pernah ada kajian (kritik) arsitektur.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun