Mohon tunggu...
Agustinus Ependi
Agustinus Ependi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat, di Fakultas Filsafat, Universitas St. Thomas Medan

Tutuh Nya Tiop, Akal Nya Midop.. Onih Agah?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebudayaan Subyektif dan Obyektif dalam Budaya Dayak Mayao

3 April 2023   14:25 Diperbarui: 4 April 2023   16:02 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebudayaan Subyektif dan Obyektif Dalam Budaya Sub Suku Dayak Mayao

Pada dasarnya seluruh kehidupan kita manusia ialah diatur oleh kebudayaan. Namun hal itu sangat kurang disadari oleh sebagian orang. Dalam filsafat manusia dikatakan bahwa manusia itu sebagai makhluk yang membudaya, sekaligus manusia itu sendiri dicipta dan menciptakan budaya. Mengenal kebudayaan berarti mengenal manusia dengan segala pergumulan nya. Dengan budaya manusia memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Di setiap daerah di indonesia ini memiliki berbagai budaya yang berbeda-beda satu sama lain. 

Di setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dengan daerah yang lain. Misalnya di wilayah Kalimantan Barat terdiri dari beberapa suku yang mendiaminya. 

Dari beberapa suku tersebut ada yang memiliki kebudayaan yang sama dan ada juga yang memiliki kebudayaan yang berbeda sama sekali. Kalau yang berbeda sangat jelas bagi kita, namun yang sama ini, yang menjadi persoalannya. 

Dimana kah persoalannya? Persoalan yang sangat dirasakan ialah dalam Bahasa. Misalnya sub suku dayak Mayao. Dayak Mayao ini terdiri dari tujuh kampung yang saling berdekatan yakni kampung Kadak, Kelompu, Lanong, Upe, Kotip, Engkayu dan Entiop. Dari ketujuh kampung ini walaupun memiliki satu rumpun yang sama yaitu Dayak Mayao, namun logat bahasanya berbeda satu sama lain. Itu yang sangat bisa dirasakan oleh ketujuh kampung tersebut, namun dalam perbedaan tersebut mereka masih bisa berkomunikasi dengan baik.

Namun yang mau ditekankan disini dan sering diabaikan bahkan tidak pernah diketahui ialah mengenai kebudayaan subyektif dan kebudayaan obyektif. Kebudayaan yang dari dalam diri dan kebudayaan yang dari luar diri. Kedua hal tersebut sering kali diabaikan bahkan tidak pernah diketahui, sering kali kedua hal terebut dianggap sama saja oleh masyarakat. Maka perlu kita lihat kebudayaan subyektif dan kebudayaan obyektif dalam suku Dayak Mayao. 

Tampa terasa secara perlahan kebudayaan-kebudayaan Dayak Mayao akan memudar akibat dari perkembangan zaman. Oleh karena itu sebagai generasi muda perlu juga menyikapi situasi dan kondisi yang terjadi dan jangan sampai melupakan adat kebudayaan yang ditanamkan oleh nenek moyang kita.

Apa itu kebudayaan Subyektif dan kebudayaan Obyektif?

Untuk itu perlu kita ketahui apa itu kebudayaan subyektif dan apa itu kebudayaan obyektif. Secara pengertian biasa kita pasti sudah mengetahuinya bahwa subyektif itu dari dalam sedangkan obyektif itu dari luar. Sebagai proses humanisasi kebudayaan memiliki dua bentuk utama ialah kebudayaan Subyektif dan kebudayaan Obyektif. Kebudayaan subyektif adalah sebuah proses memanusiakan manusia melalui pengolahan-pengolahan potensi yang ada dalam diri subyek (manusia).

Manusia itu sendiri yang mengolah dalam dirinya suatu potensi atau talenta yang ada pada dirinya. Sehingga dalam proses itu ia semakin mematangkan dirinya dan memenuhi kebutuhan yang ada pada dirinya. Proses pengolahan tersebut terdiri dari dua aspek yakini aspek batiniah dan aspek jasmaniah. Aspek batiniah terdiri dari ketulusan budi, ketenangan batin, keutamaan-keutamaan, dan penghayatan kerohanian. Sedangkan aspek jasmaniah terdiri dari kesehatan badan, gaya indah, keterampilan, kecakapan, dan komunikasi. Kedua aspek tersebutlah yang kita olah dalam diri kita, sehingga kita memanusiakan manusia dalam diri kita.

Kebudayaan obyektif adalah materialisasi dari seluruh proses memanusiakan manusia yang terwujud dan teramati di luar diri subyek. Proses humanisasi disini ialah mewujud nyatakan dalam bentuk material atau barang yang dapat dilihat dan disentuh. 

Misalnya rumah betang atau rumah panjang, mandau dan bangunan-bangunan lainnya. Kebudayaan obyektif ini ialah di luar diri kita manusia. Proses humanisasi ini diramu secara bertahap dari generasi ke generasi sehingga membentuk sebuah kegiatan-kegiatan yang terinstusioanalisai dan berkembang dari jaman ke jaman. Dalam kebudayaan obyektif ini terdiri dari beberapa unsur yaitu ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian, agama, dan adat-istiadat. Jadi di dalam kebudayaan obyektif pasti terdiri dari beberapa unsur tersebut.

Dayak Mayao

Suku Dayak adalah salah satu suku di Indonesia yang mendiami tanah pedalaman Kalimantan. Suku Dayak merupakan penduduk asli pulau Kalimantan yang secara keseluruhan di dalamnya terdapat 405 sub suku. Salah satunya dari subsuku itu ialah  Dayak Mayau. Dayak Mayau ini terdapat di Kabupaten Sanggau, mereka menyebut diri Mayau saat bertemu dengan suku Dayak lainnya atau dari golongan suku lain.[1]  Suku Dayak Mayau adalah salah satu susbsuku Dayak yang ada di Kalimantan. 

Suku Dayak Mayau ini tidak terlalu dikenal luas oleh suku-suku lain, karena suku Dayak Mayau ini hanya terdiri dari beberapa kampung. Suku Dayak Mayau hanya terdiri dari tujuh kampung yakni kampung Entiop, Kadak, Kelompu, Lanong, Upe, dan Kotub, yang terletak di bagian timur Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau. Selain itu suku Mayau juga ada di kampung Ngkayu yang bermukim di wilayah kecamatan Parindu. Dengan sedikitnya kampung ini yang membuat suku ini tidak di kenal banyak orang. 

[2]Bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Mayau ini disebut bahasa Mayau. Bahasa kelompok suku Mayau ini banyak memperlihatkan kesamaan dengan bahasa kampung Sami, Tinying, Dosant, beberapa kolompok bahasa bidayuhik lainya. Walaupun satu rumpun suku, bahasa setiap kampung dalam suku Dayak Mayau ini memiliki perbedaan penekanan dalam berbahasa. Namun saling mengerti satu sama lain.

 

Kebudayaan subyektif dan kebudayaan obyektif dalam budaya Dayak Mayao

Kebudayaan Subyektif : Dalam budaya suku Dayak Mayau, kebudayaan subyektif yang penulis hidupi dinamakan "Botopas" yang berarti pantangan. Selain dari pantangan pengertian yang sangat fundamental dari Botopas ialah pembersihan diri. Maka pada saat botopas setiap orang akan dibersihkan menggunakan daun. Daun dan disertai mantra itulah yang dipukul-pukul ke badan sebagai bentuk pembersihan diri. Yang penulis alami ialah pada saat botopas itu dilakukan pada tengah malam. 

Maka kita sekeluarga berkumpul di depan rumah menunggu petugas dan dukun kampung yang datang menopas (membersihkan) kita. Botopas diikuti semua masyarakat di satu kampung yang sedang mengadakan acara botopas, kegiatan botopas ini dilakukan akibat suatu peristiwa negatif yang terjadi di kampung tersebut. Dahulu botopas dilaksanakan setiap setahun sekali, biasanya dilakukan setelah acara nosu minu podi (gawai dayak). Acara ini dibuat setelah nosu minu podi dipercayai atau diyakini untuk mengusir segala penyakit dan mala petaka dari kampung. 

Namun sekarang botopas itu sering dilakukan, karena di dalam masyarakat sendiri sudah terdapat berbagai penyakit yang mengancam kehidupan. Acara botopas ini dimaksudkan untuk menangkal segala penyakit atau malapetaka yang menimpa setiap orang. Acara botopas nya sendiri dilakukan paling tidak atau sampai tiga hari.  Setelah botopas barulah masyarakat mengadakan pantang. Balala atau pantang merupakan hasil dari botopas. Balala itu untuk mewujudkan apa yang telah di harapkan dalam botopas. Botopas dan balala itu masih satu kesatuan yang utuh, namun botopas lebih ke acara inti atau acara adatnya. 

Sedangkan balala merupakan wujud nyata dari niat masyarakat. Pantang dalam bahasa dayak Mayao yakni balala. Balala merupakan bentuk niat dari masyarakat untuk mengurung diri di rumah (pantang).  Oleh sebab itu, balala biasanya dilakukan kurang lebih satu minggu. Maka selama balala orang-orang tidak boleh keluar rumah atau berpergian kemana-mana dan orang juga dilarang untuk masuk kampung. Selain itu orang-orang juga dilarang makan makanan tertentu, misalnya sayur rebung dan dilarang membakar atau memakan belacan (terasi udang). Jika ada yang melanggar aturan balala tersebut maka dikenai sanksi adat.

Komentar saya dalam acara botopas ini, saya melihat ada beberapa aspek batiniah dan jasmaniah di dalamnya : dalam aspek batiniah ketika melaksanakan botopas saya merasa batin saya tenang, karena dengan dilaksanakannya balala saya akan terhindar dari penyakit yang mengancam diri saya. Tentu dalam balala dituntut dari pribadi masing-masing untuk jujur melaksanakan balala, karena jikalau tidak jujur maka akan dikenakan sanksi adat. Apabila tidak jujur kita akan membawa malapetaka terhadap kampung kita sendiri.

 Maka sangat dituntut kejujuran dari setiap pribadi masing-masing, karena dalam balala tidak ada yang mengawasi kita, karena kita berdiam diri di rumah. Justru dengan balala ini membantu kita untuk semakin beriman, karena banyak waktu bagi masyarakat untuk berefleksi dan berdoa. Kalau dalam aspek jasmaniah saya melihat balala sangat bagus, karena setiap anggota keluarga bisa berkumpul dan berkomunikasi dengan baik.

Secara tidak langsung dapat mempererat hubungan kekeluargaan. Dengan mampu menjalani balala dengan baik, maka penyakit yang ada dalam tubuh kita akan sembuh dan hilang dari tubuh kita. Sehingga membuat badan kita sehat, segar dan bersemangat.

Kebudayaan obyektif : "Rumah Betang" atau yang disebut dengan rumah panjang merupakan rumah khas sub suku Dayak Kalimantan Barat, secara khusus masyarakat Dayak Mayao. Bagi masyarakat Dayak Mayao rumah panjang memberikan makna tersendiri bagi penghuninya.  Rumah betang menjadi cerminan kehidupan masyarakat adat yang hidup penuh dengan rasa kekeluargaan.[3] Mengapa disebut rumah panjang? Karena rumah ini bentuknya memanjang. 

Panjang rumah ini ada mencapai 300 meter yang terdiri dari banyak bilik. Rumah Panjang ini merupakan tempat tinggal masyarakat Dayak zaman dahulu. Selain panjang, rumah ini juga tergolong memiliki ketinggian yang cukup tinggi atau berbentuk panggung. Rumah Panjang ini dibuat tinggi untuk menghindari binatang buas dan banjir. Pada masa itu masyarakat masih hidup di tengah hutan belantara. Maka untuk menjaga dari terkaman binatang buas rumah Panjang dibuat tinggi oleh masyarakat Dayak.[4]

Komentar saya: setelah saya melihat rumah betang disitu tampak sekali bahwa masyarakat Dayak Mayao itu menggunakan unsur pendidikan dalam pembuatan rumah betang. Hal tersebut tampak dari rumah panjang yang dibangun tinggi, supaya yang tinggal di dalamnya terhindar dari binatang buas. Dalam pembuatan rumah betang itu masyarakat Dayak Mayao menggunakan teknologi tradisional berupa mandau, kapak, dan diikat menggunakan akar-akar kayu atau rotan. 

Saya melihat dalam rumah betang masyarakat sangat menjunjung tinggi hidup sosial. Dalam melakukan setiap pekerjaan mereka selalu bergotong royong dan saling berbagi jika mendapat binatang hasil buruan. Sebagai pusat tempat tinggal masyarakat Dayak, maka berbagai kegiatan dilakukan di situ, misalnya pesta panen padi (nosu minu podi). Dalam pesta tersebut masyarakat melakukan doa-doa tradisonal. 

Dimana dalam doa tersebut mereka bersyukur kepada Ponompa (Tuhan) atas segala peristiwa hidup yang mereka alami. Selain berdoa mereka juga menghibur diri dengan tari-tarian di dalam rumah betang tersebut. Di rumah betang juga dilaksanakan adat istiadat seperti mengobati masyarakat yang sakit parah.

 

Kesimpulan

Manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Melalui kebudayaan manusia memanusiakan manusia dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam proses memanusiakan manusia ada dua aspek kebudayaan yang cukup mempengaruhi yakni kebudayaan subyektif dan kebudayaan obyektif. Kebudayaan subyektif merupakan proses humanisasi potensi-potensi yang ada dalam diri subyek, sedangkan kebudayaan obyektif merupakan proses materialisasi dari humanisasi. Kedua aspek tersebut dapat dilihat salah satunya dari kebudayaan Dayak Mayao.

Dayak Mayao merupakan salah satu  sub suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Sanggau. Dayak Mayao terdiri dari tujuh kampung yang saling berdekatan satu sama lain. Dalam kebudayaan Dayak Mayao kebudayaan subyektif dapat kita lihat dan temui ketika mereka melakukan acara Botopas. Botopas adalah acara pembersihan diri dari segala penyakit dan malapetaka. Sedangkan unsur kebudayaan obyektif dapat kita lihat pada Rumah Betang atau rumah panjang. Rumah panjang merupakan rumah induk atau tempat tinggal masyarakat Dayak Mayao pada jaman dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun