Hubungan Budaya Gotong-royong Masyarakat Dayak Mayau Pada Pendidikan Modern
Pendahuluan
Setiap tatanan kehidupan masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan. Demikianlah halnya dengan kebudayaan, kebudayaan mengalami perubahan akibat dari perkembangan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental bagi masyarakat. Perbedaan antara situasi pendidikan zaman dulu dan sekarang tentu sangat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat.Â
Dimana ilmu pengetahuan dalam hidup sehari-hari dulu jauh sekali berbeda, dibandingkan dengan ilmu pengetahuan sehari-hari di zaman modern sekarang. [1]Apa lagi bagi kita yang dilahirkan di zaman modern ini, dimana semua tatanan kehidupan masyarakat sudah dipengaruhi oleh teknologi modern. Akibatnya kita tidak lagi hidup bersosial, kita lebih cenderung mementingkan kepentingan diri kita sendiri. Dengan demikian semangat solidaritas (gotong-royong) dalam masyarakat sudah kita abaikan.
Hal demikian sangat terasa dalam kehidupan masyarakat Dayak. Dimana dalam masyarakat Dayak memiliki pola sosial gotong-royong sangat tinggi pada dasarnya. Semangat solidaritas dalam masyarakat Dayak tampak dalam kehidupan sehari-hari yang dijalani bersama-sama di rumah panjang.[2] Namun budaya gotong-royong itu, pada saat ini jauh mengalami penurunan. Masyarakat Dayak secara perlahan meninggalkan budaya gotong-royong di rumah panjang, sepeti menumbuk padi, menganyam tikar, dan kegiatan lainya.
Perubahan budaya gotong-royong tersebut terjadi setelah masyarakat Dayak sudah mulai membuka diri terhadap perkembangan zaman. Sebagaimana lazimnya yang terjadi pada masyarakat umumnya, masyarakat Dayak juga ingin berkembang dan berubah. Tentu perubahan yang diharapkan ialah supaya tetap memperhatikan hal yang tidak bertentangan dengan adat istiadat.[3] Dengan keterbukaan terhadap dunia luar, masyarakat Dayak secara perlahan mengenal dunia pendidikan.Â
Walaupun sebelumnya masyarakat Dayak sebenarnya sudah mengenal pendidikan. Pendidikan kala itu ialah kehidupan mereka sehari-hari, dimana para orang tua mengajarkan kepada anaknya bagaimana cara berladang, menganyam tikar, dan berburu.Â
Itulah ilmu pengetahuan pada masyarakat zaman dahulu dimana sekarang pengetahuan tersebut dinamakan pendidikan non formal. Pendidikan non formal tersebut tidak ada sama sekali mengubah semangat gotong-royong pada masyarakat Dayak. Malahan dengan pendidikan non formal itu solidaritas (gotong-royong) masyarakat Dayak semakin erat.
Dengan masuknya pendidikan Formal di kalangan masyarakat Dayak. Ajaran-ajaran yang mereka terima atau dapatkan di sekolah itu tentu banyak sekali membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat.Â
Pendidikan formal itu merupakan suatu proses pembentukan atau pengubahan tingkah laku seseorang melalui pengajaran dan pelatihan yang diberikan seseorang kepada orang lain.[4] Melalui proses pembentukan itu yang mengubah sikap kaum terdidik. Membuat memudarnya semangat gotong-royong yang selama ini dijalani. Masyarakat Dayak sudah mulai hidup sendiri-sendiri tidak memperhatikan lingkungan sosial lagi. Sehingga semangat gotong-royong itu sudah mulai menurun.
Pengertian pendidikan modern
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan diri baik secara sadar maupun tidak secara sadar. Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan diri, mengembangkan potensi, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan dalam diri. Dengan adanya pendidikan yang membawa orang pada perubahan taraf hidup. Dimana melalui pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan.[5] Pendidikan ada yang disebut dengan pendidikan formal dan ada juga pendidikan non formal.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai struktur yang sangat jelas dan berjenjang yang terdiri dari tingkat dasar, menengah, atas, dan universitas. Pendidikan formal ini terjadi dalam suatu bagunan atau gedung dimana didalamnya ada intraksi antara guru dan muridnya. Pendidikan formal merujuk kepada instansi sekolah yang terikat legalitas dan memiliki persyaratan yang cukup ketat. Pendidikan formal memiliki badan hukum untuk berdirinya sekolah tersebut.
Selain pendidikan formal ada juga pendidikan non formal, dimana pendidikan ini tidak terikat oleh badan hukum. Pendidikan non formal ini tidak di dalam gedung, melainkan pendidikan ini dapat diterima dimanapun kita berada. Pendidikan nonformal adalah dimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara teratur dan terarah diluar sekolah, da nada pihak yang menerima informasi.[6]
Suku Dayak
Suku Dayak adalah salah satu suku di Indonesia yang mendiami tanah pedalaman Kalimantan. Suku Dayak merupakan penduduk asli pulau Kalimantan yang secara keseluruhan didalamnya terdapat 405 sub suku. Salah satunya dari subsuku itu ialah  Dayak Mayau. Dayak Mayau ini terdapat di Kabupaten Sanggau, mereka menyebut diri Mayau saat bertemu dengan suku Dayak lainya atau dari golongan suku lain.[7]
Suku Dayak Mayau adalah salah satu sub suku Dayak yang ada di Kalimantan. Suku Dayak Mayau ini tidak terlalu dikenal luas oleh suku-suku lain, kerena suku Dayak Mayau ini hanya terdiri dari beberapa kampung. Suku Dayak Mayau hanya terdiri dari tujuh kampung yakni kampung Tobilai, Kadak, Kelompu, Lanong, Upe, dan Entiop, yang terletak di bagian timur Kecamatan Bonti,Kabupaten Sanggau. Selain itu suku Mayau juga ada di kampung Engkayuk yang bermukim di wilayah kecamatan Parindu. Dengan sedikitnya kampung ini yang membuat suku ini tidak di kenal banyak orang. [8]
Bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Mayau ini disebut bahasa Mayau. Bahasa kelompok suku Mayau ini banyak memperlihatkan kesamaan dengan bahasa kampung Sami, Tinying, Dosant, beberapa kelompok bahasa bidayuh lainya. Walaupun satu rumpun suku, bahasa setiap kampung dalam suku Dayak Mayau ini memiliki perbedaan penekanan dalam berbahasa. Namun saling mengerti satu sama lain.
Masyarakat Dayak pada umumnya mendiami daerah-daerah tepi Sungai Kapuas dan laut Kalimantan. Kedatangan suku lain yakni suku Melayu Sumatera dan Semenanjung Malaka mengakibatkan perpindahan pemukiman suku Dayak ke pegunungan.[9] Dulu sebelum pergeseran pemukiman ke daerah pegunungan orang Dayak juga disebut orang laut. Ini disebabkan mereka tinggal di daerah-daerah tepian sungai Kapuas. Namun setelah pergeseran pemukiman ke pegunungan masyarakat Dayak disebut dengan obih doih(orang darat).
Mata pencaharian masyarakat Dayak Mayau adalah mayoritasnya bertani. Dalam masa satu tahun masyarakat Mayau membuka lahan untuk berladang. Diladang itulah mereka mananam padi dan berbagi macam sayuran-sayuran. Selain itu sebagai pendapatan utama ialah perkebunan karet yang disebut Motong. Baru-baru ini masyarakat Bajau sudah mulai beralih ke perkebunan sawit.
Kepercayaan masyarakat Dayak bahwa Tuhan atau yang disebut dengan ponompa, dipercayakan sebagai yang menciptakan manusia. Kepercayaan mereka bahwa manusia diciptakan untuk hidup berdampingan. Oleh karena kepercayaan itu, masyarakat Dayak bergotong royong membangun rumah panjang dengan harapan supaya masyarakat Dayak ini dapat bersatu dalam satu ikatan kebudayaan.
Rumah Panjang
Rumah Panjang atau yang disebut dengan rumah Radangk merupakan rumah khas subsuku Dayak Kalimantan Barat. Mengapa disebut rumah panjang? Karena rumah ini bentuknya memanjang. Panjang rumah ini ada mencapai 300 meter yang terdidri dari banyak bilik[10]. Rumah Panjang ini merupakan tempat tinggal masyarakat Dayak zaman dahulu. Rumah Panjang ini dihuni banyak keluarga, setiap kepala keluarga memiliki satu bilik. Jadi rumah Panjang ini bisa dihuni banyak keluarga, biasanya mencapai puluhan kepala keluarga. Pada dasarnya semua yang tinggal di rumah Panjang adalah keluarga. Keluarga yang dimaksudkan disini adalah  keluarga hubungan  darah.
Dengan tinggal dirumah Panjang hal ini memberi makna tersendiri bagi masyarakat Dayak. Maknanya ialah supaya tetap terjalin persatuan dan kerukunan dalam hidup berkeluarga. Dengan tinggal dirumah Panjang semangat solidaritas (gotong-royong) sangat ditekankan. Dimana mereka saling membantu dan berbagi dalam hidup keseharian mereka.
Selain panjang, rumah ini juga tergolong memiliki ketinggian yang cukup tinggi atau berbentuk panggung. Rumah Panjang ini dibuat tinggi untuk menghindari binatang buas dan banjir. Dimana kala itu masyarakat masih hidup di tengah hutan belantara. [11] Maka untuk menjaga dari terkaman binatang buas rumah Panjang dibuat tinggi oleh masyarakat Dayak.
Bagi masyarakat Dayak rumah Panjang merupakan tempat berbagai aktivitas bagi masyarakat Dayak. Baik itu dalam aktivitas social, ekonomi, budaya, dan bahkan dalam masalah politik. Oleh sebab itu rumah Panjang merupakan sebagai pusat atau lambung kehidupan komunal yang harmonis bagi masyarakat Dayak. Â [12]
Solidaritas (Gotong Royong) Dalam dalam Budaya Suku DayakÂ
Solidaritas sangat erat kaitannya dengan rasa kebersamaan yang sering kita contohkan dengan gotong royong. Ada solidaritas kabiat dari adanya perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama. Dengan demikian solidaritas muncul karena adanya kesamaan nilai-nilai dalam setiap individu sehingga mereka memiliki kesadaran untuk tetap terus bersama.
Masyarakat Dayak memiliki pola sosial yakni semangat solidaritas yang sangat tinggi. Semangat solidaritas ini tampak dari kehidupan mereka sehari-hari yang mereka lakukan secara bersama-sama di rumah Panjang.[13] Lahirnya sikap solidaritas yang tinggi di rumah Panjang ini karena masyarakat mempunyai hubungan darah. Itu menjadi alasan mengapa rasa solidaritas itu sangat kuat. Selain dari semangat solidaritas yang kuat, mereka juga mempunyai semangat berbagi yang tinggi.
Solidaritas sosial yang lahir dari hubungan darah merupakan suatu ikatan atas dasar hormat dan kepercayaan terhadap satu sama lain. Hal demikian menyebabkan solidaritas itu tumbuh dan berkembang secara turun--temurun, bahkan sudah menjadi tradisi yang dipelihara kelestarianya. Dengan demikian setiap anggota masyarakat merasa bertanggung jawab dalam setiap kegiatan bersama sebagai wujud semangat gotong royong.
Selain dari hubungan darah, penyebab munculnya solidaritas juga lahir secara tidak langsung dari kehidupan sehari-hari di rumah Panjang. Melalui penghayatan atau diterapkan dalam hidup solidaritas itu dapat melekat dalam diri masing-masing orang yang tinggal di rumah Panjang.Â
Dengan demikian solidaritas tersebut menjadi identitas dari sub suku Dayak. Semangat solidaritas ini yang tidak banyak dimiliki oleh suku-suku di Indonesia. Maka sebagai orang Dayak perlu berbangga hati, karena kita sudah memperjuangkan nilai-nilai tersebut sebagai identitas kita sebagai orang-orang yang hidup dalam semangat bergotong royong.
Pengaruh Masuknya Pendidikan Modern pada Budaya Gotong RoyongÂ
Suku Dayak bisa dikatakan sebagai suku yang sedikit terbuka terhadap perkembangan zaman. Itu tampak pada saat ini dimana orang Dayak juga sudah mulai menjadi pemimpin daerah, baik itu menjadi DPR-RI, DPRD, Gubenur, Bupati, dan pimpinan-pimpinan strategis lainya. Dengan keterbukaan tersebut solidaritas dalam rumah Panjang sudah mulai menurun. Ketika pada masa orde baru masyarakat Dayak direlokasikan. Gerakan orde baru ini ialah merombak rumah panjang, dengan alasan bahwa hidup di rumah Panjang merupakan kehidupan yang kolot, tidak sehat, dan rawan kebakaran. Dengan perombakan itu jantung kebudayaan Dayak mengalami perubahan total.[14]
Masyarakat Dayak mulai mendirikan rumah tunggal atau pribadi. Mereka tidak lagi tinggal bersama dan komunal di rumah Panjang. Mereka mulai membentuk sebuah kampung dengan rumah terpisah-pisah dari setiap kepala keluarga. Melalui perubahan itu ada juga dari mereka yang memberanikan diri untuk tinggal atau menetap di kota-kota. Dari situlah penyebaran orang Dayak dimulai, sehingga seluruh pulau Kalimantan mereka diammi atau tempati.
Dengan adanya perubahan pola tempat tinggal tersebut, masyarakat Dayak mulai bersentuhan dengan dunia luar, baik dalam bidang agama, budaya dan di segala aspek kehidupan. Pembangunan yang kurang bijak oleh pemerintahan orde baru dan akibat persentuhan dengan budaya luar membuat masyarakat Dayak lebih individualitas. [15]Masyarakat Dayak sudah mulai mengikuti budaya luar, sehingga budaya gotong royong yang selama ini ditanamkan di rumah Panjang sudah mulai dilupakan, mereka asik pada diri mereka sendiri.
Beberapa masyarakat Dayak Mayau masih melestarikan adat dan kebiasaan-kebiasaan yang selama ini mereka lakukan secara bersama- sama di rumah panjang hingga saat ini, seperti berburu bersama di hutan, pergi ke ladang secara bersama-sama dan menumbuk padi bersama-sama di rumah Panjang. Akan tetapi, ada juga beberapa masyarakat Dayak Mayau yang khususnya menempati rumah tunggal dan jauh dari rumah panjang sudah jarang melakukan beberapa aktivitas seperti yang disebutkan di atas. Mereka melakukan segala sesuatu dengan sendiri-sendiri. Ada pula bentuk solidaritas lain yang dilakukan masyarakat Dayak yang jauh tinggal dari rumah panjang dengan melakukan perkumpulan arisan keluarga besar Dayak Mayau , dengan cara ini masyarakat Dayak dapat diingatkan dengan sistem kekerabatan yang pernah terjalin seperti dulu. [16]
Masyarakat sudah mulai menerima budaya-budaya luar yang dengan mudah mengubah segalanya. Dengan masuknya pendidikan modern masyarakat Dayak sudah banyak yang sekolah tinggi. Oleh sebab itu mereka mengubah apa yang selama ini mereka jalani. Dengan pendidikan yang tinggi tersebut taraf kehidupan masyarakat juga sudah berubah. Mereka tidak lagi bergantung pada lingkungan alam yang selama ini sudah mereka garap.
Dengan masuknya pendidikan modern masyarakat dengan mudah menerima informasi dari luar. Melalui informasi-informasi tersebut yang mengubah gaya hidup mereka. Dimana selama ini mereka hidup bersosial, sekarang mereka lebih individual. Mereka tidak lagi bersentuh dengan orang lain, bahkan anak-anak tidak pernah mendengar cerita-cerita rakyat dari orang tua. Itu dikarenakan setiap individu menutup diri mereka lebih asik pada dirinya sendiri.
Masuknya pendidikan modern juga mengubah mata pencarian masyarakat. Dimana selama ini mereka mencari nafkah bertumpu pada kekayaan alam. Namun kebiasaan-kebiasaan demikian secara perlahan mereka tinggalkan. Mereka lebih cenderung bekerja di perkantoran-perkantoran. Dimana mereka lebih mudah mendapatkan keuntungan dari situ. Masyarakat sudah banyak yang tidak lagi bertani, dimana bertani itu sebenarnya memupuk kebersamaan. Disitulah terjadi rasa gotong royongnya tinggi. Namun untuk mereka yang dilahirkan di zaman modern ini bertani merupakan sesuatu yang kolot.
Sehingga dengan masuknya budaya pendidikan modern pada masyarakat membawa masyarakat Dayak kepada individualitas. Dimana dengan kemajuan teknologi internet mereka dengan mudah mengakses segala sesuatu dari luar. Ini merupakan dampak dari globalisasi dunia saat ini, dimana budaya-budaya daerah sudah mengalami perubahan [17]. Dimana anak-anak Dayak sudah mulai tercandu oleh media elektronik. Timbulnya media komunikasi tersebut membuat masyarakat lebih mementingkan egonya sendiri. Mereka tidak lagi mempertahankan apa yang ditanamkan oleh para leluhur mereka.
Perubahan yang sangat dialami oleh masyarakat Dayak ialah pada media komunikasi. Dimana pada zaman dahulu alat komunikasi masyarakat Dayak Mayau ialah Gong. Gong merupakan alat yang digunakan masyarakat Dayak Mayau untuk mengumpul masyarakat kampung.Â
Dengan membunyikan gong saja masyarakat sudah tau apa yang akan terjadi. Maka cara membunyikan gong juga tidak sembarangan. Namun dengan masuknya pendidikan modern masyarakat secara perlahan tidak lagi menggunakan alat itu, mereka lebih menggunakan handphone. Maka anak-anak sekarang sudah jarang sekali mendengarkan bunyi gong lagi. Dengan adanya handphone juga membuat masyarakat jarang sekali berkumpul bersama lagi di rumah Panjang untuk bercerita mengenai hasil pertanian dan hasil buruan.
Selain dari media komunikasi, perubahan yang dialami oleh masyarakat Dayak adalah pada model pakaian. Masyarakat sudah mulai mengikuti model pakaian budaya luar yang mereka lihat melalui media social. Mereka cenderung tampil mengenakan pakain-pakain yang tidak senonoh dipandang mata atau menurunnya budaya sopan santun dalam berpakaian. Dimana para leluhur mereka dahulu sangat menjunjung tinggi rasa sopan santun tersebut dengan menjaga kemurnian tubuh dengan berpakaian yang rapi dan menutupi bagian-bagian yang dianggap tabu atau sacral. Namun setelah mengenal dan terjun ke dunia modern para generasi muda cenderung tidak lagi mengindahkan apa yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka.
Mereka mengikuti cara berpakaian budaya-budaya luar yang menggunakan pakaian yang seksi-seksi. Dimana hal itu sekarang sudah dianggap hal yang biasa oleh masyarakat akabit dari perkembangan zaman. Masyarakat tidak mampu lagi untuk menjaga apa yang selama ini ditanamkan oleh nenek moyang mereka. Mereka menganggap tradisi-tradisi zaman dahulu itu sangat kolot. Perubahan tersebut akibat dari pergaulan dengan budaya luar, dimana anak-anak zaman sekarang malu mengakui budaya mereka. Sehingga mereka tertarik akan budaya luar.
Generasi zaman sekarang tidak mau lagi mendengar nasihat-nasihat dari orang tua, itu tampak dalam kurangnya rasa mendengarkan orang lain. Mereka tidak mau lagi ikut berkumpul di tengah masyarakat. Mereka cenderung menutup diri, sehingga budaya gotong royong itu jarang sekali terjadi. Dimana pada saat ini budaya gotong royong itu sudah berubah maknanya. Gotong royong bukan lagi sebagai budaya saling membantu satu sama lain, melainkan budaya gotong royong membantu dengan adanya imbalan, tanpa adanya imbalan atau upah maka orang tidak mau bekerja sama lagi.Â
Relevansi budaya gotong royong masyarakat Dayak pada pendidikan Modern
Suku Dayak merupakan sub suku yang mendiami pulau Kalimantan. Dimana suku ini sangat menjunjung tinggi nilai budaya gotong royong yang mereka alami di rumah Panjang. Rumah Panjang merupakan pusat perkumpulan masyarakat Dayak pada zaman dahulu. Dalam rumah Panjang itulah mereka melakukan segala aktivitas bersama. Solidaritas sangat terjalin dalam kehidupan rumah Panjang, dimana mereka masih ada hubungan darah. Sehingga rasa kebersamaan itu dapat terus-menerus mereka hidupkan.
Namun setelah masuknya pendidikan modern, dimana pendidikan ini membentuk karakter masyarakat dan menambah pengetahuan masyarakat. Sehingga tarap kehidupan masyarakat berubah. Maka dengan semakin tingginya pendidikan masyarakat, maka semakin berubah pola dan taraf hidup masyarakat. Dengan masuknya pendidikan tersebut membuat masyarakat Dayak secara perlahan mengubah pandangan mereka selama ini. Maka masyarakat Dayak tidak lagi berpegang teguh pada tradisi zaman dahulu, dimana budaya gotong royong sangat dijunjung tinggi. Namun setelah masuknya pendidikan modern budaya gotong royong tersebut mulai memudar akibat dari perkembangan zaman.
Dengan perubahan-perubahan dan masuknya budaya luar, sangat dituntut bagi kita masyarakat Dayak agar tetap melestarikan budaya leluhur kita. Masyarakat Dayak bisa saja menerima perubahan zaman, tapi ada beberapa hal yang harus tetep kita pertahankan. Misalnya budaya gotong royong yang selama ini sudah jarang kita lakukan. Dengan perkembangan zaman ini dituntut dari kita pribadi harus menjaga tradisi-tradisi kita. Kita diajak untuk tidak malu mengakui kebudayaan kita. Justru dengan alat yang canggih ini kita bisa memamerkan atau mempublikasikan kebudayaan-kebudayaan kita kepada publik.
Daftar Pustaka
Ilmu pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, diterjemahkan oleh Dr. K. Bertens. Jakarta: PT Â Â Â Gramedia, 1985.
Lubis, A.A.A. Mas Rabbini dan Runtu, Natasha Gloria, Generasi Muda Dayak Kanayatn. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Yogyakarta: CV Bintang Surya Madani, 2020.
Safari, Agus dan Nugroho, Kandung Sapto ( ed, ). Perubahan Sosial Sebuah Bunga Rampai. Â Â Â Serang: FISIP Untirta, 2011.
Arifin, Zainal, Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Sahabat Pena Kita, 2020.
Rahmat, Abdul. Manajemen Pemberdayaan Pada Pendidikan Nonformal. Gorontalo: Ideas      Publishing, 2018.
Purwana, Bambang, H. Identitas dan Aktualisasi Budaya; Dayak Kanayatn Di Kabupaten       Landak Kalimantan Barat. Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Filem     Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.
Alloy, Sujarni. Albertus, dan Istiyani, Chatarina Pancer. Mozaik Dayak Keberagaman    Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut    Dayakologi, 2018.
Ali, Mahmud Jauhari. Mengenal Rumah Tradisional di Kalimantan. Jawa Timur: Badan   Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2017.
Mansyur, Fakih. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press, Â Â Â Â Â 2011.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI