Mohon tunggu...
Agustinus Daniel
Agustinus Daniel Mohon Tunggu... -

Credo ut Intelligam - Aku percaya maka aku mengerti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Panggilan Profetik (1)

5 Agustus 2016   17:04 Diperbarui: 5 Agustus 2016   19:24 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini adalah transkrip dari salah satu video seri Meditasi Yesus.

Video dapat dilihat DISINI

Setiap kali kita berdoa Bapa Kami, kita mengucapkan kata-kata ini, “..datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga...” Tuhan menghendaki hadirnya kerajaan Allah sehingga kehidupan di bumi menjadi seperti di dalam surga. Dan melalui Meditasi Yesus, kita dipanggil untuk ikut mewujudkan masa depan peradaban baru ini, itulah panggilan profetikkita. 

Panggilan ini menjadi sangat mendesak jika kita melihat kehidupan di dunia semakin jauh dari gambaran Kerajaan Allah. Berbagai krisis muncul dimana-mana di seluruh dunia, mulai dari krisis lingkungan, krisis pangan, krisis energi, krisis sumber daya alam, krisis ekonomi, hingga berbagai konflik bersenjata. Semua bergabung menjadi satu membentuk sebuah krisis peradaban yang amat kompleks. Sepertinya, arah peradaban manusia berjalan bertolak belakang dari kehendak Tuhan. 

Berbagai solusi sudah diupayakan, mulai dari kepedulian terhadap lingkungan, hingga upaya-upaya pengendalian populasi. Tetapi sayang sekali upaya ini masih jauh dari harapan, apalagi sebagian pendekatan yang digunakan bertentangan dengan iman dan moral. Misalnya penggunaan kontrasepsi, legalisasi aborsi dan juga legalisasi perkawinan sesama jenis yang dimaksudkan sebagai bagian dari upaya pengendalian populasi. Akibatnya upaya solusi yang dilakukan malah menambah banyak masalah baru. Ini akibat dari solusi yang tidak menyentuh akar masalah. 

Lalu dimana akar masalah dari krisis peradaban ini? 

Akar permasalahannya bisa ditarik jauh ke belakang saat manusia pertama jatuh ke dalam dosa. Tapi supaya tidak terlalu panjang kita akan mulai dari suatu jaman yang disebut kaum sekuler sebagai jaman pencerahan. 

Saat itu orang mulai meninggalkan ajaran Gereja dan beralih ke pemikiran-pemikiran humanis serta liberal. Ajaran Gereja yang menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan mulai digantikan dengan gagasan-gagasan sekuler yang menempatkan manusia sebagai pusat hidupnya sendiri. Manusia-manusia yang hidup demi kemuliaan Tuhan digantikan dengan manusia-manusia yang hanya mencari pemenuhan kebutuhan/keinginan duniawi dan mencari aktualisasi diri. 

Kemudian pada abad 18 dunia memasuki era revolusi industri. Revolusi industri ditandai dengan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi murah yang memicu pertumbuhan dunia industri. Mulai sejak saat itu peradaban manusia mengalami perubahan fisik yang sangat signifikan. 

Gabungan antara keserakahan manusia yang semakin jauh dari Tuhan dan tersedianya energi murah memacu dunia industri untuk terus memproduksi barang-barang material, mengeksploitasi alam semaksimal mungkin, dan menimbulkan beragam polusi. 

Dan ada satu hal penting yang merupakan dampak signifikan dari revolusi industri: ketergantungan manusia pada Tuhan semakin hilang. 

Akibatnya, manusia tidak lagi hidup menurut kehendak Tuhan, tapi terus mengikuti keinginan-keinginan duniawinya yang tak pernah terpuaskan. Dengan hidup seperti ini manusia memang memperoleh banyak hal, tapi mulai kehilangan jiwanya. 

Dulu, dampak buruk dari revolusi industri seperti masalah polusi, kerusakan lingkungan serta keterbatasan sumber daya alam belum terpikirkan. Tapi sekarang semuanya terakumulasi menjadi masalah besar dan menimbulkan krisis yang kompleks. 

Celakanya, manusia terlanjur nyaman dan sulit melepaskan diri dari kehidupan dunia modern yang terus menimbulkan dampak buruk. 

Inilah buah pahit yang harus kita terima dari semangat materialistis manusia-manusia modern yang telah memilih untuk meninggalkan Tuhan demi kesenangan dan kemudahan hidup duniawi. 

Jadi akar permasalahan sebenarnya ada pada manusia yang semakin jauh meninggalkan Tuhan. 

Ironisnya, dalam mencari solusi manusia modern menolak melihat ini sebagai sumber masalah. Akibatnya, seperti dokter yang salah mendiagnosa penyakit, obat-obatan yang diberikan hanya meringankan beberapa gejala dan bersifat sementara, sedangkan penyakitnya sendiri tidak tersentuh dan makin mengancam jiwa... Seperti itulah yang terjadi saat ini. 

Tuhan pasti menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Untuk memahami bagaimanakah manusia seharusnya menjalani kehidupan dan membangun peradabannya di dunia, kita perlu memahami untuk apa dunia dan seluruh isinya diciptakan Tuhan. Itu kuncinya... 

Kita mulai dengan pertanyaan yang sangat mendasar: mengapa ciptaan ini ada dan bukannya tidak ada? 

Tuhan kita adalah Allah Tritunggal yang hidup kekal dan tercukupi pada Diri-Nya sendiri, karenanya Allah Tritunggal tidak membutuhkan ciptaan. Ada ciptaan ataupun tidak, sama baiknya bagi Tuhan. Tapi atas kehendak bebas-Nya sendiri Ia telah mengadakan ciptaan untuk mengekspresikan seluruh kemuliaan-Nya. Bersyulurlah kepada Tuhan karena Dia telah memilih untuk mengadakan ciptaan sehingga kita ada! 

Ini dapat dianalogikan seperti seorang pelukis yang mapan, ia tidak perlu membuat lukisan untuk dijual demi kebutuhan hidupnya. Meskipun demikian ia tetap melukis, bukan karena perlu uang, melainkan karena ia ingin mengekspresikan rasa seninya dalam lukisan. 

Demikianlah Tuhan kita menciptakan segala sesuatu karena Ia ingin mengekspresikan kemuliaan-Nya dalam ciptaan. 

Agar dapat menjadi ekspresi dari kemuliaan-Nya yang sempurna, Tuhan menciptakan manusia sebagai citra-Allah. Itulah ciptaan tertinggi yang dapat dibuat Tuhan karena Dia tidak mungkin membuat ciptaan yang lebih baik dari citra-Nya sendiri. Sementara itu, dunia dan segala isinya diciptakan agar manusia sebagai citra-Allah dapat hidup di dalamnya demi kemuliaan Tuhan. 

Dalam Kitab Kejadian tertulis demikian: 

TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (Kej.2:15) 

Manusia diciptakan untuk menjadi ekspresi kemuliaan Tuhan. Sedangkan bumi dan segala isinya diciptakan agar manusia dapat hidup di dalamnya demi kemuliaan Tuhan. 

Dengan demikian manusia harus mengusahakan dan merawat alam dan lingkungan dengan baik demi kemuliaan Tuhan. Bukan bagi kepentingan manusia saja atau demi kelestarian alam itu sendiri. Jadi semboyan kita adalah “muliakan Tuhan”, bukan “selamatkan bumi”! 

Dengan memahami ini, kita tahu bahwa peradaban manusia modern yang semakin meninggalkan Tuhan, bukanlah kehidupan di bumi yang dirancang Tuhan pada mulanya. Tidak perlu heran jika peradaban seperti itu hanya menimbulkan masalah demi masalah yang akhirnya terakumulasi menjadi krisis. Segala hal yang dipergunakan atau diperlakukan tidak sesuai tujuannya pasti akan bermasalah, jika tidak sekarang, pasti di kemudian hari. 

Maka, semangat kepedulian manusia pada alam yang terbaik sekalipun tidak akan ada artinya selama manusia tidak peduli pada Tuhan! 

Deo Gratias!

http://meditasiyesus.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun