Josefa kemudian mengatur sesi-sesi pelatihan tambahan. "Hari ini kita akan membahas penggunaan sensor kelembaban tanah," kata Josefa dalam salah satu sesi pelatihan. "Ini penting untuk memastikan tanaman mendapat cukup air tanpa memboroskan sumber daya."
Salah satu petani mengangkat tangan. "Bagaimana cara kita membaca data dari sensor ini, Bu Josefa?"
Teguh menjawab sambil menunjukkan alatnya. "Lihat di sini, data kelembaban tanah ditampilkan dalam angka. Jika angka di bawah 40%, berarti tanah butuh air."
Selain aspek teknis, mereka juga fokus pada pendekatan sosial dan budaya. "Kita perlu merancang kampanye penyuluhan yang lebih luas," kata Didimus. "Tidak hanya untuk petani, tapi juga untuk generasi muda dan perempuan di kampung."
Josefa setuju. "Kita harus memastikan semua orang di komunitas ini terlibat dan mendapat manfaat dari pengetahuan baru ini."
"Baiklah, kita bisa mulai dengan program pelatihan di sekolah-sekolah dan pertemuan ibu-ibu PKK," usul Teguh.
Dengan langkah-langkah ini, Josefa, Didimus, dan Teguh yakin bahwa mereka sedang mengembangkan pendekatan yang lebih matang dan berkelanjutan dalam pertanian di Kampung Tabonji. Revisi metode mereka merupakan bukti komitmen mereka untuk terus belajar, beradaptasi, dan berinovasi demi kesejahteraan dan keberlanjutan lingkungan di Pulau Kimaam.
"Ayo kita buktikan bahwa kerja keras kita ini membawa perubahan nyata," kata Josefa penuh semangat.
"Kita pasti bisa," jawab Didimus dan Teguh serempak.
Setelah merevisi metode pertanian mereka berdasarkan evaluasi lapangan dan umpan balik dari masyarakat serta sesepuh-sesepuh kampung, Josefa, Didimus, dan Teguh memutuskan untuk melanjutkan dengan eksperimen kedua mereka di ladang pertanian di Kampung Tabonji. Eksperimen ini menjadi langkah berikutnya dalam upaya mereka untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pertanian dengan memadukan pengetahuan tradisional dan teknologi modern.