Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merajut Kain Kehidupan: Harmoni Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

12 Desember 2024   05:25 Diperbarui: 12 Desember 2024   05:42 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat Timur memandang masa depan sebagai kelanjutan dari siklus kehidupan yang dipengaruhi oleh karma masa lalu dan masa kini. Dalam Hindu, masa depan diarahkan pada pencapaian moksha (pembebasan), sementara dalam Buddha, tujuannya adalah nirvana (bebas dari penderitaan). Sri Aurobindo dalam The Life Divine (1914) menegaskan bahwa masa depan adalah peluang untuk mencapai harmoni melalui perjalanan spiritual, dan Dhammapada mengingatkan bahwa pikiran saat ini membentuk kehidupan esok. Masa depan, dalam filsafat Timur, bukanlah tujuan terpisah melainkan hasil kehidupan bijaksana yang dijalani di masa kini.

Dalam filsafat Barat, masa depan dipandang sebagai kesempatan untuk berkembang dan mencapai kemajuan, seperti yang diungkapkan Immanuel Kant dan John Stuart Mill. Kant melihat masa depan sebagai perjalanan umat manusia menuju perdamaian abadi (Idea for a Universal History with a Cosmopolitan Purpose, 1784). Sementara Mill menekankan pentingnya kebebasan dan inovasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik (On Liberty,1859). Soren Kierkegaard dari aliran eksistensialisme memandang masa depan sebagai panggilan untuk hidup dengan harapan dan keberanian, menegaskan bahwa harapan adalah hasrat untuk mencapai sesuatu yang mungkin (The Sickness Unto Death, 1849). Perspektif ini menjadikan masa depan sebagai pendorong bagi manusia untuk berinovasi, merencanakan, dan mewujudkan nilai-nilai moral serta kemajuan.

Dalam pandangan Gereja Katolik, masa depan memiliki dimensi eskatologis, yakni harapan akan keselamatan dan kehidupan kekal bersama Allah. Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa pengharapan Kristen bertumpu pada kebangkitan Kristus dan penggenapan janji-janji-Nya (KGK 1817). Paus Benediktus XVI dalam Spe Salvi (2007) menegaskan bahwa masa depan bagi orang Kristen bukan hanya di dunia ini tetapi juga berakar pada kepastian kebangkitan. Santo Agustinus menekankan bahwa iman adalah mempercayai hal yang belum terlihat, dengan imbalan berupa keyakinan akan masa depan kekal. Harapan ini memberikan kekuatan bagi umat untuk menghadapi tantangan hidup dengan percaya pada kasih Allah.

Hubungan Dinamis antara Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

Dalam ajaran filsafat Timur, khususnya konsep karma Hindu dan Buddha, masa lalu membentuk dasar bagi kehidupan di masa kini, sementara tindakan masa kini menentukan masa depan. Thich Nhat Hanh (1975) menulis: "Masa lalu sudah berlalu, dan masa depan belum tiba. Namun, jika dilihat lebih dalam, kita melihat bahwa masa depan tercipta dari masa kini, dan masa kini tercipta dari masa lalu." Ajaran ini menunjukkan bahwa tindakan dan pengalaman di masa lalu memengaruhi kondisi batin dan tindakan saat ini, yang pada gilirannya membentuk potensi masa depan.

Dalam filsafat Barat, hubungan antara ketiga masa ini sering dianalisis melalui pendekatan historis dan eksistensial. George Santayana (1905) menyatakan, "Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya." Ia menekankan pentingnya refleksi terhadap masa lalu untuk membuat keputusan yang bijaksana di masa kini dan menghindari kesalahan di masa depan. Dalam konteks eksistensialisme, Martin Heidegger (1927) menjelaskan bahwa manusia hidup dalam keberadaan yang selalu melibatkan masa lalu, kini, dan masa depan: "Menjadi-menuju-kematian adalah jalan menuju keaslian, menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan."

Gereja Katolik mengajarkan bahwa waktu adalah ciptaan Allah yang menuntun manusia kepada keselamatan. Masa lalu adalah kesempatan untuk bertobat, masa kini untuk hidup dalam rahmat, dan masa depan untuk menantikan pemenuhan janji Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Tertio Millennio Adveniente (1994) menulis: "Waktu adalah anugerah Tuhan, di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan menyatu sebagai satu kontinum di bawah pemeliharaan Tuhan." Ajaran ini menekankan pentingnya memahami hubungan ketiga masa untuk menjalani hidup yang selaras dengan kehendak Allah. 

Hubungan dinamis antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dapat diibaratkan seperti proses menenun kain kehidupan. Setiap benang masa memiliki perannya. Masa lalu: Fondasi kain, menyumbangkan pola dan tekstur awal. Masa kini: Tangan penenun yang bekerja di setiap momen, memilih warna dan bentuk benang untuk melanjutkan pola. Masa depan: Rancangan akhir yang menjadi visi dan motivasi, membimbing penenun untuk menyelesaikan karya dengan harmonis.

Dalam filsafat Timur, Taoisme melalui Laozi menjelaskan hubungan ini dengan metafora air: "Yang lembut mengalahkan yang keras, yang lambat mengalahkan yang cepat. Biarkan hidup terbentang seperti sungai yang mengalir, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dengan mulus" (Tao Te Ching, sekitar 4 SM). Air mengalir tanpa henti, seperti benang yang terus dijalin. Masa lalu membawa aliran menuju masa kini, dan masa kini mengarahkan ke masa depan.

Dalam filsafat Barat, analogi kain kehidupan ini dapat ditemukan dalam karya Friedrich Nietzsche. Ia menulis tentang "eternal recurrence" (kekambuhan abadi) sebagai pola tak terpisahkan dalam waktu: Jam pasir abadi dari keberadaan dibalikkan lagi dan lagi, dan Anda bersamanya, sebutir pasir dalam tatanan kehidupan" (The Gay Science, 1882). Ia melihat waktu sebagai siklus yang terus berulang, membentuk pola yang tidak terpisahkan antara masa lalu, kini, dan masa depan.

Pandangan Gereja Katolik tentang kain kehidupan dapat dirujuk pada Santa Thrsa dari Lisieux, yang menulis tentang waktu sebagai benang yang dijahit oleh kasih Allah: "Waktu bagaikan seutas benang, menenun hari-hari kita menjadi permadani kasih karunia, setiap saat menjadi jahitan yang dipandu oleh Sang Penenun Ilahi"  (Story of a Soul, 1898). Tapestri kehidupan ini mencerminkan bagaimana masa lalu, kini, dan masa depan diikat oleh tangan Allah dalam kasih-Nya yang kekal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun