Waktu adalah benang tak kasat mata yang merajut setiap momen kehidupan manusia, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam pola yang kaya dan penuh makna. Ketiganya saling memengaruhi: masa lalu sebagai fondasi, masa kini sebagai titik fokus, dan masa depan membawa harapan serta motivasi. Dalam filsafat Timur, waktu dipandang sebagai siklus abadi di mana setiap tindakan saat ini dipengaruhi oleh masa lalu dan membentuk masa depan. Sebaliknya, filsafat Barat melihat waktu secara linear, dengan sejarah sebagai pelajaran dan masa depan sebagai tujuan, sementara Gereja Katolik menambahkan dimensi transenden, bahwa masa lalu diwarnai oleh dosa dan rahmat, masa kini menjadi kesempatan untuk bertemu Allah, dan masa depan membawa harapan kehidupan kekal. Artikel ini berusaha menggali keterkaitan dinamis ketiga masa tersebut dari perspektif filsafat Timur, filsafat Barat, dan Gereja Katolik untuk membantu kita menjalani hidup dengan kesadaran dan kebijaksanaan yang lebih mendalam.
Masa Lalu, Fondasi Kehidupan
Filsafat Timur, khususnya ajaran Hindu dan Buddha, memandang masa lalu sebagai penentu kehidupan sekarang melalui konsep karma, yaitu tindakan di masa lalu yang membentuk nasib di masa kini. Sarvepalli Radhakrishnan dalam Indian Philosophy (1927) menjelaskan, "Karma adalah pernyataan karakter etis dari alam semesta, menunjukkan keterkaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan." Dalam tradisi Buddha, karma juga dipahami sebagai sarana pembelajaran, sebagaimana Thch Nht Hnh dalam The Heart of the Buddha's Teaching (1998) menyatakan, "Memahami masa lalu adalah kunci untuk mengubah masa kini dan menciptakan masa depan yang lebih baik."
Dalam filsafat Barat, masa lalu dianggap sebagai guru yang memberikan pelajaran berharga. George Santayana dalam The Life of Reason (1905) menyatakan, "Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya." Refleksi terhadap sejarah memungkinkan manusia belajar dari kesalahan dan merancang kehidupan yang lebih baik. Ralph Waldo Emerson dalam Self-Reliance and Other Essays (1841) menekankan bahwa nilai masa lalu terletak pada bagaimana manusia menggunakannya untuk membentuk kehidupan kini. Ia menyatakan, "Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di depan kita adalah hal yang sangat kecil dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita."
Dalam Gereja Katolik, masa lalu memiliki makna mendalam karena berkaitan dengan kisah penciptaan, kejatuhan manusia, dan penebusan. Dosa asal dilihat sebagai bagian dari sejarah manusia, tetapi rahmat Kristus menebus masa lalu ini, menawarkan peluang untuk memperbaiki hubungan dengan Allah (KGK 388-389). Dengan demikian, refleksi atas masa lalu menjadi sarana untuk mengalami rahmat Allah. Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth (2007) menyatakan, "Tradisi adalah sungai yang hidup yang menghubungkan kita dengan asal-usul, sumber iman kita." Dengan mempelajari tradisi Gereja, umat Katolik dapat memahami makna masa lalu dan membangun iman yang lebih kokoh. Santo Agustinus dalam Confessions (397) menambahkan bahwa sejarah dosa dan rahmat membantu manusia mencari kedamaian dan tujuan hidup. Ia menulis, "Hati kami gelisah sampai kami bersandar pada-Mu."
Dengan demikian, baik filsafat Timur, filsafat Barat, maupun Gereja Katolik menekankan pentingnya masa lalu sebagai fondasi pembelajaran. Ketiga pandangan ini menegaskan bahwa memahami masa lalu, baik sebagai karma, refleksi historis, maupun tradisi iman, memberikan manusia kesempatan untuk memperbaiki diri, membangun kehidupan kini, dan menciptakan masa depan yang lebih bermakna.
Masa Kini, Titik Fokus
Dalam filsafat Timur, khususnya tradisi Buddha dan Zen, masa kini dianggap sebagai momen paling penting karena hanya di waktu inilah kehidupan berlangsung. Konsep mindfulness atau kesadaran penuh menjadi inti ajaran ini, sebagaimana Thch Nht Hnh dalam The Miracle of Mindfulness (1975) menegaskan, "Saat ini adalah satu-satunya waktu di mana kita memiliki kekuasaan." Praktik mindfulness melibatkan perhatian penuh terhadap setiap tindakan dan pikiran, membebaskan manusia dari beban masa lalu atau kecemasan masa depan. Ajaran ini, yang berakar pada Satipatthana Sutta, tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga menjadi cara efektif menghadapi tantangan hidup, mengurangi stres, dan menemukan kedamaian.
Dalam filsafat Barat, terutama eksistensialisme, masa kini dilihat sebagai waktu bagi individu untuk bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya. Jean-Paul Sartre dalam Existentialism is a Humanism (1946) menyatakan, "Manusia tidak lain adalah apa yang dia buat dari dirinya sendiri," menekankan kebebasan sekaligus tanggung jawab untuk menciptakan makna hidup. Martin Heidegger dalam Being and Time (1927) melihat masa kini sebagai momen kesadaran akan keberadaan manusia, mengajak manusia untuk bertindak secara otentik dan hidup dengan kesadaran penuh terhadap eksistensinya di dunia.
Dalam pandangan Gereja Katolik, masa kini adalah waktu di mana Allah hadir secara nyata dalam kehidupan manusia. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menekankan pentingnya mengenali kehadiran Allah di saat ini, mengundang umat untuk merespons dengan iman, pengharapan, dan kasih. Masa kini dianggap sebagai anugerah yang memungkinkan pertobatan, penerimaan rahmat, dan pertumbuhan dalam kasih (KGK 1430-1432). Dengan hidup dalam rasa syukur dan iman, umat Katolik diajak memanfaatkan masa kini sebagai kesempatan untuk mendekat kepada Allah.
Masa Depan, Motivasi dan Harapan
Filsafat Timur memandang masa depan sebagai kelanjutan dari siklus kehidupan yang dipengaruhi oleh karma masa lalu dan masa kini. Dalam Hindu, masa depan diarahkan pada pencapaian moksha (pembebasan), sementara dalam Buddha, tujuannya adalah nirvana (bebas dari penderitaan). Sri Aurobindo dalam The Life Divine (1914) menegaskan bahwa masa depan adalah peluang untuk mencapai harmoni melalui perjalanan spiritual, dan Dhammapada mengingatkan bahwa pikiran saat ini membentuk kehidupan esok. Masa depan, dalam filsafat Timur, bukanlah tujuan terpisah melainkan hasil kehidupan bijaksana yang dijalani di masa kini.
Dalam filsafat Barat, masa depan dipandang sebagai kesempatan untuk berkembang dan mencapai kemajuan, seperti yang diungkapkan Immanuel Kant dan John Stuart Mill. Kant melihat masa depan sebagai perjalanan umat manusia menuju perdamaian abadi (Idea for a Universal History with a Cosmopolitan Purpose, 1784). Sementara Mill menekankan pentingnya kebebasan dan inovasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik (On Liberty,1859). Soren Kierkegaard dari aliran eksistensialisme memandang masa depan sebagai panggilan untuk hidup dengan harapan dan keberanian, menegaskan bahwa harapan adalah hasrat untuk mencapai sesuatu yang mungkin (The Sickness Unto Death, 1849). Perspektif ini menjadikan masa depan sebagai pendorong bagi manusia untuk berinovasi, merencanakan, dan mewujudkan nilai-nilai moral serta kemajuan.
Dalam pandangan Gereja Katolik, masa depan memiliki dimensi eskatologis, yakni harapan akan keselamatan dan kehidupan kekal bersama Allah. Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa pengharapan Kristen bertumpu pada kebangkitan Kristus dan penggenapan janji-janji-Nya (KGK 1817). Paus Benediktus XVI dalam Spe Salvi (2007) menegaskan bahwa masa depan bagi orang Kristen bukan hanya di dunia ini tetapi juga berakar pada kepastian kebangkitan. Santo Agustinus menekankan bahwa iman adalah mempercayai hal yang belum terlihat, dengan imbalan berupa keyakinan akan masa depan kekal. Harapan ini memberikan kekuatan bagi umat untuk menghadapi tantangan hidup dengan percaya pada kasih Allah.
Hubungan Dinamis antara Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Dalam ajaran filsafat Timur, khususnya konsep karma Hindu dan Buddha, masa lalu membentuk dasar bagi kehidupan di masa kini, sementara tindakan masa kini menentukan masa depan. Thich Nhat Hanh (1975) menulis: "Masa lalu sudah berlalu, dan masa depan belum tiba. Namun, jika dilihat lebih dalam, kita melihat bahwa masa depan tercipta dari masa kini, dan masa kini tercipta dari masa lalu." Ajaran ini menunjukkan bahwa tindakan dan pengalaman di masa lalu memengaruhi kondisi batin dan tindakan saat ini, yang pada gilirannya membentuk potensi masa depan.
Dalam filsafat Barat, hubungan antara ketiga masa ini sering dianalisis melalui pendekatan historis dan eksistensial. George Santayana (1905) menyatakan, "Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya." Ia menekankan pentingnya refleksi terhadap masa lalu untuk membuat keputusan yang bijaksana di masa kini dan menghindari kesalahan di masa depan. Dalam konteks eksistensialisme, Martin Heidegger (1927) menjelaskan bahwa manusia hidup dalam keberadaan yang selalu melibatkan masa lalu, kini, dan masa depan: "Menjadi-menuju-kematian adalah jalan menuju keaslian, menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan."
Gereja Katolik mengajarkan bahwa waktu adalah ciptaan Allah yang menuntun manusia kepada keselamatan. Masa lalu adalah kesempatan untuk bertobat, masa kini untuk hidup dalam rahmat, dan masa depan untuk menantikan pemenuhan janji Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Tertio Millennio Adveniente (1994) menulis: "Waktu adalah anugerah Tuhan, di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan menyatu sebagai satu kontinum di bawah pemeliharaan Tuhan." Ajaran ini menekankan pentingnya memahami hubungan ketiga masa untuk menjalani hidup yang selaras dengan kehendak Allah.
Hubungan dinamis antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dapat diibaratkan seperti proses menenun kain kehidupan. Setiap benang masa memiliki perannya. Masa lalu: Fondasi kain, menyumbangkan pola dan tekstur awal. Masa kini: Tangan penenun yang bekerja di setiap momen, memilih warna dan bentuk benang untuk melanjutkan pola. Masa depan: Rancangan akhir yang menjadi visi dan motivasi, membimbing penenun untuk menyelesaikan karya dengan harmonis.
Dalam filsafat Timur, Taoisme melalui Laozi menjelaskan hubungan ini dengan metafora air: "Yang lembut mengalahkan yang keras, yang lambat mengalahkan yang cepat. Biarkan hidup terbentang seperti sungai yang mengalir, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dengan mulus" (Tao Te Ching, sekitar 4 SM). Air mengalir tanpa henti, seperti benang yang terus dijalin. Masa lalu membawa aliran menuju masa kini, dan masa kini mengarahkan ke masa depan.
Dalam filsafat Barat, analogi kain kehidupan ini dapat ditemukan dalam karya Friedrich Nietzsche. Ia menulis tentang "eternal recurrence" (kekambuhan abadi) sebagai pola tak terpisahkan dalam waktu: Jam pasir abadi dari keberadaan dibalikkan lagi dan lagi, dan Anda bersamanya, sebutir pasir dalam tatanan kehidupan" (The Gay Science, 1882). Ia melihat waktu sebagai siklus yang terus berulang, membentuk pola yang tidak terpisahkan antara masa lalu, kini, dan masa depan.
Pandangan Gereja Katolik tentang kain kehidupan dapat dirujuk pada Santa Thrsa dari Lisieux, yang menulis tentang waktu sebagai benang yang dijahit oleh kasih Allah: "Waktu bagaikan seutas benang, menenun hari-hari kita menjadi permadani kasih karunia, setiap saat menjadi jahitan yang dipandu oleh Sang Penenun Ilahi" (Story of a Soul, 1898). Tapestri kehidupan ini mencerminkan bagaimana masa lalu, kini, dan masa depan diikat oleh tangan Allah dalam kasih-Nya yang kekal.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa waktu, dalam dimensi masa lalu, kini, dan masa depan, adalah anugerah yang membentuk kehidupan kita dalam harmoni yang saling terhubung. Masa lalu mengajarkan pelajaran berharga, masa kini adalah momen untuk bertindak, dan masa depan memberikan motivasi serta harapan. Perspektif ini saling melengkapi: filsafat Timur menekankan karma dan kesadaran penuh, filsafat Barat mengajarkan refleksi, tanggung jawab, dan perencanaan, sementara ajaran Gereja Katolik memadukan keduanya dalam iman, kasih, dan pengharapan akan keselamatan. Dengan memahami hubungan dinamis ini, kita dapat menjalani hidup yang bijaksana, memanfaatkan waktu secara bermakna, dan menenun kehidupan yang harmonis bagi diri sendiri, sesama, dan dunia. (*)
Merauke, 12 Desember 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H