Penyesuaian Diri
Setelah beberapa bulan berada di Institut Pertanian Bogor (IPB), Josefa mulai merasakan proses penyesuaian diri yang mendalam dengan lingkungan baru dan tuntutan akademis yang berat.
"Kamu baik-baik saja, Jose? Kelihatan agak terpukul," Teguh menyapa Josefa saat istirahat di kantin kampus.
Josefa menggeleng pelan. "Agak kewalahan dengan tugas akhir minggu ini. Tapi aku mencoba sebaik mungkin."
Sebagai seorang mahasiswa asal Papua yang baru pertama kali tinggal di luar daerahnya, Josefa harus menghadapi berbagai tantangan penyesuaian baik secara sosial maupun akademis. Penyesuaian sosial merupakan hal yang cukup menantang bagi Josefa. Dia harus beradaptasi dengan kehidupan kampus yang sangat berbeda dengan kehidupan di Kampung Tabonji, Pulau Kimaam.
"Jujur, aku merasa agak canggung di sini, Teguh. Semua orang tampak begitu lancar," keluh Josefa pada suatu hari.
Teguh tersenyum. "Sama, Jose. Tapi percayalah, semua orang mengalami hal yang sama di awal."
Di IPB, Josefa bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki latar belakang budaya dan pengalaman yang berbeda. Meskipun awalnya merasa canggung dan tidak nyaman, Josefa secara perlahan mulai membuka diri untuk berteman dan berinteraksi dengan mereka.
"Kamu bisa bergabung dengan kami, Jose. Kita lagi diskusi tentang metode tanam baru," ajak seorang teman sekelas.
Dia belajar menghargai keragaman budaya dan pandangan hidup yang berbeda, yang semakin memperkaya pengalaman kehidupannya di kampus. Selain penyesuaian sosial, Josefa juga menghadapi tantangan akademis yang signifikan. Materi kuliah yang intens dan kompleks di IPB memerlukan dedikasi dan konsentrasi yang tinggi.
"Jose, bagaimana cara menghitung laju pertumbuhan tanaman itu?" tanya seorang teman sekelas.
Josefa menjawab dengan penuh perhatian, "Kita bisa gunakan rumus ini untuk mencari tahu."
Josefa harus belajar mengatur waktu dengan baik, memanfaatkan setiap kesempatan untuk belajar, dan memahami konsep-konsep baru dalam ilmu pertanian modern. Meskipun sulit, tekad dan motivasi Josefa untuk belajar tidak pernah surut. Dia mengambil setiap tantangan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.
"Jose, kamu udah mencoba teknik baru ini?" tanya Teguh saat mereka berdua menghadiri seminar pertanian.
Josefa mengangguk. "Iya, sepertinya bisa diterapkan di proyek akhir nanti."
Selama proses penyesuaian diri ini, Josefa juga mendapatkan dukungan yang tak ternilai dari teman-teman sekelas dan dosen-dosen di IPB. Mereka memberinya bimbingan dan dorongan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai rintangan di kampus.
"Dosen kita memang ketat, tapi mereka selalu siap membantu kalau kita bertanya," kata Josefa pada Teguh.
Diskusi-diskusi dan kolaborasi dengan teman-teman sekelasnya membantu Josefa memperluas pengetahuannya dan mengeksplorasi ide-ide baru dalam bidang pertanian.
"Kita bisa buat proyek tim tentang ini, kan?" ajak Josefa pada teman-temannya.
Penyesuaian diri Josefa di IPB tidak hanya tentang belajar ilmu pertanian, tetapi juga tentang mengembangkan kepercayaan diri, keterampilan sosial, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Semua pengalaman ini membentuknya menjadi individu yang lebih kuat, lebih percaya diri, dan siap menghadapi tantangan apapun di masa depan.
"Dengan tekadku yang bulat, aku yakin bisa terus berkembang dan memberikan kontribusi positif, baik bagi diriku sendiri maupun bagi masyarakat Papua," ucap Josefa dalam hati.
Rasa Rindu Kampung Halaman
Di tengah kesibukannya menyesuaikan diri dengan kehidupan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Josefa tidak pernah bisa menghilangkan rasa rindunya akan Kampung Tabonji, kampung halamannya di Pulau Kimaam.
"Jose, apa yang kamu pikirkan?" Teguh bertanya saat melihat Josefa duduk termenung di meja belajar mereka.
Josefa tersenyum tipis. "Sedang teringat kampung halaman, Teguh. Rasanya sudah lama sekali aku tidak pulang."
Teguh mengangguk mengerti. "Pasti rindu ya dengan suasana sana."
Rasa rindu itu tidak hanya kepada keluarga dan teman-temannya, tetapi juga kepada kehidupan sederhana di kampung yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Dia merindukan aroma tanah basah setelah hujan, suara gemercik sungai yang mengalir di dekat rumahnya, serta langit malam yang penuh dengan bintang di langit Kimaam yang gelap.
"Kamu ingat waktu kita mencoba menanam tanaman Dambu di belakang rumah?" Josefa bertanya pada Teguh, memecah keheningan.
Teguh tersenyum, mengingat kembali masa-masa itu. "Iya, dan tanaman itu tumbuh dengan sangat baik."
Josefa juga merindukan momen-momen bersama ibunya, memasak bersama di dapur sederhana mereka, dan berbicara panjang lebar tentang kehidupan dan tradisi Marind Anim. Rindu Josefa terhadap kampung halamannya tidak hanya menjadi nostalgia semata, tetapi juga menjadi sumber inspirasi dan motivasi baginya.
"Ketika aku merasa putus asa dengan tugas ini, aku bayangkan lagi ibuku sedang memasak sambal terasi di dapur," ujar Josefa pada Teguh.
Teguh mengangguk mengerti. "Mereka adalah sumber kekuatan kita, Jose."
Setiap kali dia merasa lelah atau frustrasi dengan tugas kuliah yang menumpuk, dia akan memejamkan mata sejenak dan membayangkan dirinya kembali di Kampung Tabonji. Pikiran-pikiran tentang tanaman Dambu yang tumbuh subur, serta wajah-wajah ramah tetangga-tetangganya, memberinya kekuatan baru untuk terus maju dan mengejar impian-impiannya.
"Jose, kita bisa mengunjungi kampungmu suatu hari nanti. Aku ingin melihat langsung tanaman Dambu yang kamu ceritakan," ajak Teguh dengan antusias.
Namun, rasa rindu ini juga menghadirkan tantangan tersendiri baginya. Josefa harus belajar bagaimana mengintegrasikan kerinduannya terhadap kampung halaman dengan kenyataan kehidupan barunya di kota. Dia belajar bahwa meskipun jauh dari kampung, dia tetap bisa menjaga hubungan dengan keluarga dan kampung halamannya melalui panggilan telepon dan pesan singkat.
"Hari ini aku video call dengan ibuku, Teguh. Rasanya lega sekali bisa bercerita langsung," kata Josefa pada Teguh.
Hal ini membantu Josefa merasa lebih terhubung dengan akar budayanya dan memberinya kekuatan tambahan dalam perjuangannya di IPB. Rasa rindu Josefa terhadap kampung halamannya tidak hanya membangkitkan kenangan yang indah, tetapi juga menguatkan tekadnya untuk terus maju dalam mengejar cita-citanya.
"Jose, kamu punya rencana apa setelah lulus nanti?" Teguh menanyakan pada suatu sore.
Josefa tersenyum mantap. "Aku ingin kembali ke kampung dan menerapkan semua yang aku pelajari di sini. Membantu masyarakat kami dengan cara yang baru."
Dia yakin bahwa dengan memadukan pengetahuan yang didapat di IPB dengan nilai-nilai dan kearifan lokal dari kampung halamannya, dia dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat Papua dan melestarikan warisan budayanya untuk generasi mendatang.
(Bersambung)
Merauke, 17 November 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H