Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Isu Primordialisme dan Agama: Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Kita

15 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 15 Oktober 2024   06:09 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena politik identitas telah menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kontestasi politik di Indonesia, terutama selama pemilu. Faktor-faktor seperti agama, etnisitas, dan kekerabatan sering dimanfaatkan para calon untuk meraih dukungan, terutama di masyarakat yang sangat beragam. Isu primordialisme dan agama sering diangkat dalam kampanye untuk menarik pemilih berdasarkan keterikatan emosional yang dianggap lebih penting daripada kualitas dan kapabilitas calon. Hal ini diperparah oleh kecenderungan masyarakat yang rentan terhadap sentimen primordial dan keberhasilan politisi dalam memainkan emosi pemilih melalui narasi berbasis identitas. Akibatnya, demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan besar, karena fokus pemilih dialihkan dari penilaian kualitas, integritas, dan visi calon, menjadi ikatan emosional yang sempit, yang berpotensi memecah belah masyarakat dan menghambat proses demokrasi yang sehat.

Pengertian Primordialisme dan Agama dalam Konteks Politik

Primordialisme adalah kecenderungan mengutamakan ikatan dasar seperti etnisitas, kekerabatan, bahasa, atau agama dalam hubungan sosial dan politik. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, primordialisme relevan karena keberagaman identitas membentuk struktur sosial bangsa. Clifford Geertz, dalam  The Interpretation of Cultures (1973), menjelaskan bahwa ikatan primordial sering menjadi landasan identitas kolektif yang berfungsi sebagai bentuk pengakuan dan solidaritas sosial. Dalam politik, primordialisme dimanfaatkan calon pemimpin untuk meraih dukungan dengan menekankan kedekatan identitas, menciptakan hubungan emosional yang menguntungkan dalam kontestasi politik.

Agama juga memainkan peran signifikan dalam politik Indonesia. Menurut Thomas Pepinsky, dalam Islam, Democracy, and the Future of Indonesia (2019), agama sering digunakan untuk membangun basis loyalitas politik dengan menarik pemilih yang memiliki kesamaan keyakinan dan membangun persepsi calon sebagai pelindung nilai-nilai keagamaan. Strategi ini menjadi ciri dalam banyak kampanye politik di Indonesia, sehingga agama dieksploitasi untuk menonjolkan keunggulan moral calon.

Pemanfaatan agama dalam politik juga dapat mengarah pada mobilisasi massa dengan narasi religius yang menciptakan polarisasi antara kelompok "kami" dan "mereka," seperti disebutkan Ariel Heryanto dalam Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (2014). Hal ini mengurangi kesempatan dialog dan kerukunan antarwarga, serta mengaburkan fokus pada kualitas calon, karena pemilih lebih terpengaruh oleh kesamaan kepercayaan daripada kompetensi atau program kerja.

Dinamika Penggunaan Isu Primordialisme dan Agama dalam Pemilu

Penggunaan isu primordialisme dan agama dalam pemilu di Indonesia bukan hal baru. Pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, agama menjadi isu sentral yang menentukan pilihan pemilih, mayoritas memilih berdasarkan kesamaan agama dengan kandidat (Muhtadi, Voting Behavior in Indonesia Since Democratization, 2019). Di beberapa daerah lain, isu etnisitas juga sering dimanfaatkan oleh kandidat dari etnis mayoritas untuk meraih suara.

Calon dan tim sukses memainkan peran besar dalam membangun narasi berbasis identitas dengan mengangkat isu agama atau etnisitas untuk membangun kedekatan emosional dengan pemilih. Menurut Marcus Mietzner, dalam  Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia (2013), mereka sering menggunakan media sosial dan tokoh masyarakat untuk menyebarkan pesan identitas guna memperkuat dukungan. Tokoh agama atau masyarakat setempat juga dilibatkan untuk mendukung kandidat secara terbuka.

Pendekatan ini berdampak signifikan terhadap kampanye dan pilihan pemilih. Edward Aspinall dalam Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (2019) menjelaskan bahwa strategi ini mengurangi kualitas perdebatan politik, yang seharusnya membahas visi dan program kerja, tetapi malah fokus pada identitas emosional. Hal ini memperkuat polarisasi, berpotensi menyebabkan konflik sosial, dan menghambat terpilihnya pemimpin yang kompeten karena pemilih cenderung memilih berdasarkan kesamaan identitas.

Dampak Negatif terhadap Demokrasi

Penggunaan isu primordialisme dan agama dalam pemilu menggeser fokus pemilih dari kualitas calon ke ikatan identitas. Pemilih lebih mempertimbangkan etnisitas, agama, atau afiliasi kultural calon daripada kompetensi, pengalaman, atau integritasnya. Menurut Mietzner (2013), keputusan pemilih yang emosional ini merusak kualitas demokrasi yang seharusnya didasarkan pada penilaian objektif terhadap kebijakan dan program kerja kandidat.

Kandidat yang memiliki kapabilitas lebih baik namun tidak berasal dari kelompok identitas mayoritas sering diabaikan. Hal ini mengubah politik menjadi alat untuk memperkuat ikatan kelompok, bukan seleksi pemimpin yang berintegritas dan berkualitas. Akibatnya, proses pemilihan kehilangan esensi meritokrasi dan kualitas kepemimpinan.

Penggunaan isu primordialisme dan agama juga memperbesar potensi konflik dan polarisasi masyarakat. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, politik identitas memperkuat batas-batas sosial antara kelompok yang berbeda. Politisi sering memanipulasi isu ini untuk menciptakan perasaan "kami" versus "mereka," yang dapat memicu ketegangan sosial.

Menurut Aspinall dan Ward (2019), kampanye berbasis identitas sering menggunakan retorika yang memecah belah, menyulut ketidakpercayaan terhadap kelompok lain. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang kontestasi sehat program kerja malah berubah menjadi alat untuk memperkuat fragmentasi sosial dan konflik antar kelompok.

Polarisasi yang dihasilkan dari politik identitas ini memiliki efek jangka panjang yang merusak harmoni sosial. Polarisasi tersebut dapat memperlebar perpecahan dan memperumit proses rekonsiliasi pasca pemilu, merusak hubungan sosial yang sebelumnya sudah terjalin baik.

Penggunaan isu primordialisme dan agama juga melemahkan prinsip meritokrasi. Pemilih lebih cenderung memilih calon berdasarkan kedekatan agama atau etnis, mengabaikan kapabilitas dan kinerja calon. Hadiz (2016) menyebutkan bahwa politik identitas mengalihkan fokus dari kualitas kandidat ke aspek simbolis yang tidak relevan dengan kepemimpinan yang efektif. Meritokrasi adalah pilar penting dalam demokrasi untuk memastikan bahwa yang berkompeten dapat memimpin. Ketika politik identitas mendominasi, proses seleksi kandidat terdistorsi, dan kandidat berkemampuan layak sering tak mendapat kesempatan. Ini menghambat pembangunan politik dan ekonomi yang berkelanjutan, serta melemahkan institusi demokrasi.

Upaya Mengatasi Tantangan

Pendidikan politik merupakan langkah fundamental untuk mengatasi dampak negatif dari penggunaan isu primordialisme dan agama dalam pemilu. Hal ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat membuat keputusan berdasarkan kualitas calon seperti visi, misi, dan program kerjanya, bukan pada identitas etnis atau agama. Dengan pendidikan yang memadai, masyarakat akan memiliki kemampuan untuk mengevaluasi calon secara kritis dan menolak politik berbasis identitas yang dapat merugikan demokrasi.

Melalui pendidikan politik, masyarakat juga dapat memahami hak dan tanggung jawab mereka sebagai pemilih, serta pentingnya memilih pemimpin yang mampu menghadirkan solusi bagi masalah-masalah publik. Hal ini diharapkan dapat mengurangi pengaruh kampanye berbasis primordialisme dan agama serta mengalihkan fokus pemilih kepada aspek-aspek yang lebih substantif dalam memilih calon pemimpin.

Media massa memiliki peran yang signifikan dalam membentuk opini publik, terutama selama masa kampanye pemilu. Media dapat menjadi sarana untuk mendorong kampanye berbasis program dan visi-misi, bukan pada identitas calon. Seperti yang disampaikan oleh McQuail dalam Mass Communication Theory (2010), media berfungsi sebagai alat edukasi yang dapat memberikan informasi objektif mengenai kualitas kandidat, kebijakan yang mereka tawarkan, dan cara mereka akan mengimplementasikannya.

Dalam konteks Indonesia, media diharapkan lebih berperan aktif untuk memberikan liputan yang seimbang dan adil, serta tidak memberikan ruang bagi narasi-narasi berbasis identitas yang cenderung memecah belah. Media juga dapat mengadakan debat kandidat yang fokus pada program kerja dan visi-misi untuk membantu pemilih memahami perbedaan antara calon berdasarkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Hal ini akan membantu pemilih untuk membuat keputusan yang lebih rasional dan berdasarkan bukti konkret, bukan sekadar pada ikatan emosional atau kesamaan identitas.

Regulasi yang ketat dari lembaga-lembaga pengawas pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sangat penting dalam mengatasi tantangan terkait penggunaan isu primordialisme dan agama. Peraturan yang jelas dan tegas tentang larangan kampanye yang mengandung unsur diskriminatif dan memecah belah berdasarkan identitas perlu diterapkan agar proses pemilu dapat berjalan lebih fair dan demokratis.

Mietzner dalam Reinventing Asian Populism: Jokowi's Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia (2015) menekankan bahwa penegakan regulasi oleh lembaga pemilu sangat diperlukan untuk menjaga kualitas demokrasi. KPU dan Bawaslu harus mampu menjalankan pengawasan yang efektif terhadap seluruh kegiatan kampanye, memastikan bahwa para kandidat dan tim sukses tidak menggunakan isu yang berpotensi memperkuat konflik sosial. Selain itu, sanksi yang tegas harus diberlakukan terhadap pelanggaran terkait penggunaan isu primordialisme dan agama untuk memberikan efek jera dan mengurangi kemungkinan terulangnya praktik tersebut di masa depan.

Berdasarkan pembahasan di atas, Isu primordialisme dan agama telah menjadi tantangan besar bagi demokrasi di Indonesia, menggeser fokus pemilih dari kualitas calon ke ikatan identitas, serta meningkatkan potensi konflik dan polarisasi di masyarakat. Penggunaan isu ini menghambat prinsip meritokrasi dan melemahkan kualitas demokrasi kita. Namun, dengan pendidikan politik yang lebih baik, peran aktif media dalam mendorong kampanye berbasis program, serta regulasi yang ketat dari KPU dan Bawaslu, ada harapan untuk menciptakan proses pemilu yang lebih sehat dan berorientasi pada kualitas serta integritas calon. Hal ini diharapkan dapat membawa Indonesia menuju demokrasi yang lebih inklusif dan matang, sehingga pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan, bukan kesamaan identitas. (*)

Merauke, 15 Oktober 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun