Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Isu Primordialisme dan Agama: Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Kita

15 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 15 Oktober 2024   06:09 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kandidat yang memiliki kapabilitas lebih baik namun tidak berasal dari kelompok identitas mayoritas sering diabaikan. Hal ini mengubah politik menjadi alat untuk memperkuat ikatan kelompok, bukan seleksi pemimpin yang berintegritas dan berkualitas. Akibatnya, proses pemilihan kehilangan esensi meritokrasi dan kualitas kepemimpinan.

Penggunaan isu primordialisme dan agama juga memperbesar potensi konflik dan polarisasi masyarakat. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, politik identitas memperkuat batas-batas sosial antara kelompok yang berbeda. Politisi sering memanipulasi isu ini untuk menciptakan perasaan "kami" versus "mereka," yang dapat memicu ketegangan sosial.

Menurut Aspinall dan Ward (2019), kampanye berbasis identitas sering menggunakan retorika yang memecah belah, menyulut ketidakpercayaan terhadap kelompok lain. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang kontestasi sehat program kerja malah berubah menjadi alat untuk memperkuat fragmentasi sosial dan konflik antar kelompok.

Polarisasi yang dihasilkan dari politik identitas ini memiliki efek jangka panjang yang merusak harmoni sosial. Polarisasi tersebut dapat memperlebar perpecahan dan memperumit proses rekonsiliasi pasca pemilu, merusak hubungan sosial yang sebelumnya sudah terjalin baik.

Penggunaan isu primordialisme dan agama juga melemahkan prinsip meritokrasi. Pemilih lebih cenderung memilih calon berdasarkan kedekatan agama atau etnis, mengabaikan kapabilitas dan kinerja calon. Hadiz (2016) menyebutkan bahwa politik identitas mengalihkan fokus dari kualitas kandidat ke aspek simbolis yang tidak relevan dengan kepemimpinan yang efektif. Meritokrasi adalah pilar penting dalam demokrasi untuk memastikan bahwa yang berkompeten dapat memimpin. Ketika politik identitas mendominasi, proses seleksi kandidat terdistorsi, dan kandidat berkemampuan layak sering tak mendapat kesempatan. Ini menghambat pembangunan politik dan ekonomi yang berkelanjutan, serta melemahkan institusi demokrasi.

Upaya Mengatasi Tantangan

Pendidikan politik merupakan langkah fundamental untuk mengatasi dampak negatif dari penggunaan isu primordialisme dan agama dalam pemilu. Hal ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat membuat keputusan berdasarkan kualitas calon seperti visi, misi, dan program kerjanya, bukan pada identitas etnis atau agama. Dengan pendidikan yang memadai, masyarakat akan memiliki kemampuan untuk mengevaluasi calon secara kritis dan menolak politik berbasis identitas yang dapat merugikan demokrasi.

Melalui pendidikan politik, masyarakat juga dapat memahami hak dan tanggung jawab mereka sebagai pemilih, serta pentingnya memilih pemimpin yang mampu menghadirkan solusi bagi masalah-masalah publik. Hal ini diharapkan dapat mengurangi pengaruh kampanye berbasis primordialisme dan agama serta mengalihkan fokus pemilih kepada aspek-aspek yang lebih substantif dalam memilih calon pemimpin.

Media massa memiliki peran yang signifikan dalam membentuk opini publik, terutama selama masa kampanye pemilu. Media dapat menjadi sarana untuk mendorong kampanye berbasis program dan visi-misi, bukan pada identitas calon. Seperti yang disampaikan oleh McQuail dalam Mass Communication Theory (2010), media berfungsi sebagai alat edukasi yang dapat memberikan informasi objektif mengenai kualitas kandidat, kebijakan yang mereka tawarkan, dan cara mereka akan mengimplementasikannya.

Dalam konteks Indonesia, media diharapkan lebih berperan aktif untuk memberikan liputan yang seimbang dan adil, serta tidak memberikan ruang bagi narasi-narasi berbasis identitas yang cenderung memecah belah. Media juga dapat mengadakan debat kandidat yang fokus pada program kerja dan visi-misi untuk membantu pemilih memahami perbedaan antara calon berdasarkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Hal ini akan membantu pemilih untuk membuat keputusan yang lebih rasional dan berdasarkan bukti konkret, bukan sekadar pada ikatan emosional atau kesamaan identitas.

Regulasi yang ketat dari lembaga-lembaga pengawas pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sangat penting dalam mengatasi tantangan terkait penggunaan isu primordialisme dan agama. Peraturan yang jelas dan tegas tentang larangan kampanye yang mengandung unsur diskriminatif dan memecah belah berdasarkan identitas perlu diterapkan agar proses pemilu dapat berjalan lebih fair dan demokratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun