Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Isu Primordialisme dan Agama: Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Kita

15 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 15 Oktober 2024   06:09 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena politik identitas telah menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kontestasi politik di Indonesia, terutama selama pemilu. Faktor-faktor seperti agama, etnisitas, dan kekerabatan sering dimanfaatkan para calon untuk meraih dukungan, terutama di masyarakat yang sangat beragam. Isu primordialisme dan agama sering diangkat dalam kampanye untuk menarik pemilih berdasarkan keterikatan emosional yang dianggap lebih penting daripada kualitas dan kapabilitas calon. Hal ini diperparah oleh kecenderungan masyarakat yang rentan terhadap sentimen primordial dan keberhasilan politisi dalam memainkan emosi pemilih melalui narasi berbasis identitas. Akibatnya, demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan besar, karena fokus pemilih dialihkan dari penilaian kualitas, integritas, dan visi calon, menjadi ikatan emosional yang sempit, yang berpotensi memecah belah masyarakat dan menghambat proses demokrasi yang sehat.

Pengertian Primordialisme dan Agama dalam Konteks Politik

Primordialisme adalah kecenderungan mengutamakan ikatan dasar seperti etnisitas, kekerabatan, bahasa, atau agama dalam hubungan sosial dan politik. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, primordialisme relevan karena keberagaman identitas membentuk struktur sosial bangsa. Clifford Geertz, dalam  The Interpretation of Cultures (1973), menjelaskan bahwa ikatan primordial sering menjadi landasan identitas kolektif yang berfungsi sebagai bentuk pengakuan dan solidaritas sosial. Dalam politik, primordialisme dimanfaatkan calon pemimpin untuk meraih dukungan dengan menekankan kedekatan identitas, menciptakan hubungan emosional yang menguntungkan dalam kontestasi politik.

Agama juga memainkan peran signifikan dalam politik Indonesia. Menurut Thomas Pepinsky, dalam Islam, Democracy, and the Future of Indonesia (2019), agama sering digunakan untuk membangun basis loyalitas politik dengan menarik pemilih yang memiliki kesamaan keyakinan dan membangun persepsi calon sebagai pelindung nilai-nilai keagamaan. Strategi ini menjadi ciri dalam banyak kampanye politik di Indonesia, sehingga agama dieksploitasi untuk menonjolkan keunggulan moral calon.

Pemanfaatan agama dalam politik juga dapat mengarah pada mobilisasi massa dengan narasi religius yang menciptakan polarisasi antara kelompok "kami" dan "mereka," seperti disebutkan Ariel Heryanto dalam Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (2014). Hal ini mengurangi kesempatan dialog dan kerukunan antarwarga, serta mengaburkan fokus pada kualitas calon, karena pemilih lebih terpengaruh oleh kesamaan kepercayaan daripada kompetensi atau program kerja.

Dinamika Penggunaan Isu Primordialisme dan Agama dalam Pemilu

Penggunaan isu primordialisme dan agama dalam pemilu di Indonesia bukan hal baru. Pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, agama menjadi isu sentral yang menentukan pilihan pemilih, mayoritas memilih berdasarkan kesamaan agama dengan kandidat (Muhtadi, Voting Behavior in Indonesia Since Democratization, 2019). Di beberapa daerah lain, isu etnisitas juga sering dimanfaatkan oleh kandidat dari etnis mayoritas untuk meraih suara.

Calon dan tim sukses memainkan peran besar dalam membangun narasi berbasis identitas dengan mengangkat isu agama atau etnisitas untuk membangun kedekatan emosional dengan pemilih. Menurut Marcus Mietzner, dalam  Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia (2013), mereka sering menggunakan media sosial dan tokoh masyarakat untuk menyebarkan pesan identitas guna memperkuat dukungan. Tokoh agama atau masyarakat setempat juga dilibatkan untuk mendukung kandidat secara terbuka.

Pendekatan ini berdampak signifikan terhadap kampanye dan pilihan pemilih. Edward Aspinall dalam Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (2019) menjelaskan bahwa strategi ini mengurangi kualitas perdebatan politik, yang seharusnya membahas visi dan program kerja, tetapi malah fokus pada identitas emosional. Hal ini memperkuat polarisasi, berpotensi menyebabkan konflik sosial, dan menghambat terpilihnya pemimpin yang kompeten karena pemilih cenderung memilih berdasarkan kesamaan identitas.

Dampak Negatif terhadap Demokrasi

Penggunaan isu primordialisme dan agama dalam pemilu menggeser fokus pemilih dari kualitas calon ke ikatan identitas. Pemilih lebih mempertimbangkan etnisitas, agama, atau afiliasi kultural calon daripada kompetensi, pengalaman, atau integritasnya. Menurut Mietzner (2013), keputusan pemilih yang emosional ini merusak kualitas demokrasi yang seharusnya didasarkan pada penilaian objektif terhadap kebijakan dan program kerja kandidat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun