"Didimus, bagaimana menurutmu, apakah kita bisa mengintegrasikan pengetahuan ini ke dalam praktik pertanian modern?" tanya Josefa dengan penuh semangat.
"Tentu saja bisa, Josefa," jawab Didimus dengan mantap. "Kita bisa belajar dari cara-cara tradisional yang ramah lingkungan dan menggabungkannya dengan teknologi modern untuk menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan. Itu adalah kunci untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam."
Diskusi mereka bukan hanya mengangkat aspek keanekaragaman hayati secara teoretis, tetapi juga mengaitkannya dengan praktik nyata dalam upaya melestarikan alam dan masyarakat lokal. Josefa mulai memahami bahwa untuk mencapai tujuannya dalam mengembangkan pertanian yang berkelanjutan, dia perlu mempertimbangkan secara serius bagaimana aspek keanekaragaman hayati dapat diintegrasikan ke dalam desain sistem pertanian yang akan dia kembangkan di masa depan.
"Dengan memahami dan menjaga keanekaragaman hayati, kita tidak hanya melindungi lingkungan, tapi juga mempertahankan budaya dan warisan leluhur kita," kata Didimus, menutup diskusi mereka dengan penuh keyakinan.
Dengan semangat baru dan wawasan yang lebih dalam tentang keanekaragaman hayati Papua, Josefa semakin siap untuk melanjutkan perjalanannya dalam menapaki jejaknya menuju pemahaman yang lebih luas tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Mimpi Josefa
Setelah serangkaian diskusi dan eksplorasi bersama Didimus tentang lingkungan dan keanekaragaman hayati, Josefa semakin terinspirasi untuk mengejar mimpi-mimpinya.
Malam itu, di kamarnya yang sederhana di Merauke, Josefa duduk bersila di atas tikar anyaman, memandangi langit yang penuh dengan bintang di luar jendela. Dia merenungkan betapa jauh perjalanan hidupnya sejak menghadiri Pesta Adat Dambu di Kampung Tabonji. Pikirannya melayang ke saat-saat indah di hutan belantara Papua, di mana kekayaan alam dan budaya begitu menyatu.
Pikirannya melayang, membayangkan percakapannya dengan Didimus pagi itu.
"Josefa, apa kau sudah memutuskan tentang studi lanjutmu?" tanya Didimus dengan serius saat mereka berjalan di pinggir pantai.
"Aku masih bingung, Didimus," jawab Josefa sambil menendang kerikil kecil di jalan setapak. "Orang tuaku ingin aku tetap di Merauke dan kuliah di Universitas Musamus. Tapi, hatiku mengatakan bahwa aku harus pergi ke IPB di Jawa Barat."