Diskusi Kedua tentang Keanekaragaman Hayati
Didimus, seorang teman sekelas Josefa di SMA Yoanes XXIII di Merauke, adalah seseorang yang memiliki kepedulian besar terhadap lingkungan dan kekayaan alam Papua. Diskusi mereka sering kali berlangsung di luar ruangan, di tepi hutan belantara atau di sekitar pantai yang indah, tempat mereka dapat melihat secara langsung betapa kaya dan uniknya flora dan fauna Papua. Didimus dengan antusias menceritakan tentang spesies-spesies endemik yang hanya ada di Papua, serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menjaga kelestarian mereka di tengah perkembangan modern.
"Josefa, tahukah kamu bahwa burung Cendrawasih hanya bisa ditemukan di sini, di Papua?" tanya Didimus suatu hari sambil menunjuk ke arah hutan lebat di depan mereka.
Josefa mengangguk, matanya berbinar-binar penuh minat. "Aku pernah mendengar tentang itu, Didimus. Burung itu sangat indah, bukan?"
"Benar sekali," jawab Didimus. "Namun, sayangnya, habitat mereka semakin berkurang karena penebangan hutan dan perburuan liar. Kita harus menjaga mereka agar tetap lestari."
Mereka melanjutkan perjalanan mereka menyusuri tepi hutan, suara burung-burung yang beraneka ragam mengiringi langkah mereka. Didimus tidak berhenti bercerita, memberikan Josefa wawasan tentang tanaman obat tradisional yang langka dan bagaimana suku-suku asli Papua menggunakan tanaman-tanaman tersebut.
"Josefa, lihat tanaman ini," Didimus menunjuk sebuah tanaman dengan daun lebar yang tumbuh subur di pinggir jalan setapak. "Ini adalah salah satu tanaman obat yang sangat berharga. Nenek moyang kita sudah lama menggunakannya untuk berbagai macam penyakit."
Josefa berjongkok untuk melihat lebih dekat. "Menarik sekali. Aku belum pernah melihat tanaman ini sebelumnya. Apa namanya?"
"Namanya adalah Daun Gedi," jawab Didimus. "Daun ini bisa digunakan untuk mengobati demam dan luka. Sangat berguna, terutama bagi komunitas yang jauh dari akses medis."
Josefa sangat terpesona dengan cerita-cerita Didimus tentang kehidupan alam Papua. Setiap detail yang Didimus bagikan, seperti kehidupan burung Cendrawasih yang eksotis atau tanaman obat tradisional yang langka, membuatnya semakin terinspirasi untuk menggali lebih dalam. Dia menyadari bahwa pengetahuan tentang keanekaragaman hayati ini sangat penting dalam konteks pertanian yang ingin dia geluti, terutama dalam upaya melestarikan tanaman tradisional seperti tanaman Dambu yang sangat berharga bagi komunitasnya di Kampung Tabonji.
"Didimus, bagaimana menurutmu, apakah kita bisa mengintegrasikan pengetahuan ini ke dalam praktik pertanian modern?" tanya Josefa dengan penuh semangat.
"Tentu saja bisa, Josefa," jawab Didimus dengan mantap. "Kita bisa belajar dari cara-cara tradisional yang ramah lingkungan dan menggabungkannya dengan teknologi modern untuk menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan. Itu adalah kunci untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam."
Diskusi mereka bukan hanya mengangkat aspek keanekaragaman hayati secara teoretis, tetapi juga mengaitkannya dengan praktik nyata dalam upaya melestarikan alam dan masyarakat lokal. Josefa mulai memahami bahwa untuk mencapai tujuannya dalam mengembangkan pertanian yang berkelanjutan, dia perlu mempertimbangkan secara serius bagaimana aspek keanekaragaman hayati dapat diintegrasikan ke dalam desain sistem pertanian yang akan dia kembangkan di masa depan.
"Dengan memahami dan menjaga keanekaragaman hayati, kita tidak hanya melindungi lingkungan, tapi juga mempertahankan budaya dan warisan leluhur kita," kata Didimus, menutup diskusi mereka dengan penuh keyakinan.
Dengan semangat baru dan wawasan yang lebih dalam tentang keanekaragaman hayati Papua, Josefa semakin siap untuk melanjutkan perjalanannya dalam menapaki jejaknya menuju pemahaman yang lebih luas tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Mimpi Josefa
Setelah serangkaian diskusi dan eksplorasi bersama Didimus tentang lingkungan dan keanekaragaman hayati, Josefa semakin terinspirasi untuk mengejar mimpi-mimpinya.
Malam itu, di kamarnya yang sederhana di Merauke, Josefa duduk bersila di atas tikar anyaman, memandangi langit yang penuh dengan bintang di luar jendela. Dia merenungkan betapa jauh perjalanan hidupnya sejak menghadiri Pesta Adat Dambu di Kampung Tabonji. Pikirannya melayang ke saat-saat indah di hutan belantara Papua, di mana kekayaan alam dan budaya begitu menyatu.
Pikirannya melayang, membayangkan percakapannya dengan Didimus pagi itu.
"Josefa, apa kau sudah memutuskan tentang studi lanjutmu?" tanya Didimus dengan serius saat mereka berjalan di pinggir pantai.
"Aku masih bingung, Didimus," jawab Josefa sambil menendang kerikil kecil di jalan setapak. "Orang tuaku ingin aku tetap di Merauke dan kuliah di Universitas Musamus. Tapi, hatiku mengatakan bahwa aku harus pergi ke IPB di Jawa Barat."
Didimus mengangguk. "Aku mengerti. Universitas Musamus memang lebih dekat dan lebih dikenal oleh keluargamu. Tapi IPB memiliki program pertanian yang lebih maju. Apa yang sebenarnya kau inginkan, Josefa?"
Josefa berhenti sejenak, menatap Didimus dengan tatapan penuh keyakinan. "Aku ingin belajar sebanyak mungkin tentang pertanian modern dan membawa pengetahuan itu pulang ke Kampung Tabonji. Aku ingin membantu masyarakatku meningkatkan cara bercocok tanam, terutama tanaman Dambu."
Didimus tersenyum, menyadari betapa besar mimpi yang dimiliki sahabatnya itu. "Kalau begitu, kau harus mengikuti hatimu. Pergi ke IPB dan pelajari segala yang bisa kau pelajari. Kami di sini akan mendukungmu sepenuhnya."
Malam itu, di dalam kamarnya yang tenang, Josefa merenungkan kata-kata Didimus. Dia tahu bahwa perjalanannya menuju IPB akan penuh tantangan dan pengorbanan. Namun, tekadnya kuat, didorong oleh rasa kagumnya akan keajaiban alam Papua dan keyakinannya bahwa ilmu pertanian modern dapat dipadukan dengan kearifan lokal untuk menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi banyak orang.
"Pasti banyak rintangan yang harus kuhadapi," gumam Josefa kepada dirinya sendiri. "Tapi aku yakin, dengan pengetahuan yang kudapat di IPB, aku bisa membawa perubahan positif bagi Kampung Tabonji."
Dengan mimpi yang menggetarkan hatinya, Josefa bersiap untuk menapaki jalan yang tidak mudah, tetapi penuh harapan dan arti. Dia yakin bahwa melalui perjalanannya ini, dia dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi kampung halamannya dan masyarakat Papua secara lebih luas. Di tengah malam yang sunyi, dengan bintang-bintang sebagai saksi, Josefa membuat keputusan besar dalam hidupnya.
"Terima kasih, Didimus," bisiknya pelan. "Terima kasih atas semua dukungan dan inspirasimu. Aku akan membuat kalian semua bangga."
Dengan hati yang mantap, Josefa menatap masa depan dengan keyakinan bahwa perjalanan menuju IPB adalah langkah awal untuk mewujudkan impian besarnya.
(Bersambung)
Merauke, 13 Oktober 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H