"Anakku, kita mengikuti tanda-tanda alam. Ketika burung cendrawasih mulai berkicau di pagi hari atau ketika daun-daun tertentu mulai berubah warna, itu tandanya waktu menanam sudah tiba," jawab Pak Abraham sambil tersenyum bijak.
Didimus, yang selalu memiliki pandangan kritis terhadap berbagai hal, mempertanyakan sejauh mana pengetahuan tradisional ini dapat bersaing dengan teknologi modern yang diajarkan di sekolah-sekolah.
"Pak Abraham, apakah metode tradisional ini bisa bertahan di zaman yang serba modern seperti sekarang?" tanya Didimus dengan nada serius.
"Didimus, teknologi modern memang penting, tetapi jangan pernah meremehkan kearifan lokal. Keduanya bisa berjalan beriringan, saling melengkapi," jawab Pak Abraham dengan tegas.
Diskusi pun menjadi semakin intens namun tetap penuh rasa hormat terhadap kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti.
"Josefa, menurutmu apa yang bisa kita lakukan untuk menggabungkan kearifan lokal ini dengan ilmu yang kita pelajari di sekolah?" tanya Didimus sambil menatap sahabatnya.
"Aku pikir, kita bisa mulai dengan melakukan penelitian kecil-kecilan di kampung. Menggabungkan teknik modern dengan metode tradisional. Siapa tahu, kita bisa menemukan cara baru yang lebih efektif," jawab Josefa dengan penuh semangat.
Di tengah pesta yang meriah, Josefa merasa bahagia dapat berbagi pemikiran dengan penduduk kampung yang penuh pengalaman ini. Ia menyadari bahwa perjalanan pencariannya akan ilmu pertanian tidak akan mudah, tetapi Pesta Adat Dambu telah membuka pintu awal yang penting baginya untuk memahami lebih dalam akan kekayaan budaya dan alam di kampung halamannya, serta menemukan jawaban atas pertanyaannya tentang tanaman Dambu yang begitu istimewa.
"Terima kasih banyak, Pak Abraham, Bu Rosa. Percakapan ini sangat berharga bagi kami," ucap Josefa dengan tulus.
"Sama-sama, Josefa. Kalian adalah generasi penerus kami. Teruslah belajar dan jaga alam kita," kata Bu Rosa sambil menepuk bahu Josefa dengan penuh kasih sayang.
Episode 06: Kekaguman Josefa