Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Novel] Menapak Jejak di Kimaan: Episode 03-04

13 September 2024   06:05 Diperbarui: 15 September 2024   02:10 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode 03: Ritual dan Tradisi

Pesta Adat Dambu menjadi momen sakral bagi masyarakat Marind Anim di Kampung Tabonji, Pulau Kimaam, tahun 2008. Ritual yang diwarisi secara turun-temurun ini tidak hanya sekadar perayaan, tetapi juga wujud penghormatan pada leluhur dan alam sekitar yang melimpah.

Pagi itu, sebelum matahari mencapai puncaknya, penduduk kampung telah sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk acara yang ditunggu-tunggu ini. Di tepi pantai, pohon-pohon kelapa dihiasi dengan daun-daun rumbia yang teranyam rapi, menciptakan corak warna-warni yang menawan. Di sekitar balai adat, beberapa sesepuh berkumpul untuk memimpin prosesi ritual yang akan dilakukan dalam beberapa jam ke depan.

"Josefa, lihat betapa indahnya hiasan di pohon kelapa itu!" seru adiknya, Mikael, dengan mata berbinar.

"Benar, Mikael. Mereka benar-benar bekerja keras untuk membuat semuanya sempurna," jawab Josefa sambil tersenyum.

Josefa menyaksikan dengan penuh kagum bagaimana ibu-ibu muda dari kampung menghias diri mereka dengan motif-motif tatahan tanah yang indah dan berwarna-warni. Mereka mengenakan baju adat yang dipercantik dengan manik-manik dan bulu burung cendrawasih, menjadikan mereka tampak anggun dan memesona di antara kerumunan yang semakin ramai.

"Kakak, apakah aku juga akan terlihat secantik mereka ketika besar nanti?" tanya adik perempuannya, Lina, dengan penuh harap.

"Tentu saja, Lina. Kamu akan menjadi lebih cantik dari mereka," kata Josefa sambil mengelus rambut adiknya.

Ritual dimulai dengan doa syukur yang dipimpin oleh sesepuh tertua dari kampung. Mereka berdiri di hadapan altar sederhana yang terbuat dari batu-batu besar yang diatur dengan rapi. Suara mereka terdengar merdu, menggema di antara pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar kampung. Josefa menutup matanya sejenak, merasakan kekuatan spiritual yang mengalir begitu kuat di tempat ini.

"Josefa, mari kita berdoa bersama," bisik ibunya, Maria, sambil menggenggam tangan putrinya.

"Ya, Ibu," jawab Josefa sambil menundukkan kepala, mengikuti doa dengan khidmat.

Setelah doa selesai, para pemuda kampung memulai upacara adat dengan menari-nari mengelilingi api unggun yang dipelihara dengan hati-hati. Mereka mengenakan topi bulu burung dan celana pendek khas, melompat-lompat dengan gerakan yang ritmis dan enerjik, mencerminkan semangat hidup dan kebersamaan mereka sebagai satu kesatuan.

"Wow, tarian mereka luar biasa! Aku ingin bisa menari seperti itu suatu hari nanti," kata Josefa penuh semangat kepada temannya, Matius, yang duduk di sebelahnya.

"Kau pasti bisa, Josefa. Aku tahu kau punya bakat," jawab Matius dengan penuh keyakinan.

Puncak dari Pesta Adat Dambu adalah saat penampilan tarian Dambu yang menakjubkan. Para penari, yang terdiri dari pemuda dan pemudi yang telah dilatih secara khusus, menghadirkan gerakan-gerakan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di kampung Tabonji. Ritme alat musik tradisional seperti tifa dan ukulele mengiringi langkah-langkah mereka, menciptakan harmoni yang begitu memikat hati.

"Josefa, lihatlah gerakan mereka. Sungguh memukau!" kata kakaknya, Tania, dengan kagum.

"Ya, Kak. Mereka benar-benar menghidupkan cerita dari tarian ini," jawab Josefa dengan mata yang berbinar.

Josefa duduk bersama keluarganya, mata tak lepas dari pertunjukan yang memukau itu. Ia merasa terhubung dengan akar budayanya yang kaya, merasakan betapa pentingnya melestarikan tradisi yang telah mengikat komunitas Marind Anim selama berabad-abad lamanya. Pesta Adat Dambu tidak hanya menjadi perayaan, tetapi juga cerminan dari kearifan lokal yang terus hidup dan berkembang di tengah tantangan zaman modern.

"Josefa, kita harus terus melestarikan tradisi ini, agar anak cucu kita kelak juga bisa merasakannya," kata ayahnya, Daniel, dengan suara penuh harapan.

"Ya, Ayah. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik untuk menjaga warisan ini," jawab Josefa dengan tekad yang kuat.

Episode o4: Keajaiban Ubi Raksasa

Suasana Pesta Adat Dambu di Kampung Tabonji, Pulau Kimaam, tahun 2008, semakin mempesona Josefa saat ia mendapati keajaiban tanaman ubi yang ditanam oleh penduduk kampung. Ubi-ubi tersebut begitu besar dan subur, bahkan tanpa menggunakan teknik pertanian modern yang umumnya diajarkan di sekolah-sekolah.

"Josefa, lihatlah ubi-ubi ini. Besar sekali, bukan?" tanya adiknya, Mikael, sambil menunjuk ubi yang hampir seukuran kepalanya.

"Ya, Mikael. Aku belum pernah melihat ubi sebesar ini sebelumnya. Bagaimana mungkin mereka bisa tumbuh sebaik ini tanpa teknologi modern?" balas Josefa dengan tatapan kagum.

Josefa memandang ubi-ubi yang tumbuh dengan kokoh di ladang-ladang kecil di pinggir kampung. Beberapa ubi bahkan memiliki ukuran yang lebih besar dari biasanya, yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin penduduk kampung mampu menghasilkan tanaman dengan kualitas yang begitu luar biasa tanpa bantuan teknologi modern.

Di antara keramaian Pesta Adat Dambu, Josefa mencoba mendekati beberapa orang tua di kampung yang dikenalnya sejak kecil. Mereka tersenyum ramah pada Josefa, menawarkan cerita dan pengetahuan mereka tentang tanaman Dambu yang menjadi kebanggaan kampung. Mereka menjelaskan bahwa rahasia keberhasilan tanaman ini terletak pada pengetahuan turun-temurun yang mereka terima dari nenek moyang mereka.

"Josefa, sudah lama tidak melihatmu. Apa yang membuatmu tertarik dengan tanaman ubi ini?" tanya Mbah Yosef sambil tersenyum.

"Selamat sore, Mbah. Aku sangat penasaran bagaimana bisa ubi-ubi ini tumbuh begitu subur tanpa teknologi modern. Apa rahasianya, Mbah?" jawab Josefa dengan antusias.

Salah seorang sesepuh, Mbah Yosef, bercerita panjang lebar kepada Josefa tentang tradisi dan teknik yang mereka gunakan dalam bercocok tanam. Mereka tidak hanya mengandalkan pupuk alami dari sisa-sisa tumbuhan dan kotoran hewan, tetapi juga memahami secara mendalam siklus alam dan kebutuhan tanaman. Mereka menjaga kesuburan tanah dengan cara-cara yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi, tanpa pernah mengabaikan keberadaan dan kekuatan alam.

"Rahasia kami, Josefa, terletak pada harmoni dengan alam. Kami memperhatikan siklus bulan, musim hujan, dan kemarau. Setiap tanaman memiliki waktunya sendiri untuk tumbuh subur," jelas Mbah Yosef sambil menunjukkan ladang ubi yang rimbun.

Josefa mendengarkan dengan penuh antusiasme, mencatat setiap kata yang diucapkan oleh Mbah Yosef dan para sesepuh lainnya. Ia semakin yakin bahwa keberhasilan pertanian tidak selalu bergantung pada teknologi modern. Ada kearifan lokal yang belum sepenuhnya dimengerti oleh ilmu pengetahuan konvensional, tetapi memiliki dampak yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat kampung.

"Mbah, apakah semua ini diajarkan dari generasi ke generasi?" tanya Josefa lagi.

"Benar sekali, Josefa. Pengetahuan ini adalah warisan berharga dari leluhur kami. Mereka telah mencoba dan menguji metode ini selama bertahun-tahun, dan kami hanya melanjutkan tradisi itu," jawab Mbah Yosef sambil tersenyum bijak.

Saat matahari mulai meredup dan suasana pesta mencapai puncaknya dengan tarian dan nyanyian yang meriah, Josefa tetap terdiam dalam pemikiran. Ia telah menemukan titik awal dari perjalanan pencariannya akan ilmu pertanian, yang tidak hanya melibatkan teknologi modern tetapi juga menghargai dan mempelajari kearifan lokal yang telah teruji selama berabad-abad di tanah Papua.

"Ibu, Ayah, aku merasa kita memiliki banyak hal untuk dipelajari dari kearifan lokal ini. Mungkin ini bisa menjadi solusi untuk pertanian yang lebih baik," kata Josefa kepada orang tuanya.

"Aku setuju, Josefa. Kearifan lokal ini adalah kekayaan kita yang tak ternilai. Kita harus melestarikannya dan belajar darinya," jawab Daniel dengan penuh keyakinan, diikuti anggukan setuju dari Maria.

Malam itu, Josefa merasa semangatnya semakin menggebu. Di balik keajaiban ubi yang tumbuh subur di ladang-ladang kecil kampungnya, ia melihat harapan dan masa depan yang cerah untuk pertanian yang berkelanjutan, berpadu harmonis dengan alam dan warisan leluhur.

Bersambung

Merauke, 13 September 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun