Suasana Pesta Adat Dambu di Kampung Tabonji, Pulau Kimaam, tahun 2008, semakin mempesona Josefa saat ia mendapati keajaiban tanaman ubi yang ditanam oleh penduduk kampung. Ubi-ubi tersebut begitu besar dan subur, bahkan tanpa menggunakan teknik pertanian modern yang umumnya diajarkan di sekolah-sekolah.
"Josefa, lihatlah ubi-ubi ini. Besar sekali, bukan?" tanya adiknya, Mikael, sambil menunjuk ubi yang hampir seukuran kepalanya.
"Ya, Mikael. Aku belum pernah melihat ubi sebesar ini sebelumnya. Bagaimana mungkin mereka bisa tumbuh sebaik ini tanpa teknologi modern?" balas Josefa dengan tatapan kagum.
Josefa memandang ubi-ubi yang tumbuh dengan kokoh di ladang-ladang kecil di pinggir kampung. Beberapa ubi bahkan memiliki ukuran yang lebih besar dari biasanya, yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin penduduk kampung mampu menghasilkan tanaman dengan kualitas yang begitu luar biasa tanpa bantuan teknologi modern.
Di antara keramaian Pesta Adat Dambu, Josefa mencoba mendekati beberapa orang tua di kampung yang dikenalnya sejak kecil. Mereka tersenyum ramah pada Josefa, menawarkan cerita dan pengetahuan mereka tentang tanaman Dambu yang menjadi kebanggaan kampung. Mereka menjelaskan bahwa rahasia keberhasilan tanaman ini terletak pada pengetahuan turun-temurun yang mereka terima dari nenek moyang mereka.
"Josefa, sudah lama tidak melihatmu. Apa yang membuatmu tertarik dengan tanaman ubi ini?" tanya Mbah Yosef sambil tersenyum.
"Selamat sore, Mbah. Aku sangat penasaran bagaimana bisa ubi-ubi ini tumbuh begitu subur tanpa teknologi modern. Apa rahasianya, Mbah?" jawab Josefa dengan antusias.
Salah seorang sesepuh, Mbah Yosef, bercerita panjang lebar kepada Josefa tentang tradisi dan teknik yang mereka gunakan dalam bercocok tanam. Mereka tidak hanya mengandalkan pupuk alami dari sisa-sisa tumbuhan dan kotoran hewan, tetapi juga memahami secara mendalam siklus alam dan kebutuhan tanaman. Mereka menjaga kesuburan tanah dengan cara-cara yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi, tanpa pernah mengabaikan keberadaan dan kekuatan alam.
"Rahasia kami, Josefa, terletak pada harmoni dengan alam. Kami memperhatikan siklus bulan, musim hujan, dan kemarau. Setiap tanaman memiliki waktunya sendiri untuk tumbuh subur," jelas Mbah Yosef sambil menunjukkan ladang ubi yang rimbun.
Josefa mendengarkan dengan penuh antusiasme, mencatat setiap kata yang diucapkan oleh Mbah Yosef dan para sesepuh lainnya. Ia semakin yakin bahwa keberhasilan pertanian tidak selalu bergantung pada teknologi modern. Ada kearifan lokal yang belum sepenuhnya dimengerti oleh ilmu pengetahuan konvensional, tetapi memiliki dampak yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat kampung.
"Mbah, apakah semua ini diajarkan dari generasi ke generasi?" tanya Josefa lagi.