Namun, perjalanan ini tidak mudah. Ada hari-hari Maria merasa semuanya terlalu berat untuk ditanggung. Ada saat-saat dia meragukan dirinya sendiri, merasa bahwa semua usaha yang dia lakukan tidak akan pernah cukup untuk menghapus bayangan masa lalu yang gelap. Di saat-saat seperti itu, Maria sering terjebak dalam kenangan-kenangan yang menghantui, mengingat kembali malam-malam panjang ketika dia hanya bisa bersembunyi dan berharap bahwa badai kemarahan ayahnya akan segera berlalu.
Setiap kali Maria merasa hatinya hampir runtuh, dia akan pergi ke tepi sungai yang mengalir di dekat rumahnya. Di sana, di bawah naungan pohon-pohon besar, dia duduk sendirian, membiarkan air mata yang selama ini dia tahan mengalir bersama aliran sungai. Dalam kesendirian itu, dia menemukan kekuatan baru, sebuah dorongan yang berasal dari dalam dirinya sendiri untuk terus maju, tidak peduli betapa sulitnya perjalanan ini.
Primus, di sisi lain, mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Senyuman kecil mulai sering menghiasi wajahnya, meskipun masih terselip rasa takut di dalam tatapannya. Maria tahu bahwa proses penyembuhan ini akan memakan waktu, tetapi dia tidak akan menyerah. Dia terus memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan oleh Primus, memastikan bahwa anak itu tidak akan merasa sendirian lagi.
Suatu sore, ketika Maria sedang mengajar, Primus tiba-tiba berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati papan tulis. Semua mata tertuju padanya, dan untuk pertama kalinya, dia mengangkat tangannya untuk berbicara.
"Ibu Maria," katanya dengan suara yang masih sedikit gemetar, "Terima kasih sudah ada untuk saya. Saya tahu saya masih takut, tapi Ibu membuat saya merasa tidak sendiri."
Maria merasakan air matanya menggenang di sudut matanya. Dia tersenyum, kali ini dengan senyuman yang datang dari kedalaman hatinya, penuh dengan ketulusan dan harapan. "Kau tidak perlu berterima kasih, Primus. Aku di sini untukmu, dan aku selalu akan ada di sini."
Setelah itu, hari-hari di sekolah menjadi lebih cerah. Primus mulai lebih banyak berbicara dengan teman-temannya, dan bahkan mulai tertawa kecil di sela-sela pelajaran. Melihat perubahan ini, Maria merasakan kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Luka di hatinya masih ada, tetapi kini tidak lagi menyakitkan seperti dulu. Luka itu telah berubah menjadi sebuah pengingat akan kekuatan yang dia temukan di dalam dirinya sendiri, sebuah kekuatan yang dia bagi dengan Primus.
Namun, Maria juga menyadari bahwa perjalanan ini masih panjang. Masih ada banyak malam dia terjaga, merasakan ketakutan yang datang tanpa diundang, masih ada saat-saat bayangan masa lalunya kembali menghantui. Tapi kini, dia tidak lagi melarikan diri. Dia tidak lagi bersembunyi di balik senyumannya. Dia hadapi semua itu dengan keberanian baru. Dia tahu bahwa dia tidak sendiri. Ada Diana, ada Primus, dan ada cinta yang dia temukan kembali dalam dirinya.
Sore itu, Maria duduk di tepi sungai favoritnya, memandang air yang mengalir tenang. Dia tersenyum, bukan lagi untuk menyembunyikan luka, tapi karena telah menemukan kedamaian di tengah semua badai yang pernah melanda hidupnya. Senyum itu adalah tanda dari penerimaan, dari pengampunan terhadap masa lalunya, dan dari cinta yang dia miliki untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
"Senyuman ini adalah milikku," bisiknya pada dirinya sendiri, "dan aku akan terus tersenyum, bukan karena aku ingin menyembunyikan luka, tapi karena aku telah berhasil melampauinya."
Maria bangkit, meninggalkan sungai itu untuk kembali ke kehidupannya, ke sekolah, ke Primus, dan ke masa depan yang kini terasa lebih cerah, dengan luka yang telah menjadi bagian dari dirinya, bukan untuk disingkirkan, tetapi untuk diterima dengan penuh keberanian dan cinta. (*)