Di sebuah kota kecil di Provinsi Papua Selatan, yang diselimuti rimbun pepohonan dan suara gemericik sungai yang tiada henti mengalir, hidup seorang wanita bernama Maria. Kota itu begitu tenang, hingga burung-burung berkicau seolah tak ada yang bisa mengganggu ketenteraman mereka. Di tempat inilah, di antara pepohonan tinggi dan hamparan ladang, Maria menjalani hari-harinya sebagai seorang guru di sekolah dasar di pedalaman.
Setiap pagi, Maria berjalan melewati jalan setapak yang membelah hutan, dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Dia dikenal oleh semua orang di kota itu sebagai sosok yang ceria, selalu siap menolong, dan penuh kasih sayang terhadap anak-anak yang dia ajar. Tak ada yang pernah melihat Maria marah atau menangis. Wajahnya adalah cermin kebahagiaan, dan senyumannya adalah sinar yang menghangatkan hati siapa saja yang melihatnya.
Namun, senyuman Maria bukanlah semata-mata tanda kebahagiaan. Di balik lengkungan bibirnya yang lembut, tersimpan luka yang begitu dalam, tertanam di masa lalu yang tak ingin diungkapkannya. Maria tahu betul bahwa senyuman itu adalah benteng yang ia bangun untuk melindungi dirinya dari dunia, sebuah topeng yang ia kenakan agar orang lain tak perlu tahu betapa perih hatinya.
Suatu hari, di sekolah dasar tempat Maria mengajar, seorang siswa bernama Primus datang terlambat. Dia adalah anak yang pendiam, lebih sering menunduk daripada menatap lurus ke depan. Tubuhnya kurus dan ada lingkaran hitam di bawah matanya, seakan dia tidak cukup tidur.
Primus selalu duduk di bangku paling belakang, jarang sekali berbicara, bahkan dengan teman-temannya. Maria, dengan nalurinya sebagai seorang guru, tahu ada sesuatu yang tidak beres pada Primus. Dia mengingat betapa terlukanya hati seseorang saat harus memendam segala kesedihan sendirian, dan dia merasa ada kewajiban moral untuk menolong anak itu.
"Primus, apakah kau baik-baik saja?" tanya Maria suatu siang setelah kelas usai, ketika hanya tinggal mereka berdua di dalam ruangan yang sepi. Matahari sore masuk melalui jendela, menerangi wajah Primus yang kusam.
Primus mengangguk pelan, namun tatapan matanya tak bisa menyembunyikan kegelapan yang ada di dalam hatinya. Maria berusaha tersenyum, mencoba memberikan kehangatan yang bisa menembus dinding yang telah dibangun anak itu di sekeliling hatinya.
"Kau tahu, aku selalu ada di sini jika kau ingin berbicara. Apa pun yang kau rasakan, aku tidak akan marah, dan aku tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun."
Primus diam, hanya menunduk semakin dalam. Di dalam hatinya, Maria merasa sakit. Dia tahu benar perasaan itu---perasaan ingin berbicara tetapi takut, perasaan ingin menangis tetapi tidak berani. Dia merasakan bayangan masa lalunya yang gelap mulai merayap naik ke permukaan, dan dengan segenap kekuatannya, dia menahannya.
"Tidak apa-apa, Primus," kata Maria lembut. "Kau tidak harus bicara sekarang. Tapi ingatlah, aku di sini untukmu."
Beberapa hari berlalu, dan Primus tetap diam. Namun, setiap kali Maria mengajaknya berbicara, dia mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Sampai suatu hari, Primus datang ke sekolah dengan wajah yang lebam, dengan langkah yang tertatih-tatih.