Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Antara Amarah dan Kasih, Jalan Tanpa Kebencian

20 Agustus 2024   06:10 Diperbarui: 20 Agustus 2024   06:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebencian dapat merusak tidak hanya hubungan antarindividu, tetapi juga kesehatan mental dan emosional seseorang, karena ia cenderung memperburuk luka emosional daripada menyembuhkannya.

Dampak Negatif Kebencian

Kebencian merusak: Kebencian adalah emosi yang mendalam dan berlarut-larut, sering berkembang dari amarah yang tidak terselesaikan. Dampaknya pada individu dan hubungan sosial bisa sangat merusak. Kebencian dapat menghancurkan hubungan yang paling dekat sekalipun, mengubah cinta atau persahabatan menjadi permusuhan yang penuh dengan rasa dendam dan penolakan. Dari perspektif kesehatan mental, kebencian memiliki dampak yang destruktif. 

Rancangan kebencian yang berlarut-larut dapat menyebabkan stres kronis, kecemasan, dan depresi. Menurut Daniel Goleman (1995), dalam Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ, kebencian dapat memengaruhi keseimbangan kimia otak, memicu respon stres yang berkelanjutan, dan akhirnya merusak kesejahteraan emosional seseorang. Kebencian tidak hanya memengaruhi individu yang merasakannya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, karena sikap permusuhan ini cenderung menular dan menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketegangan dan konflik.

Siklus kebencian: Kebencian sering menjadi bagian dari lingkaran setan yang sulit diputuskan. Seseorang yang merasakan kebencian cenderung bertindak dengan cara yang memperkuat kebencian itu. Tindakan yang didorong oleh kebencian biasanya memicu reaksi negatif dari orang lain, yang pada gilirannya meningkatkan kebencian. Hal ini dapat memunculkan siklus balas dendam yang tak berkesudahan. 

Menurut Jonathan Sacks (2008), dalam The Cycle of Hatred: How Individual and Group Phobias Can Destroy Democracy, kebencian adalah kekuatan yang menggerogoti tatanan sosial dengan menciptakan perpecahan yang mendalam. 

Dengan kata lain, kebencian bagaikan "api yang membakar tanpa pernah puas." Selain itu, kebencian sering didasarkan pada stereotip, prasangka, atau pengalaman negatif masa lalu, yang memperkuat persepsi negatif tentang orang lain atau kelompok tertentu. Ini menyebabkan penolakan terhadap dialog atau penyelesaian damai, memperpanjang konflik dan perpecahan.

Konflik dan kekerasan: Kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu yang menyebar dapat meledak menjadi kekerasan fisik, diskriminasi, atau bahkan genosida. Misalnya genosida Rwanda pada tahun 1994, yang menyebabkan kematian lebih dari 800.000 orang dalam waktu kurang dari 100 hari. 

Kebencian yang terlembagakan dapat memicu kebijakan diskriminatif, segregasi, dan pengucilan kelompok-kelompok tertentu dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini memperdalam perpecahan sosial dan menciptakan lingkungan sehingga kekerasan menjadi seolah-olah solusi yang sah. Dalam konteks ini, kebencian bukan lagi hanya emosi individu, tetapi menjadi kekuatan kolektif yang merusak harmoni sosial dan membahayakan kehidupan manusia. 

Menurut Martha Nussbaum (2018), dalam The Monarchy of Fear: A Philosopher Looks at Our Political Crisis, kebencian dalam politik adalah akar dari banyak ketidakadilan yang terjadi di dunia, karena ia memicu dan membenarkan tindakan kekerasan terhadap mereka yang dianggap sebagai "musuh".

Mengelola Amarah Tanpa Kebencian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun