Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Antara Amarah dan Kasih, Jalan Tanpa Kebencian

20 Agustus 2024   06:10 Diperbarui: 20 Agustus 2024   06:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Amarah adalah emosi dasar yang muncul sebagai respons terhadap rasa sakit atau ketidakadilan. Meskipun sering dianggap sebagai penyebab kebencian, amarah dapat berfungsi sebagai sinyal bahwa sesuatu perlu ditangani. 

Artikel ini menjelaskan bahwa amarah tidak harus berkembang menjadi kebencian yang merusak; jika dikelola dengan baik, ia dapat membuka jalan menuju kasih dan perdamaian. Dengan pendekatan yang bijak, kita dapat menggunakan amarah secara produktif, menciptakan ruang untuk rekonsiliasi dan menghindari konflik berlarut-larut.

Memahami Emosi Marah

Definisi marah: Marah adalah emosi universal dan alami yang muncul sebagai respons terhadap ancaman, ketidakadilan, atau rasa sakit. Menurut Karla McLaren (2010), dalam The Language of Emotions: What Your Feelings Are Trying to Tell You, marah adalah sinyal internal yang menandakan perlunya perhatian atau perubahan dalam hidup. 

Emosi ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan, melindungi individu dari potensi bahaya atau ancaman yang dirasakan terhadap kesejahteraannya.

 Dalam konteks yang lebih luas, Paul Ekman (1999), dalam Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to Improve Communication and Emotional Life, menyebutkan marah sebagai salah satu dari enam emosi dasar yang berfungsi sebagai respons adaptif ketika hak atau kebutuhan seseorang dilanggar. 

Dengan demikian, marah tidak hanya tentang perasaan tidak senang, tetapi juga energi yang diciptakan untuk menghadapi tantangan atau ancaman tertentu.

Peran marah dalam kehidupan: Meskipun sering dianggap negatif, marah memiliki peran penting ketika dikelola dengan bijak. Marah bisa menjadi katalis untuk perubahan positif dan membantu menetapkan batasan yang sehat. ketika dikelola dengan tepat, marah dapat membantu individu menetapkan batasan yang sehat dan menegaskan dirinya dalam situasi yang menuntut keberanian atau ketegasan. 

Harriet Lerner (1985), dalam The Dance of Anger: A Woman's Guide to Changing the Patterns of Intimate Relationships, menyebut marah sebagai sinyal penting yang mendorong individu untuk memperbaiki situasi yang salah, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

Perbedaan marah dan kebencian: Marah adalah emosi sementara yang terkait dengan reaksi spontan terhadap situasi tertentu, sedangkan kebencian adalah emosi yang lebih mendalam dan bertahan lama. Kebencian sering muncul dari marah yang tidak terselesaikan dan berkembang menjadi perasaan yang lebih kompleks dan merusak. 

Menurut Robert Solomon (2007), dalam True to Our Feelings: What Our Emotions Are Really Telling Us, marah muncul dari peristiwa spesifik, sementara kebencian berkembang dari marah yang tidak terselesaikan dan cenderung merusak kesehatan mental dan hubungan antarindividu.

Kebencian dapat merusak tidak hanya hubungan antarindividu, tetapi juga kesehatan mental dan emosional seseorang, karena ia cenderung memperburuk luka emosional daripada menyembuhkannya.

Dampak Negatif Kebencian

Kebencian merusak: Kebencian adalah emosi yang mendalam dan berlarut-larut, sering berkembang dari amarah yang tidak terselesaikan. Dampaknya pada individu dan hubungan sosial bisa sangat merusak. Kebencian dapat menghancurkan hubungan yang paling dekat sekalipun, mengubah cinta atau persahabatan menjadi permusuhan yang penuh dengan rasa dendam dan penolakan. Dari perspektif kesehatan mental, kebencian memiliki dampak yang destruktif. 

Rancangan kebencian yang berlarut-larut dapat menyebabkan stres kronis, kecemasan, dan depresi. Menurut Daniel Goleman (1995), dalam Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ, kebencian dapat memengaruhi keseimbangan kimia otak, memicu respon stres yang berkelanjutan, dan akhirnya merusak kesejahteraan emosional seseorang. Kebencian tidak hanya memengaruhi individu yang merasakannya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, karena sikap permusuhan ini cenderung menular dan menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketegangan dan konflik.

Siklus kebencian: Kebencian sering menjadi bagian dari lingkaran setan yang sulit diputuskan. Seseorang yang merasakan kebencian cenderung bertindak dengan cara yang memperkuat kebencian itu. Tindakan yang didorong oleh kebencian biasanya memicu reaksi negatif dari orang lain, yang pada gilirannya meningkatkan kebencian. Hal ini dapat memunculkan siklus balas dendam yang tak berkesudahan. 

Menurut Jonathan Sacks (2008), dalam The Cycle of Hatred: How Individual and Group Phobias Can Destroy Democracy, kebencian adalah kekuatan yang menggerogoti tatanan sosial dengan menciptakan perpecahan yang mendalam. 

Dengan kata lain, kebencian bagaikan "api yang membakar tanpa pernah puas." Selain itu, kebencian sering didasarkan pada stereotip, prasangka, atau pengalaman negatif masa lalu, yang memperkuat persepsi negatif tentang orang lain atau kelompok tertentu. Ini menyebabkan penolakan terhadap dialog atau penyelesaian damai, memperpanjang konflik dan perpecahan.

Konflik dan kekerasan: Kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu yang menyebar dapat meledak menjadi kekerasan fisik, diskriminasi, atau bahkan genosida. Misalnya genosida Rwanda pada tahun 1994, yang menyebabkan kematian lebih dari 800.000 orang dalam waktu kurang dari 100 hari. 

Kebencian yang terlembagakan dapat memicu kebijakan diskriminatif, segregasi, dan pengucilan kelompok-kelompok tertentu dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini memperdalam perpecahan sosial dan menciptakan lingkungan sehingga kekerasan menjadi seolah-olah solusi yang sah. Dalam konteks ini, kebencian bukan lagi hanya emosi individu, tetapi menjadi kekuatan kolektif yang merusak harmoni sosial dan membahayakan kehidupan manusia. 

Menurut Martha Nussbaum (2018), dalam The Monarchy of Fear: A Philosopher Looks at Our Political Crisis, kebencian dalam politik adalah akar dari banyak ketidakadilan yang terjadi di dunia, karena ia memicu dan membenarkan tindakan kekerasan terhadap mereka yang dianggap sebagai "musuh".

Mengelola Amarah Tanpa Kebencian

Teknik pengendalian diri: Salah satu metode yang paling dikenal adalah meditasi. Meditasi, terutama jenis mindfulness meditation, telah terbukti membantu individu untuk lebih sadar akan emosinya tanpa terbawa arus. 

Meditasi membantu menenangkan pikiran dan memperlambat reaksi emosional, memberikan ruang bagi individu untuk merespons dengan lebih bijaksana. Selain itu, komunikasi yang efektif dan asertif memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan perasaan marah tanpa menyerang atau menyakiti orang lain.

Memaafkan tanpa melupakan: Memaafkan bukan berarti melupakan atau membenarkan tindakan yang salah, melainkan memilih untuk tidak membiarkan emosi negatif menguasai hidup kita. Menurut Everett L. Worthington Jr. (2007), dalam Forgiveness and Reconciliation: How to Heal Your Heart and Your Life, (2007) memaafkan adalah proses aktif ketika seseorang memutuskan untuk melepaskan amarah dan kebencian, menggantinya dengan pengertian dan rekonsiliasi. 

Memaafkan memungkinkan individu untuk membebaskan diri dari beban emosional, yang jika dibiarkan, dapat berkembang menjadi kebencian yang merusak. Selanjutnya, memaafkan seseorang atau suatu situasi adalah melepaskan diri dari pengaruh negatif emosi, sementara tetap mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut. Ini memungkinkan individu untuk melanjutkan hidup tanpa terbebani oleh dendam, tetapi tetap waspada terhadap situasi serupa di masa depan.

Menyalurkan amarah secara positif: Salah satu cara untuk menyalurkan amarah secara konstruktif adalah melalui advokasi sosial atau perubahan kebijakan. Amarah yang didorong oleh rasa ketidakadilan dapat digunakan untuk memotivasi tindakan yang mengarah pada perbaikan sosial. 

Selain itu, menyalurkan amarah ke dalam kreativitas juga bisa menjadi cara yang efektif untuk mengelola emosi ini tanpa membiarkan kebencian berkembang. Banyak seniman, penulis, dan musisi menggunakan amarah mereka sebagai bahan bakar untuk menciptakan karya yang tidak hanya memiliki nilai artistik, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan yang kuat tentang keadilan sosial dan kemanusiaan.

Kasih sebagai Alternatif

Kasih yang melampaui amarah: Kasih melampaui amarah karena ia berakar pada pengertian dan pengampunan, bukan pada balas dendam atau keinginan untuk menghancurkan. Menurut Paus Benediktus XVI, dalam Deus Caritas Est (2005), "Kasih adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah musuh menjadi sahabat." 

Kasih tidak hanya mengatasi amarah, tetapi juga memurnikannya, mengubahnya menjadi dorongan untuk memahami dan berdialog, bahkan "mengasihi musuh" (Mat 5:44). Ini menunjukkan bahwa kasih bukan sekadar respons pasif, melainkan tindakan aktif untuk mengatasi kebencian dengan cara yang jauh lebih positif dan transformatif.

Hasil dari kasih: Kasih membawa damai, mengurangi stres, dan menciptakan hubungan yang lebih baik antarindividu dan komunitas. Kasih juga memiliki kekuatan untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan membangun kembali masyarakat yang terpecah. 

Paus Fransiskus, dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020), menekankan pentingnya kasih sebagai dasar persaudaraan dan solidaritas global. Beliau mengingatkan bahwa kasih harus menjadi prinsip yang mendasari semua tindakan sosial, politik, dan ekonomi, karena hanya dengan kasih kita bisa mencapai kedamaian sejati dan mengatasi kebencian yang memecah belah dunia.

Paparan dalam artikel ini menunjukkan bahwa amarah adalah emosi yang kuat dan sering menantang. Memahami perbedaannya dengan kebencian dan belajar mengelolanya dengan bijak dapat mencegah kita terjerumus ke dalam siklus negatif. Amarah yang disalurkan dengan benar dapat menjadi konstruktif, sementara kebencian yang tidak terkendali dapat menyebabkan kehancuran. 

Kasih melampaui amarah dan terbukti sebagai respons yang lebih sehat, mampu menyelesaikan konflik dan mendorong perubahan positif di tingkat pribadi dan masyarakat. 

Dengan memahami amarah dan dampak dari kebencian secara mendalam, kita didorong untuk mengelola amarah dengan bijak dan memilih kasih sebagai alternatif yang konstruktif. Pada akhirnya, memilih kasih tidak hanya meredakan amarah, tetapi juga membantu menciptakan masa depan yang lebih baik dan mempromosikan kemanusiaan dan perdamaian sejati. (*)

Merauke, 20 Agustus 2024

Agustinus Gereda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun