Ketika mereka sampai di desa, penduduk yang awalnya ketakutan melihat kedatangan mereka, segera menyadari bahwa ada yang berbeda. Aleksius berjalan ke depan, tanpa senjata terangkat, dengan tangan terbuka, ia berbicara kepada mereka.
"Ini adalah rumah kita," katanya dengan suara yang penuh tekad. "Kita tidak akan membiarkan siapapun menghancurkannya."
Penduduk desa, yang awalnya ragu, mulai melihat keberanian di mata Aleksius. Mereka berkumpul, dengan senjata seadanya, mereka mempersiapkan diri untuk melawan. Aleksius, bersama para pemuda yang bersamanya, memimpin pertahanan desa itu. Mereka menggali parit, menyiapkan jebakan, dan merancang strategi untuk menghadapi kelompok bersenjata Kapten Markus.
Ketika serangan itu akhirnya datang, desa Wamena telah siap. Aleksius, dengan segala kemampuannya, mengatur serangan balik yang mengejutkan Kapten Markus dan pasukannya. Mereka tidak menyangka bahwa desa yang kecil dan terpencil itu bisa memberikan perlawanan yang begitu sengit. Dengan keberanian yang tiada tara, penduduk desa melawan dengan segala yang mereka miliki.
Pertempuran itu berlangsung lama dan penuh darah. Jeritan dan denting senjata bercampur dengan suara alam yang tak henti-hentinya bernyanyi. Langit yang semula biru berubah menjadi kelabu, seolah meratap atas darah yang tumpah di tanah yang pernah damai itu. Namun, meski kalah jumlah dan persenjataan, keberanian dan tekad penduduk desa Wamena tidak pernah goyah.
Di tengah pertempuran, Aleksius melihat Kapten Markus, yang marah dan bingung dengan pembelotan anak buahnya sendiri. Dengan satu tekad, Aleksius mendekati Kapten Markus, dan terjadilah pertempuran sengit antara keduanya. Mereka bertarung bukan hanya dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan seluruh beban moral yang mereka bawa.
Kapten Markus, yang dulu begitu dikagumi Aleksius, kini menjadi simbol dari semua yang ia benci. Dengan segenap kekuatannya, Aleksius berhasil mengalahkan Kapten Markus, mengakhiri kekuasaan tirani yang selama ini menindas desanya. Dengan kematian Kapten Markus, perlawanan kelompok bersenjatanya pun runtuh.
Saat matahari mulai terbenam, meninggalkan semburat merah di cakrawala, pertempuran itu berakhir. Desa Wamena berhasil bertahan, meski dengan harga yang mahal. Banyak dari mereka yang gugur, namun Aleksius tahu, perjuangan mereka tidak sia-sia. Mereka telah mempertahankan tanah mereka, dan yang lebih penting, mereka telah mempertahankan martabat mereka sebagai manusia merdeka.
Aleksius berdiri di tengah desa, dengan tubuh yang penuh luka namun dengan hati yang kini bebas dari belenggu. Di sekelilingnya, penduduk desa berkumpul, dengan mata yang penuh rasa syukur dan penghormatan. Di antara mereka, Mama Maria dan Yosephine datang menghampiri, dengan mata yang basah oleh air mata kebahagiaan.
"Aleksius, anakku," kata Mama Maria dengan suara lembut. "Kau telah kembali kepada kami."
Aleksius tersenyum, sebuah senyum yang telah lama hilang dari wajahnya. Ia memeluk ibunya, merasakan hangatnya pelukan yang ia rindukan selama ini. Yosephine, yang selama ini penuh ketakutan, kini melihat kakaknya dengan kebanggaan yang baru.