Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Seorang Pengkhianat

18 Agustus 2024   06:10 Diperbarui: 18 Agustus 2024   06:13 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam dekapan lembut pegunungan Papua yang hijau, tersembunyi sebuah desa yang memegang erat setiap kenangan akan masa lalu. Kampung Wamena, yang tersembunyi di antara rimbunnya hutan dan tebing-tebing terjal, menyimpan jejak-jejak kehidupan yang penuh dengan kisah haru dan perjuangan. Di sini, di bawah langit yang menjuntai biru, di bawah tanah yang memeluk akar-akar tua, hidup seorang pemuda bernama Aleksius.

Aleksius adalah anak sulung dari Mama Maria, seorang wanita bijak yang selalu mengajarkan nilai-nilai adat kepada anak-anaknya. Sejak kecil, Aleksius telah melihat dunia melalui mata yang polos namun tajam. Namun, kemiskinan yang menggenggam desanya begitu erat, membuat setiap langkahnya terasa berat. Ketika penjajah datang dengan janji-janji manis, Aleksius, dengan hati yang penuh harap, tertarik oleh kilauan masa depan yang lebih baik.

"Anak, jangan kau tergoda oleh janji yang manis di luar sana," pesan Mama Maria suatu hari, suaranya serupa angin yang mengalir lembut melalui dedaunan. "Ingat, tanah ini, tanah nenek moyang kita, lebih berharga daripada semua emas yang mereka tawarkan."

Namun, Aleksius yang muda dan penuh ambisi, memilih jalan yang lain. Ia bergabung dengan kelompok bersenjata yang dipimpin oleh Kapten Markus, seorang pria dengan senyum yang mengisyaratkan kuasa. Kelompok ini bekerja di bawah perintah penjajah, menindas rakyatnya sendiri dengan imbalan yang menggiurkan. Aleksius berpikir, dengan bergabung bersama mereka, ia bisa membantu keluarganya keluar dari jurang kemiskinan. Ia bisa memberikan adiknya, Yosephine, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan setiap langkahnya, Aleksius meninggalkan jejak-jejak kebimbangan, yang kelak akan menuntunnya pada jalan penuh duri.

Hari-hari berlalu, dan desa demi desa di bawah kaki pegunungan itu luluh lantak oleh serangan yang dipimpin Aleksius. Ia menjadi tangan kanan Kapten Markus, seorang pemimpin yang keras namun cerdik. Namun, dalam setiap mata yang ia tatap, dalam setiap jeritan yang ia dengar, Aleksius mulai merasakan luka yang semakin dalam di hatinya. Setiap desa yang ia serang bukan hanya tempat tinggal orang asing, tetapi rumah bagi orang-orang yang seharusnya ia lindungi.

Suatu malam, ketika langit Papua berwarna kelabu, Aleksius duduk di tepi sungai yang mengalir tenang di balik desa mereka yang dibakar. Air sungai itu seakan membawa cerita, menyanyikan lagu-lagu lama tentang tanah Papua yang dulu damai. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, mengingatkannya pada masa kecilnya yang damai di kampungnya.

"Apa yang telah aku lakukan?" bisiknya, seolah angin bisa menjawab pertanyaannya. Di balik pikirannya, wajah Yosephine melintas. Adiknya yang dulu ceria kini menjadi pendiam sejak serangan pertama Aleksius terhadap desanya. Di wajahnya tergambar ketakutan dan kekecewaan yang mendalam. Mata Yosephine seakan bertanya tanpa suara, mengapa kakaknya, darah dagingnya sendiri, menjadi musuh yang ia takuti.       

Saat itu, dalam heningnya malam yang dipeluk kabut tebal, Aleksius tahu ia telah memilih jalan yang salah. Namun, ia terperangkap dalam jaring yang ia anyam sendiri. Kapten Markus memegang rahasianya, dan ia tahu bahwa setiap upaya pembelotan akan dibayar dengan nyawa, bukan hanya nyawanya, tetapi nyawa keluarganya.

Aleksius merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Setiap langkah yang ia ambil membawa bayangan kematian dan penyesalan. Namun, ia juga tahu bahwa hanya ada satu jalan keluar dari neraka ini---ia harus melawan, bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga melawan dirinya sendiri, melawan rasa takut yang selama ini membelenggunya.

Ketika Kapten Markus memerintahkannya untuk memimpin serangan ke sebuah desa yang mereka sebut sebagai sarang pemberontak, Aleksius merasa tanah di bawah kakinya runtuh. Desa itu, desa yang harus ia hancurkan, adalah Kampung Wamena, kampung halamannya sendiri.

Aleksius terdiam lama saat menerima perintah itu. Wajah Kapten Markus yang biasanya menenangkan kini tampak seperti setan yang tertawa di dalam api. Hatinya bergolak, seperti ombak yang menghantam karang dengan amarah yang tak terucapkan.

"Apa kau ragu, Aleksius?" tanya Kapten Markus, suaranya dingin dan penuh kecurigaan.

Aleksius menggeleng, namun hatinya berteriak. Ia berpikir tentang Mama Maria, tentang Yosephine, tentang semua kenangan masa kecilnya yang masih terbungkus rapi di kampung itu. Kampung yang pernah menjadi tempat paling aman dan penuh cinta kini akan menjadi medan perang.

Malam itu, di tenda markas mereka yang dingin, Aleksius tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan desa yang terbakar, bayangan tubuh-tubuh yang terkapar tanpa nyawa. Dalam benaknya, ia melihat Mama Maria berlari, mencari perlindungan di antara reruntuhan rumah mereka, memanggil nama Aleksius dengan tangisan yang hancur. Ia melihat Yosephine, bersembunyi di balik dinding kayu yang mulai roboh, dengan mata penuh air mata yang mengalir tanpa henti.

Aleksius menutup matanya dengan keras, mencoba mengusir semua pikiran itu, tapi sia-sia. Ia tahu, keesokan harinya ia harus membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Saat fajar mulai menyapa, dengan sinarnya yang lembut menyinari tanah Papua, Aleksius berdiri di atas tebing yang menghadap ke kampung halamannya. Dari kejauhan, ia melihat asap tipis yang mengepul dari dapur rumah-rumah, tanda kehidupan yang masih berdenyut di sana. Aleksius mengepalkan tangannya, merasakan dingin baja yang menempel di telapak tangannya.

"Ini rumahku," bisiknya, seakan kata-kata itu bisa menguatkan hatinya. "Ini rakyatku."

Dengan napas yang berat, Aleksius memutuskan. Ia tidak akan menyerang desa itu. Ia tidak akan lagi menjadi alat penjajah yang menghancurkan tanah airnya sendiri. Ia akan melawan, bahkan jika itu berarti ia harus mengkhianati orang-orang yang pernah ia anggap sebagai keluarganya.

Aleksius kembali ke markas dengan langkah mantap. Hatinya yang dulu dipenuhi keraguan kini telah berubah menjadi api yang membara. Ia menemui beberapa pemuda desa yang bekerja di bawah perintahnya. Mereka adalah anak-anak yang tumbuh besar bersamanya, yang mengenal setiap sudut desa mereka.

"Kita akan melawan," katanya tegas. "Kita akan melindungi desa kita, bahkan jika itu berarti kita harus melawan Kapten Markus dan seluruh kelompok bersenjata ini."

Mata-mata pemuda itu menyala dengan semangat yang sama. Mereka tahu risiko yang mereka hadapi, tapi mereka juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan rumah mereka. Mereka menyusun rencana, sebuah rencana yang penuh dengan bahaya, tapi juga dengan harapan.

Hari itu, langit Papua seolah menunggu, menahan napas sebelum badai. Kapten Markus, tidak menyadari rencana yang disusun oleh Aleksius, memberi perintah untuk menyerang desa Wamena. Aleksius, dengan hati yang berat namun penuh keberanian, memimpin kelompoknya menuju desa itu. Tapi kali ini, mereka tidak datang sebagai penjajah, melainkan sebagai pelindung.

Ketika mereka sampai di desa, penduduk yang awalnya ketakutan melihat kedatangan mereka, segera menyadari bahwa ada yang berbeda. Aleksius berjalan ke depan, tanpa senjata terangkat, dengan tangan terbuka, ia berbicara kepada mereka.

"Ini adalah rumah kita," katanya dengan suara yang penuh tekad. "Kita tidak akan membiarkan siapapun menghancurkannya."

Penduduk desa, yang awalnya ragu, mulai melihat keberanian di mata Aleksius. Mereka berkumpul, dengan senjata seadanya, mereka mempersiapkan diri untuk melawan. Aleksius, bersama para pemuda yang bersamanya, memimpin pertahanan desa itu. Mereka menggali parit, menyiapkan jebakan, dan merancang strategi untuk menghadapi kelompok bersenjata Kapten Markus.

Ketika serangan itu akhirnya datang, desa Wamena telah siap. Aleksius, dengan segala kemampuannya, mengatur serangan balik yang mengejutkan Kapten Markus dan pasukannya. Mereka tidak menyangka bahwa desa yang kecil dan terpencil itu bisa memberikan perlawanan yang begitu sengit. Dengan keberanian yang tiada tara, penduduk desa melawan dengan segala yang mereka miliki.

Pertempuran itu berlangsung lama dan penuh darah. Jeritan dan denting senjata bercampur dengan suara alam yang tak henti-hentinya bernyanyi. Langit yang semula biru berubah menjadi kelabu, seolah meratap atas darah yang tumpah di tanah yang pernah damai itu. Namun, meski kalah jumlah dan persenjataan, keberanian dan tekad penduduk desa Wamena tidak pernah goyah.

Di tengah pertempuran, Aleksius melihat Kapten Markus, yang marah dan bingung dengan pembelotan anak buahnya sendiri. Dengan satu tekad, Aleksius mendekati Kapten Markus, dan terjadilah pertempuran sengit antara keduanya. Mereka bertarung bukan hanya dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan seluruh beban moral yang mereka bawa.

Kapten Markus, yang dulu begitu dikagumi Aleksius, kini menjadi simbol dari semua yang ia benci. Dengan segenap kekuatannya, Aleksius berhasil mengalahkan Kapten Markus, mengakhiri kekuasaan tirani yang selama ini menindas desanya. Dengan kematian Kapten Markus, perlawanan kelompok bersenjatanya pun runtuh.

Saat matahari mulai terbenam, meninggalkan semburat merah di cakrawala, pertempuran itu berakhir. Desa Wamena berhasil bertahan, meski dengan harga yang mahal. Banyak dari mereka yang gugur, namun Aleksius tahu, perjuangan mereka tidak sia-sia. Mereka telah mempertahankan tanah mereka, dan yang lebih penting, mereka telah mempertahankan martabat mereka sebagai manusia merdeka.

Aleksius berdiri di tengah desa, dengan tubuh yang penuh luka namun dengan hati yang kini bebas dari belenggu. Di sekelilingnya, penduduk desa berkumpul, dengan mata yang penuh rasa syukur dan penghormatan. Di antara mereka, Mama Maria dan Yosephine datang menghampiri, dengan mata yang basah oleh air mata kebahagiaan.

"Aleksius, anakku," kata Mama Maria dengan suara lembut. "Kau telah kembali kepada kami."

Aleksius tersenyum, sebuah senyum yang telah lama hilang dari wajahnya. Ia memeluk ibunya, merasakan hangatnya pelukan yang ia rindukan selama ini. Yosephine, yang selama ini penuh ketakutan, kini melihat kakaknya dengan kebanggaan yang baru.

"Maafkan aku," bisik Aleksius, suara itu tertahan oleh emosi yang memuncak. "Aku telah membuat kalian menderita."

Mama Maria menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Kau telah menemukan jalanmu. Itu yang terpenting."

Dengan hati yang penuh penyesalan namun juga penuh harapan, Aleksius tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang baru. Ia mungkin telah tersesat di masa lalu, namun kini ia telah kembali ke jalan yang benar. Jalan yang akan ia tempuh bersama rakyatnya, untuk mencapai kemerdekaan yang sejati---kemerdekaan yang bukan hanya terbebas dari penjajah, tetapi juga kemerdekaan yang lahir dari dalam hati yang bersih dan penuh cinta untuk tanah airnya.

Dan di bawah langit Papua yang kembali biru, Aleksius dan penduduk desa Wamena berjalan menuju masa depan yang baru, dengan langkah-langkah yang dipandu oleh semangat kebebasan dan cinta yang tak tergoyahkan. 

Mereka tahu, jalan di depan masih panjang dan penuh tantangan, namun mereka juga tahu bahwa bersama, mereka akan mampu melewatinya. Dan dalam hati Aleksius, ia telah menemukan jawaban atas dilema yang selama ini menghantuinya. Ia telah memilih jalan yang benar, dan untuk itu, ia tidak akan pernah kembali. (*)

Merauke, 18 Agustus 2024

Agustinus Gereda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun