"Marinus, apakah kita salah?" tanya Fatima suatu malam saat mereka berbaring di tempat tidur.
Marinus memeluknya erat. "Tidak, Sayang. Kita tidak salah. Kita hanya ingin belajar mandiri. Mereka akan mengerti suatu hari nanti," jawabnya dengan suara lembut namun penuh keyakinan.
Meskipun begitu, rasa sakit karena tidak diterima oleh keluarga suaminya membuat Fatima merasa terasing di tengah keluarga besar yang pernah ia anggap sebagai rumah."
Waktu berlalu, dan keadaan semakin sulit. Marinus kehilangan pekerjaannya, membuat mereka kesulitan mengatur rumah tangga dengan baik. Namun, Fatima dan Marinus tetap teguh pada prinsip mereka. Meskipun dengan berat hati, mereka tetap mengunjungi mertua mereka, yakin bahwa orang tua harus tetap dihormati dan disayangi.
Suatu hari, saat Fatima dan Marinus mengunjungi rumah mertua, mereka bertemu dengan Mateus di halaman.
"Bagaimana kabar kalian?" tanya Mateus dengan senyum canggung.
"Kami baik-baik saja, Mateus. Hanya sedikit kesulitan sejak Marinus kehilangan pekerjaannya," jawab Fatima jujur.
Mateus mengangguk, "Aku mendengar kabar itu. Jangan khawatir, adikku. Akan ada jalan keluar."
Di tengah percakapan mereka, Pak Darius keluar dari rumah dengan wajah suram. "Kalian masih punya muka untuk datang ke sini?" tanyanya tajam.
Fatima merasa hatinya teriris, namun ia berusaha tersenyum. "Kami datang untuk menjenguk dan membantu, Bapa. Kami tetap peduli."
Pak Darius menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi ingat, kami tidak butuh bantuan dari orang yang tidak ingin tinggal bersama kami."